"Kenapa Anda bisa ke siangan, Tuan? Bukankah hari ini kita ada rapat penting? Lihat klien kita membatalkan janjinya begitu saja. Beliau bahkan mengatakan jika kita tidak kompeten," racau sang sekertaris mengikuti langkah atasannya sang baru saja tiba di kantor beberapa saat lalu.
Zaydan memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang diucapkan pria berkacamata di samping. Ia sama sekali tidak menggubris ataupun merasa bersalah telah membuat rekan kerja kecewa.
Tidak lama setelah itu, ia lalu berhenti menggerakkan kaki jangkungnya dan berbalik menghadap sang lawan bicara. Sekertaris berkacamata tersebut pun ikut menghentikan langkah juga.
"Kevin, bisa kamu berhenti bicara? Aku tidak peduli, mau dia membatalkan janji temu atau menyebut kita tidak kompeten... aku tidak peduli. Bukankah ini kerugian untuk pria tua itu? Iya benar, aku memang menginginkannya," balas Zaydan mencondongkan tubuh tepat di depan sang sekretaris, lalu kembali menarik diri dan menyeringai.
Pria bernama Kevin itu pun mengedipkan mata berkali-kali dan berisungut, terkejut sekaligus tidak percaya. Ia tidak menyangka mendengar penuturan tadi dari atasannya sendiri.
"Saya tidak peduli mengenai keluarga Anda, Tuan... tetapi, seharusnya Anda lebih profesional dalam dunia kerja," jawab Kevin lagi, berusaha menyadarkannya jika pekerjaan yang tengah Zaydan lakukan bukanlah main-main semata.
Zaydan mendengus, menautkan kedua alis lalu berkata, "profesional atau tidak... Itu bukan urusanmu, bukankah yang memberikan gaji itu Presdir bukan aku? Sudah yah masih banyak pekerjaan yang harus aku tinjau."
Zaydan kembali melangkahkan kaki tidak peduli pada sang sekertaris. Pria berkacamata itu menggeleng singkat ikut sakit kepala menghadapi problematika keluarga Reynold. Ia cukup tahu bagaimana sulitnya menghadapi tuan besarnya.
Baru saja Kevin melangkahkan kaki, getaran ponsel di balik saku jas mengejutkan. Buru-buru ia mengeluarkan benda pintar tersebut dan tertera Presdir Naufal Reynold di sana.
Ia lalu bergegas menjawabnya dan buru-buru menuju tempat yang diperintahkan. Ia tidak ingin membuat atasannya lebih kecewa lagi.
Tidak lama berselang, Kevin tiba di lantai paling atas perusahaan, sedang menghadap sang pemimpin. Ia menunduk, tidak kuasa menyaksikan sepasang mata elang yang berusaha mengincarnya.
"Bagaimana kerja anak itu? Apa dia bekerja dengan baik?"
Suara berat nan dalam Naufal menggelegar di ruangan. Kevin melirik sekilas, mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaannya.
"Tuan muda Zaydan, akhir-akhir ini sering meninggalkan pekerjaannya, bahkan hari ini... beliau datang kesiangan dan membatalkan rapat penting dengan klien," jawabnya, sejujur-jujurnya.
Gebrakan meja mengaum di sana, pria berusia setengah abad lebih itu pun naik pitam. Ia tidak menduga anak bungsunya yang diberikan kepercayaan sebagai direktur menangani pemasaran tidak kompeten dalam bekerja.
"Awasi dia terus. Apa Zaydan sering menemui wanita itu?" tanyanya lagi, penasaran.
Pasalnya setelah perjodohan itu berlangsung, Naufal tidak mendengar apa pun mengenai Fiona. Ia berpikir jika sang putra sudah berpisah darinya.
"Baik Tuan, benar... Tuan muda masih sering menemui nona Fiona," jelas Kevin membuat Naufal mengusap wajah kasar.
"Baiklah, kamu bisa keluar sekarang."
Setelah mendapatkan perintah lagi, Kevin mengangguk sekilas dan angkat kaki dari ruangan penuh dengan aura menegangkan itu.
Mendengar pintu ditutup, Naufal memijit pelan pangkal hidung. Kelopak yang semua menutup, perlahan terbuka menampilkan iris kelamnya lagi.
"Apa pernikahan mereka berhasil?" gumamnya pada keheningan.
...***...
Cahaya berada di sebuah bangunan yang baru beberapa minggu ini ditinggalkan. Rumah sederhana berlantai satu itu banyak sekali menyimpan kenangan.
Ia masuk dan melihat-lihat coretan di dinding membuatnya bernostalgia. Coretan itu dilakukan Cahaya saat berumur lima tahun. Masa-masa menyenangkan sudah hilang seiring berjalannya waktu.
Namun, pada saat itu merupakan waktu yang paling menenangkan.
Hari-hari damai yang ia lewati bersama ayah dan ibu menghadirkan kembali kenangan tersebut. Ia duduk di sisi tembok mengelus pelan gambar tiga orang yang sedang bergandengan tangan.
"Waktu itu mamah marah sekali, aku membuat dindingnya kotor, tetapi dengan bijaksana, ayah mengatakan jika bisa saja aku menjadi pelukis berbakat."
"Ayah memang pandai memuji, bahkan... ayah menjadi sosok pelindung dan pahlawan bagi kami. Hari-hari tenang yang aku rasakan dulu, perlahan memudar dan hancur, berganti... kenangan menyakitkan."
Cahaya mendongak memandangi tempat terakhir ayahnya berada. Di sana sosok cinta pertamanya tergantung hingga kondisinya berubah mengenaskan.
Lengkungan bulan sabit hadir di wajah cantik Cahaya, dan sedetik kemudian berubah menjadi hujan air mata.
Cahaya menangis sejadi-jadinya, merasakan betapa sakit nan kejam kehidupan yang harus ia jalani.
Tanpa seorang pun, tanpa siapa pun yang tahu, hari ini, siang itu Cahaya menumpahkan segala kerumitan mengendap dalam dada.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore, Cahaya tiba kembali di apartemen sang suami dan hendak bersiap untuk bekerja.
Baru saja membuka pintu ia dikejutkan dengan Zaydan yang tengah melipat tangan di depan dada menghadapnya langsung.
"Oh, Anda sudah pulang?" tanya Cahaya basa-basi.
"Dari mana saja kamu?" Zaydan pun sadar dan merevisi perkataannya, "maaf, kita sudah sepakat untuk tidak ikut campur urusan masing-masing. Malam ini kamu tidak usah bekerja," lanjutnya.
"Hah? Apa yang Tuan katakan?" tanya Cahaya lagi, bingung mendapati perkataan terakhir pasangan hidupnya.
"Iya hari ini kamu tidak perlu bekerja, ayah... bukan Tuan Reynold mengadakan makan malam keluarga dan pria tua itu ingin kita hadir juga di sana," jelasnya.
Cahaya yang sedari tadi mendongak memandang sepasang iris kelam di hadapannya pun masih memberikan tatapan datar.
Ia tidak bereaksi apa pun kala mendengar perkataan Zaydan barusan.
"Makan malam keluarga? Bukankah seharusnya orang lain tidak usah hadir? Kalau begitu selamat bersenang-senang." Cahaya membuka sepatunya dan hendak melangkah memasuki kamar.
Namun, pergerakannya terhenti saat Zaydan mencengkram erat pergelangan tangan Cahaya. Wanita itu sedikit mengaduh kesakitan dan menariknya kasar.
"Maaf," kata Zaydan merasa bersalah. "Sudah aku katakan ayah ingin kita hadir, itu berarti kamu juga diundang. Aku sudah menyiapkan pakaian yang harus kamu kenakan di sofa, pakai itu, dandan yang baik... dan aku akan menunggumu di bawah."
Secepat kilat Zaydan mengenakan sepatu formalnya dan buru-buru keluar dari sana. Cahaya memperhatikan dalam diam lalu menolehkan kepala ke atas sofa panjang.
Di sana ia melihat paper bag besar seolah menariknya untuk mendekat. Kedua kaki ramping Cahaya berjalan ke arahnya dan membuka kantung belanjaan itu lalu menemukan gaun baru.
"Apa dia ingin aku mengenakan ini? Wah... sepertinya gaun ini dari perancang terkenal, lihat ini-" Cahaya membawa sepasang sepatu heels mengkilap di dalamnya. "Harga sepatu ini bahkan bisa menggaji ku satu tahun," lanjutnya.
"Yakin dia ingin aku mengenakannya?" racau Cahaya memandangi barang-barang bernilai fantastis itu gamang.
"Terserahlah!" Ia pun menyambar beberapa paper bag itu dan membawanya ke dalam kamar.
Zaydan tengah duduk di dalam mobil mewah, mengamati matahari pulang ke peraduan. Gelap pun datang, ia masih menunggu sang istri untuk datang ke kediaman utama.
Berkali-kali ia melihat jam di pergelangan tangan, sampai tiga puluh lima menit berlalu batang hidung Cahaya belum jua datang.
"Apa yang dia lakukan?" gumamnya geram
Di saat ia hendak membuka pintu mobil, seseorang keluar dari gedung apartemen. Gaun abu dengan kain brokat mengelilinginya begitu pas dikenakan di tubuh mungil Cahaya.
Dipadu dengan hijab dengan warna senada serta make up fresh sederhana membuat Zaydan membeku. Entah sadar atau tidak ia terus memandangi sang istri, hingga tanpa diketahui Cahaya sudah berdiri tepat di sisinya.
Pandangan mereka bertemu satu sama lain menyelami keindahan bola mata masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments