"Jadi, seperti itu kebenarannya. Berita yang kamu lihat... kamu dengar, memang benar adanya. Jika jenazah yang ditemukan dua tahun silam sudah dalam keadaan mengenaskan memang ayah ku."
Cahaya mengungkapkan apa yang sudah dirinya lewati. Ia telah tertangkap basah dan tidak ada tempat kembali untuk menutupinya.
Kematian sang ayah masih menjadi ketakutan sendiri bagi Cahaya. Ia sungguh belum bisa menerima akan kepergian Arkana secara mendadak, terlebih kala dirinya tidak ada di rumah pada saat itu.
Namun, bagaimanapun juga takdir berkehendak lain. Allah telah mengatur sesuatunya dengan sebaik-baiknya, tetapi Cahaya belum bisa berlapang dada sebelum menemukan kebenaran di balik kematian Arkana.
Eve yang duduk berseberangan dengan Cahaya memandang lirih pada layar ponsel tepat di atas meja yang memperlihatkan berita dua tahun silam. Ia tidak bisa berkata-kata mendengar sendiri pengakuan seorang teman kerjanya.
Cahaya yang baru ia kenal kurang lebih lima bulan lalu, merupakan sosok sulit didekati. Ia terkadang tidak mau bersosialisasi dengan teman kerja yang lain dan selalu melipir serta mengasingkan diri saat waktu istirahat tiba.
Itu sebabnya banyak dari karyawan yang bekerja dengan Cahaya membicarakannya di belakang. Mereka mengatakan jika wanita berhijab tersebut memang tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
Bahkan tanpa Cahaya ketahui banyak dari mereka yang memandang remeh dan mengatainya sebagai wanita udik. Karena cara berpakaiannya yang tidak se-stylish para pekerja lain.
Namun, tanpa mereka ketahui Cahaya memang tidak mau berinteraksi dengan orang-orang yang bermuka dua. Ia tahu jika rekan-rekan kerja hanya baik di depannya saja, sedangkan di belakang saling menjatuhkan dan membicarakan.
Cahaya tidak punya waktu untuk mengurusi mereka dan tidak peduli apa yang rekan-rekannya bicarakan. Karena ia kehilangan minat untuk melakukan itu semua.
Bahkan Cahaya juga dikenal sebagai wanita yang tidak memiliki emosi apa pun di wajahnya. Ia selalu terlihat datar dan dingin seolah tidak bisa didekati, tetapi saat ini fakta di lapangan menjelaskan siapa ia sebenarnya.
Eve hanya menghela napas lelah, tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini.
"Be-benarkah itu? Benarkah kamu yang mengalami semua ini? Kamu tahu... sudah bertahun-tahun aku tinggal di sekitar rumahmu. Bisa dibilang kita tetanggaan, Cahaya. Saat mendengar kabar mengenai penemuan jenazah di samping rumah, aku dan keluarga pindah dari sana."
"Siapa sangka jika wanita yang ada diberita itu adalah... kamu, Cahaya? Pantas saja wajahmu saat pertama kali kita bertemu tidak asing lagi," celoteh Eve membayangkan bagaimana riuhnya kejadian dua tahun silam.
Samar-samar saat adanya jenazah di kampung mereka, Eve beserta ibu dan kedua adiknya langsung pergi dari sana. Mereka tidak ingin terlibat dan melihat apa pun yang terjadi. Setelahnya hanya mendengar kabar angin jika rumah itu telah kosong tak berpenghuni.
Aura kelam nan kusam terlihat jelas. Tidak banyak orang yang berani lewat ke daerah itu saat menjelang malam. Mereka selalu mengunci di rumah masing-masing merasa takut.
Karena peristiwa tersebut bagaikan membuka luka lama bagi keluarga itu. Di mana, di saat Eve masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas dirinya mendapati sang ayah gantung diri.
Kasus serupa yang Cahaya alami pernah dialami oleh Eve sendiri. Itulah kenapa saat ini wanita berambut panjang sepunggung tersebut nampak sedih dan menahan tangis.
Namun, sekuat apa pun ia bertahan nyatanya air mata tidak bisa dibendung. Kristal bening berjatuhan dan tak tertahankan.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan Cahaya? Kenapa kamu datang ke rumah itu lagi? Selama dua tahun garis polisi di rumah kalian masihlah sama, pasti tidak mudah bagimu untuk melaluinya," tutur Eve penasaran.
Ia sesekali datang ke rumahnya dulu untuk bersih-bersih agar tetap terawat. Karena bagaimanapun juga bangunan itu banyak sekali kenangan yang telah keluarga Eve habiskan bersama.
Cahaya meneguk singkat minumannya dan memandang lekat sang lawan bicara.
"Aku datang ke sana... karena ingin memastikan sesuatu. Aku ingin mencari tahu lebih dalam kasus menimpa ayah. Karena aku percaya ayah tidak mungkin bertindak tanpa memikirkan akibatnya."
"Ayah yang kukenal selama ini selalu mementingkan agama di atas segalanya. Jadi, tidak mungkin jika dia mengakhiri hidup dengan cara seperti itu dan menentang kehendak Tuhan," jelas Cahaya kemudian.
Eve terperangah, dan sadar jika kasus menimpa Cahaya berbeda dengannya.
"Jadi, kamu ingin mencari tahu tentang kematian... ayahmu?"
Sekali lagi Cahaya mengangguk singkat.
Eve melebarkan kedua sudut bibir dan melipat tangan di atas meja.
"Kalau begitu, izinkan aku membantu," ucap Eve kemudian.
"Eh? Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba saja ingin membantuku? Bukankah kita baru saja saling mengenal?" tanya Cahaya penasaran.
Eve semakin mengembangkan senyum manis dan mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
"Kamu tahu? Saat pertama kali kita bertemu, entah kenapa aku tertarik padamu, tapi jangan berpikiran aneh dulu. Tertarik di sini dalam artian, aku ingin berteman dan mengenalmu lebih jauh. Karena aku melihat ada sesuatu yang kamu sembunyikan di wajah datar itu."
"Sekarang semuanya terjawab sudah, jika memang ada hal yang kamu sembunyikan. Jadi, Cahaya jangan menolak tawaranku, okay? Tenang saja, aku tidak akan membicarakan masalah ini pada orang lain. Semua ini murni hanya keinginan ku sendiri," celoteh Eve panjang lebar.
Cahaya memikirkan beberapa saat tawaran teman barunya dan sedetik kemudian hanya menganggukkan kepala singkat. Eve sangat senang bisa menjadi bagian dalam rencana rekan kerjanya.
Entah apa yang tengah dipikirkan Eve, Cahaya hanya menerimanya begitu saja.
"Untuk saat ini aku terima dulu. Kita lihat saja, apa yang bisa dia lakukan untukku," benak Cahaya dalam diam.
...***...
Cahaya kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat kerja Naura berada. Ia ingin mengajukan pertanyaan lagi apa yang sebenarnya terjadi selama dua bulan dirinya diasingkan.
Ia datang ke sebelah timur ibu kota dan tiba di perusahaan Berly Entertainment, sebuah tempat bernaung bagi para selebriti terkenal maupun pendatang baru berkumpul di sana.
Setelah membayar ongkos taksi, Cahaya berjalan tanpa mengindahkan sekitar dan terus mengarah ke lobi dan bertemu dengan pihak keamanan di sana.
"Maaf Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya menghentikan pergerakan Cahaya.
Ia pun menoleh dan melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap tengah memandanginya lekat.
"Saya mau bertemu dengan direktur perusahaan Naura Reynold," jelas Cahaya to the point.
"Kalau begitu Anda bisa ke bagian resepsionis," titah pria tadi.
Cahaya mengangguk singkat dan mengucapkan terima kasih, setelah itu melangkahkan kaki lagi menuju tempat yang dimaksudkan.
Baru saja Cahaya berbicara bersama salah satu karyawan yang ada di sana, ia dikejutkan dengan pemandangan mencolok mata.
Tepat di samping kanan, Cahaya melihat dua orang yang berjalan melewatinya begitu saja. Seolah tahu siapa mereka ia terus mengikuti ke mana keduanya pergi.
"Nona, apa Anda sudah mempunyai janji dengan direktur? Karena sangat sulit bertemu beliau di jam-jam seperti ini," jelas salah satu karyawati di sana.
Cahaya tersadar dan kembali memandanginya.
"Bisakah Anda membantu saya untuk menghubungi beliau? Saya butuh-"
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"
Suara lembut seseorang mengejutkan, Cahaya dan dua pegawai tadi menoleh ke arah yang sama serta mendapati Naura di sana.
"Cahaya? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya lagi.
"Saya ingin bertemu dengan Anda," jelas Cahaya, tegas.
"Oh kalau begitu kamu bisa ikut saya," titah Naura dan membalikan badan agar Cahaya mengikutinya.
Kedua pegawai tadi saling pandang dan tidak tahu jika atasan mereka bisa mempunyai kenalan wanita seperti itu.
Dalam diam Cahaya memperhatikan ke arah luar dan melihat dua sosok tadi sudah menghilang dalam pandangan.
"Aku yakin tadi Zaydan dan... kekasihnya? Mereka serasi sekali jalan berduaan seperti itu. Siapa pun bisa melihat jika mereka... adalah pasangan yang ditakdirkan," monolog Cahaya sepanjang kakinya melangkah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments