Hari pernikahan datang juga, hanya ada dekorasi sederhana serta disaksikan orang-orang terdekat saja. Tanpa ada gaun pengantin, kue pernikahan, tamu undangan, maupun orang tua, begitulah acara sakral yang terjadi pada keduanya.
Penampilan Cahaya jauh dari kesan mewah yang mana dirinya akan masuk ke keluarga Reynold dengan hartanya melimpah ruah.
Namun, pernikahan putra bungsu mereka sangat tertutup. Bahkan awak media tidak bisa mengendus acara sakral tersebut.
Setelah ijab kabul dilaksanakan, Cahaya resmi menjadi istri sah dari Zaydan. Pria berprofesi sebagai direktur utama di perusahaan orang tuanya memboyong pasangan hidup ke apartemen mewah.
Ia tidak pernah menduga bisa menikah secepat itu, bahkan rencana untuk melamar sang terkasih jauh dari bayangan.
Apartemen yang baru dibeli beberapa bulan lalu kini menghadirkan orang asing. Selama ini tidak ada siapa pun yang mengetahui tempat itu, dan Zaydan tidak pernah membawa orang lain. Bahkan Fiona, tunangannya sendiri tidak tahu jika ia mempunyai apartemen di kawasan elit tengah-tengah ibu kota.
Sepanjang jalan hanya ada keheningan menyambut. Deru mesin mobil menjadi backsound kebersamaan pasangan pengantin baru menuju kediamannya sendiri.
Di jok samping Cahaya terus bungkam tanpa ada niatan berbasa-basi.
Sesekali Zaydan menoleh pada Cahaya yang tengah duduk diam seraya meletakan kedua tangan di atas pangkuan.
Bola mata kelamnya berputar seraya menghela napas pelan. Zaydan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membelah angin malam.
"Wanita ini... apa dia sama sekali tidak punya emosi?" benaknya gamang.
Tiga puluh menit berselang mereka tiba di apartemen. Kamar yang dimiliki Zaydan berada di lantai lima dan membutuhkan beberapa saat untuk tiba di sana.
Pintu lift pun terbuka, Zaydan melangkah lebih dulu menuju kediamannya berada. Setelah memasukan enam digit angka di pintu masuk, ia pun membukanya lebar.
Dalam diam Cahaya mengikuti ke mana pria itu pergi hingga berdiri tepat di belakang pintu.
Zaydan yang tidak merasakan gerakan apa pun dari istrinya lagi berbalik menghadapnya.
"Kita memang sudah menjadi suami istri, tetapi ada batasan yang harus kamu ingat. Pertama aku tidak mau seranjang dengan wanita yang tidak aku cintai."
"Kedua kamu bisa menggunakan kamar sebelah sebagai ruangan pribadimu. Ketiga, aku tidak mau kamu mencampuri urusan pribadiku, dan keempat-"
"Baik Tuan, saya mengerti. Selamat malam." Tiba-tiba Cahaya memotong kalimatnya seraya membuka sepatu dan berjalan menuju kamar yang sudah dikatakan Zaydan tadi.
Sedari tadi Cahaya menunggu kata-kata di mana dirinya bisa tidur dan setelah mendapatkan clue ia langsung pergi begitu saja.
Sang empunya cengo dan mengedip-ngedipkan mata menyaksikan kepergian pasangan hidup. Ia mendengus kasar lagi seraya berkacak pinggang.
"Wah, lihat wanita itu... dia sama sekali tidak tahu malu. Apa hatinya terbuat dari batu? Sungguh, aku belum pernah bertemu wanita sedingin dia," racau Zaydan menggelengkan kepala beberapa kali.
Di dalam kamar, Cahaya memandangi indahnya langit malam. Gedung-gedung pencakar langit nampak cantik dengan lampu-lampu memberikan cahaya signifikan.
Cahaya berdiri di jendela besar memandangi pantulan dirinya yang samar-samar terlihat di sana. Kedua tangan mengepal kuat seolah tengah menelan emosi dalam diri.
"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja, aku hanya perlu mengikuti alurnya saja. Kehidupan mengerikan ini... aku harus menyelesaikannya!"
Suara dalam terdengar memilukan tercetus dari celah bibir ranum Cahaya. Sorot mata dalam nan tajam bak elang tengah memangsa buruannya pun terlihat jelas.
Cahaya dilingkupi berbagai macam emosi dan hanya dirinya saja yang tahu. Dua tahun adalah waktu terberat yang sudah ia lalui.
"Aku hanya harus bertahan dalam permainan konyol ini," gumamnya lagi.
...***...
Pagi menyambut, seberkas cahaya masuk ke dalam celah jendela sang tuan muda. Raja siang mulai menampakan diri memberikan kehangatan pada semua orang di dunia.
Tidur Zaydan harus terusik kala aroma penggugah selera terendus indera penciuman. Dengan mata tertutup ia bangun dan menyibakkan selimut.
Entah sadar atau tidak ia keluar kamar dan mengucek mata mengantuk nya. Ia berdiri tidak jauh dari dapur dan samar-samar melihat seseorang tengah berkutat di sana.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanyanya.
Suara serak khas bangun tidur mengejutkan Cahaya. Ia berbalik dan mendapati suami barunya di sana tanpa mengenakan pakaian bagian atas.
Perut berotot dengan enam lapis roti sobek serta dada kokoh yang menonjol begitu menyempurnakan ciptaan Tuhan satu ini.
Namun, pemandangan menawan tepat di depan mata tidak sedikit pun membuat Cahaya terlena. Ia masih memperlihatkan wajah datar kala bertatapan dengan Zaydan.
"Saya sedang menyiapkan sarapan. Saya harus melakukan tugas sebagai... istri? Iya, saya rasa seperti itu," ucapnya menyadarkan Zaydan.
Spontan ia membuka mata lebar mendengar suara halus nan dalam istri dari perjodohannya.
"Lebih baik sekarang Tuan cuci muka dan-" Cahaya menunjuk tepat ke dadanya. "Cepat kenakan pakaian, saya dengar sebentar lagi musim hujan datang," lanjutnya mengingatkan.
Kembali Zaydan terkejut bukan main lalu menundukkan kepala dan melihat tidak ada sehelai baju pun yang menutupi bagian dada sampai perut.
Buru-buru ia masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu kasar.
Napasnya bergemuruh seraya diam di belakang pintu beberapa saat. Setelahnya Zaydan melangkahkan kaki tepat di depan cermin.
"Apa wanita itu kehilangan segalanya setelah tinggal berhari-hari dengan mayat? Bagaimana bisa dia tidak tergoda melihat tubuhku yang bagus ini?" Zaydan berkacak pinggang seraya menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri berkali-kali.
"Wah, sangat tampan. Wanita mana pun pasti tergila-gila padaku, tetapi... bagaimana bisa wanita itu?" Ia melipat tangan di depan dada sambil berpikir keras.
Dua puluh menit kemudian, Zaydan sudah lengkap mengenakan pakaian kerjanya keluar kamar. Di sana ia melihat Cahaya berdiri menghadap meja makan yang sudah tersaji berbagai macam hidangan.
Ia lalu menarik kursi dan hendak menyantap sarapan yang sudah disediakan. Namun, pergerakannya terhenti saat tidak mendengar gerakan apa pun dari istrinya.
Ia mendongak menatap Cahaya yang hanya diam membatu.
"Sampai kapan kamu mau berdiri terus seperti itu? Duduk! Apa kamu tidak mau sarapan?" tanyanya dengan nada dingin.
"Haruskah?"
"Hah? Apa yang kamu tanyakan?" Zaydan bingung menghadapi wanita itu.
"Haruskah saya makan dengan Tuan?" tanya Cahaya bertatapan langsung dengan suaminya.
Sepersekian detik Zaydan terkesima saat bertatapan langsung dengan bola mata cokelat terang milik Cahaya.
"Tentu saja, bukankah kamu menyiapkan semua ini untuk kita?" tanyanya balik, Cahaya hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kalau begitu, makanlah!" titahnya lagi.
Untuk kedua kalinya Cahaya menganggukkan kepala lalu duduk tepat berseberangan dengan Zaydan.
Sarapan mereka kali ini terasa begitu berbeda. Baik Zaydan maupun Cahaya sama-sama merasakan keberadaan satu sama lain.
Selama ini keduanya hanya makan dan melakukan berbagai macam hal di rumah sendirian. Tidak ada orang lain maupun keluarga menemani, semuanya dilakukan sendiri.
Diam-diam Zaydan memperhatikan Cahaya. Cara wanita itu makan sangat elegan jauh dari kesan seseorang yang pernah hidup dalam lingkungan serba kekurangan.
Caranya menggunakan pisau dan garpu begitu rapih serta terstruktur dengan baik.
"Siapa wanita ini sebenarnya? Apa benar dia anak dari Pelangi dan Arkana? Arkana... pria tua itu adalah orang kepercayaan ayah. Bagaimana bisa ayah selingkuh dengan istri dari kaki tangannya sendiri? Ada apa sebenarnya?" benak Zaydan bermonolog.
Cahaya diam-diam juga memperhatikan Zaydan. Bola matanya terus melirik apa yang tengah dikenakan sang pria.
"Jam tangan berharga ratusan juta, pakaian dari desainer terkenal, rambut disisir rapih mengenakan gel setara dengan tas branded, sepatu pantofel dari perancang ternama, wah... sungguh kehidupan tuan muda yang istimewa," batinnya meracau.
Pasangan suami istri itu pun sama-sama memperhatikan masing-masing dalam diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
pigeon
lanjut kak 😘😘
2023-06-09
0