"Apa-apaan dia itu? Kenapa harus bekerja segala di restoran ini? Dan lagi... kenapa dia tersenyum seperti itu?"
"Eh tunggu! Jadi dia bisa tersenyum? Bagaimana bisa?"
Zaydan heran, terus berceloteh dalam benak memperhatikan salah seorang pelayan yang telah menjadi istri barunya.
Sedari tadi sepasang mata elangnya terus memindai dan mengamati ke mana perginya Cahaya. Wanita berhijab itu sangat mencolok berbeda dari para pelayan lain.
Ia begitu terkejut kala mendapati Cahaya tersenyum ramah pada setiap tamu yang dilayaninya. Berbanding terbalik saat ia bersama dengannya, wajah itu datar bak kulkas dua pintu.
Wajah ayu Cahaya terus menerus mengembangkan senyum seolah tidak ada sesuatu terjadi dalam kehidupan. Zaydan menyadari hal itu pun tercengang seketika, dibuat tidak percaya berkali-kali.
Ia pikir Cahaya hanya bisa berwajah datar tanpa ekspresi apa pun.
"Yang... Sayang... HEI SAYANG!"
Suara lembut seseorang dengan nada tinggi mengejutkan. Zaydan menatap ke depan mendapati sang terkasih memberikan sorot mata tajam.
Kedua tangannya melipat di depan dada dan menghembuskan napas kasar. Zaydan kelimpungan, tanpa sadar melamun mengabaikan pujaan hatinya yang kini mulai merengut.
"Apa yang sedang Mas lakukan? Sedari tadi aku lihat, kamu terus melihat ke arah lain. Apa Mas sudah tidak menikmati makanan di sini lagi?" cerca Fiona mengejutkan.
Zaydan terkesiap, menjatuhkan pandangan ke bawah di mana piring-piring itu telah kosong. Ia tidak sadar sudah menghabiskan makanan tersebut.
Ia terlalu sibuk mengamati Cahaya dan bergumul dengan pikirannya sendiri.
"Apa yang kamu bicarakan, Sayang? Tentu saja aku menikmatinya, bukankah aku menghabiskan makanan ini?" balas Zaydan mengangkat salah satu piring kosong di hadapannya dan memperhatikannya pada Fiona.
Wajah tampannya berseri memperlihatkan dirinya seperti biasa.
Lagi dan lagi Fiona menghela napas kasar, kedua tangannya memudar dan diletakkan di atas meja. Tubuh sesampainya sedikit condong ke depan memindai sang pria pujaan.
Diperhatikan seperti itu membuat Zaydan salah tingkah, takut kelakuannya tadi menatap Cahaya ketahuan begitu saja.
Fiona semakin menatap nyalang sang kekasih seraya melipat tangan di depan dada lagi. Bibir ranumnya pun mengembang sempurna menghadirkan kekakuan pada Zaydan.
Ia menghela napas pelan seraya melirik ke samping sekilas, di mana Cahaya sudah menghilang dalam pandangan.
Kedua tangan kekar Zaydan terulur menggenggam jari jemari lentik pujaan hatinya. Ia menariknya pelan lalu memberikan kecupan mendalam di punggung tangan Fiona.
Wanita yang berprofesi sebagai aktor tersebut merona. Rambut panjang menjuntai nya meliuk ke sana kemari menunjang penampilan seorang Fiona.
Betapa cantik nan anggun wanita yang terbalut gaun berwarna peach itu. Senyum yang mengembang sempurna sangat cerah mampu menyilaukan pandangan.
Dengan deretan gigi-gigi putihnya menambah pesona sang bintang. Fiona senang kekasih hatinya kembali memberikan perhatian.
Tidak jauh dari mereka, Cahaya sedari tadi memperhatikan. Ia bersembunyi di balik meja kasir setelah melayani beberapa pengunjung.
Wajah dingin, sedingin kulkas dua pintu itu pun kembali hadir lalu menyeringai kuat. Sorot matanya tajam bak elang tengah memangsa buruan.
Kedua tangan di atas meja mengepal kuat, menyaksikan sendiri bagaimana riuhnya keadaan restoran kelas atas tempat kerjanya berjalan.
Semua orang nampak menikmati suka cita malam ini tanpa ada kesedihan apa pun, termasuk suaminya sendiri.
Ia mendengus kasar, berbalik kembali ke dapur.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Keadaan mulai menyepi hanya ada beberapa kendaraan berlalu lalang.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian, Cahaya tiba di kediaman barunya. Ia memasukan beberapa sandi di pintu lalu membukanya pelan.
Hawa dingin nan hening menyambut kepulangan. Ia sama sekali tidak merasa sedih ataupun jengkel, sebab suasana seperti itu sudah sering dirinya terima.
Bahkan lebih parah, pada saat ayahnya menggantung di tengah rumah. Keadaan pria yang selama ini selalu memberikan semangat terbaik, hari ke hari mulai berubah.
Bau busuk yang ikut menguar dalam tubuhnya menjadi santapan keseharian Cahaya beberapa minggu ke depan.
Namun, semua itu sama sekali tidak membuat Cahaya gentar atau ketakutan. Sepulang dari pekerjaan paruh waktu, ia akan duduk tepat di depan jenazah sang ayah.
Ia mendongak, memandangi Arkana tanpa mengucapkan sepatah kata. Wajah ceria yang selalu menghiasi wajah cantiknya meredup bak lilin ditiup angin dan menyisakan kegelapan.
Cahaya mati rasa tidak peduli apa pun lagi, hanya satu tujuannya saat ini yaitu mengungkapkan kematian sang ayah.
Apa benar murni bunuh diri atau ada sesuatu dibaliknya? Cahaya ingin memastikan semua itu sendiri.
"Selamat datang kembali di rumah."
Suara baritone berdengung, bola mata kelam Cahaya mengitari ruangan dan menangkap satu objek berdiri membelakanginya.
Ia mematung di depan jendela kaca masih lengkap mengenakan pakaian formal. Cahaya terus memandanginya tanpa niatan untuk membalas ucapannya tadi.
Ia membuka sepatu dan siap menuju kamarnya berada, tetapi sebelum kedua kakinya melangkah sang suami membalikan badan.
"Jadi, kamu bekerja di restoran garden? Kenapa? Apa karena aku belum memberimu nafkah? Hei, dengar yah Cahaya kamu-"
"Semua itu tidak ada urusannya dengan Anda."
Nada dingin nan ketus terdengar, Zaydan terkesiap menarik tangan yang sedari tadi berada di saku celana.
Ia berjalan tegap mendekati Cahaya dengan sorot mata tajam. Sampai keduanya saling berhadapan dengan tatapan nyalang satu sama lain.
"Apa? Apa yang kamu bicarakan? Bagaimana bisa kamu bersikap dingin dengan suamimu sendiri? Apa wanita yang aku temui di restoran tadi adalah orang asing?"
"Kamu-" Zaydan menunjuk tepat di depan wajah Cahaya. "Kamu ternyata bisa tersenyum juga. Kenapa? Apa yang-"
"Bukankah Anda yang bilang sebelumnya untuk tidak ikut campur dalam urusan pribadi? Kenapa sekarang Anda mempermasalahkannya? Apa Anda tertarik dengan kehidupan pribadi saya?"
Setelah mengatakan itu Cahaya angkat kaki meninggalkan Zaydan mematung di tempat. Belum sempat ia masuk ke dalam kamar ia kembali berbalik mendapati punggung tegap suami kontraknya.
"Ah, satu lagi... saya juga tidak akan pernah ikut campur dengan masalah percintaan Anda, Tuan. Wanita itu... sangat cantik. Kalian cocok satu sama lain."
Cahaya benar-benar masuk ke dalam kamar menyisakan suara pintu yang berdentum. Zaydan masih diam bak bongkahan es tidak bergerak sedikit pun.
Sampai beberapa detik kemudian ia sadar dan perlahan menoleh ke belakang memandangi pintu kayu jati tidak jauh dari keberadaannya.
Tangannya pun mengepal kuat lalu mendengus kasar dan setelah itu ia juga masuk ke ruangan pribadinya.
...***...
Sudah satu bulan berlalu sejak mereka menikah, selama itu pula perkembangan Cahaya maupun Zaydan tidak ada yang signifikan.
Mereka masih sama-sama dingin tidak peduli dengan urusan masing-masing. Terutama saat malam kejadian Zaydan menegur istrinya.
Sejak saat itu keadaan mereka semakin bertambah kaku. Keduanya tidak lebih dari dua orang asing tinggal dalam satu atap.
Setiap hari Cahaya akan menyiapkan sarapan untuk Zaydan. Keduanya akan duduk bersama di ruang makan tanpa berbicara apa pun.
Selesai sarapan Zaydan akan pergi ke kantor dan Cahaya membersihkan rumah lalu bekerja di kafe sebelum ke restoran.
Ia melakukan dua pekerjaan sekaligus guna mendapatkan penghasilan lebih. Ia sudah terbiasa saat sang ibu meninggalkan dirinya dan ayahnya dua tahun lalu.
Pelangi juga meninggalkan hutang begitu besar kepada rentenir yang mana Cahaya harus menanggung semua itu.
Ia sangat terluka, benar-benar terluka atas pengkhianatan yang dilakukan sang ibu. Bahkan di depan mata kepalanya sendiri ia melihat ayah yang begitu mencintai istrinya membusuk.
"Apa pun yang terjadi, aku harus bertahan. Ini mungkin kesempatan bagiku untuk mengungkapkan siapa pelakunya. Karena tidak mungkin ayah meninggal bunuh diri," monolog Cahaya memandangi para pelanggan siang ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments