Mas Abyan masuk ke dalam mobil dengan tersenyum menganggap hal tadi enggak terjadi apa-apa. “Ay, kamu sudah berpamitan belum?” tegurnya duluan saat menghidupkan mesin mobil.
“Sudah tadi Mas, kita lanjut saja.” jawab dengan berbohong.
Malu sungguh benar-benar malu nas Abyan telah mengetahui aib yang ku sebut begitu.
Mas Abyan hanya tersenyum dan menekan pedal gas. “Ay, kamu marah?” tanyanya sesaat kami telah keluar gang.
“Enggak, Mas.” eggak marah sama kamu tapi sama keluarga besar ku yang nggak tahu harus di apakan kecuali hanya di diamkan aja.
“Terus kenapa kamu diam?”
“Maaf Mas, aku hanya bingung sekarang dan malu.” jika diam aja semua nggak akan selesai.
“Kenapa malu?”
“Maaf Mas, gara-gara keluargaku kamu ikut terseret. Soal bi Rosida dan bi Nur jangan Mamas ikuti.” lebih baik di jelaskan sekarang, jangan sampai nas Abyan berpikir aib ini menjadi sebuah masalah.
“Enggak apa-apa sayang, nanti Mamas coba.”
Hah nggak ini nggak boleh. “Kalau begitu kita bercerai aja, Mas.” lebih baik begitu.
Ckitt!
Tiba-tiba mas Abyan menekan pedal rem dengan hampir badanku terbentur ke dashboard.
Tin...
Tin...
Bunyi klakson mobil belakang sudah begitu nyaring, akibat berhenti di tengah jalan. Mas Abyan memarkirkan mobil di depan gedung kosong.
“Maaf, Mas.” jantung ini bergoyang heboh takut mati sama mas Abyan mulai terlihat ingin mengeluarkan taringnya.
“Ay kenapa harus membawa kata cerai sih? Mereka hanya meminta bantuan saja Ay lagian kita berdua nggak bisa bercerai selamanya.” jelas Mas Abyan terlihat sangat marah.
“Bisa kok Mas kalau aku mau.” walaupun takut melihatnya tapi gue nggak pantang menyerah, siapa tahu kalau udah begini kami berdua bisa berpisah. Tapi kelihatannya pernikahan paksa ini nggak akan bisa lepas.
“Enggak bisa, Ay.” ucap Mas Abyan sedikit membentak.
“Bisa Mas kalau Mamas nggak mau kita cerai, ikuti mau ku, titik. Jujur Mas, aku malu dengan semua ini. Sudah cukup mahar kemarin mereka ambil. Gimana kalau ibu, ayah, Hanum, mas Damar, Falisha apalagi oma tahu, aku benar-benar malu, Mas.” akhirnya keluar semua aib ini dengan malu sudah sampai ke ubun-ubun kepala.
Tapi sekalian aja di buka, jika di pendam lagi semakin berbelit benang wol.
Mahar yang di bawa kemarin bukan sedikit jumlahnya bisa-bisa kurang lebih hampir setengah triliyun, gila ‘kan mereka mau ngatur gue dan memanfaatkan mas Abyan sebagai keluarga dan pengusaha sukses.
“Mahar bisa di beli lagi, Ay.” terusnya membela.
Emang ya kalau orang kaya enak banget buang uang.
“Sudahlah Mas aku capek, sekarang kita pulang. Aku mau kerja. Cukup sampai di sini dulu kita ngomong. Soal mahar aku nggak berniat minta lagi sama Mamas apalagi meminta di kembalikan oleh keluargaku.”
Sebenarnya ingin banget ngomong semua bukan maunya gue minta di nikahkan seperti ini dengan meminta bawaan banyak. Akhirnya keluarga yang menikmati. Candaan ku menambah banyak masalah dengan rencana mau menjauh dari laki-laki malah mendapatkan suami. Sekarang nggak tahu harus apa mas Abyan pasti merasa salah pilih juga.
.
.
.
“Ay mau langsung kerja?” tegurnya duluan sesaat sampai di dalam rumah.
“Iya, Mas.” ingin jalan ke kamar.
Mas Abyan memegang tanganku. “Ay, kamu marah?” tanyanya dengan terlihat seperti memperhatikan kondisi ini yang bisa di bilang malu untuk berinteraksi dengannya lagi.
“Enggak Mas, ada apa?”
Mas Abyan memegang kedua tangan ku. “Ay bilang kalau masih marah.”
Mamas kenapa seperti ini sih? Kalau di perhatikan kami kayak romantis banget walau hanya pegangan tangan aja. “Aku nggak marah, Mas.” melepas tangan mas Abyan sadar dengan aib.
“Terus kenapa sepertinya menghindar dari, Mamas?”
Menghirup oksigen dulu atur nafas. “Mas kamu 'kan sudah tahu kalau aku malu, Mas.”
“Kenapa malu, Ay?”
Mas Abyan kenapa nggak juga paham sih, apa harus gitu gue ngejelasinnya lagi. Wajah ini rasanya bingung mau di letakkan dimana. “Mas udah jam setengah satu.” jam dinding yang terpajang di atas telivisi terlihat sangat jelas angkanya. “Nanti aja kita bahas lagi entar aku telat.”
“Masih lama Ay, jam dua kamu masuknya. Mamas mau ngomong sebentar.” Mas abyan memegang tanganku kembali dengan penglihatan yang datar. “Sampai kapan kamu mau lari? Jelaskan atau,” menggantung lagi ucapannya.
Mas, kamu kira gue ini takut. Enggak ngerti dengan perkataan yang menggantung dan di gantung gitu. Entah sedari tadi tiba-tiba meledak takutnya dalam diri ini menghilang begitu aja. Lega rasanya meluapkan emosi yang di kubur dalam-dalam.
“Atau kita cerai, Mas.” melepas tangannya lagi.
Mas Abyan langsung memegang kepala dengan diam sebentar. “Oke kita cerai tapi dengan satu syarat.” ia mengusap kepala dengan tatapan dingin. Garis bibir yang menarik sebelah dan mata penuh ambisi terlihat sangat jelas.
“Apa, Mas?” jika syarat itu mudah maka gue bisa keluar dari ini semua.
“Layani aku sebagai suami.” pintanya.
Hah enggak sangka lelaki ini mesum juga kalau udah begini, bisa juga dia bernegosiasi dengan cara beginian. “Layani apa, Mas?” siapa tahu juga melayani dengan cara lain.
“Kita belum melakukan hubungan suami istri, mari kita lakukan.” ajaknya dengan wajah menyeringai.
Hah enak aja, anda kira dengan begitu kita bisa keluar dari ini semua. Enak di anda enggak enak di gue.
“Kenapa? Enggak suka?” tekannya lagi.
“Tentu aja nggak, Mas.”
“Kalau nggak mau jangan ucapkan kata itu lagi, Ay.”
Oh mas Abyan hanya ngancam aja. “Maksud ku enggak menolak, Mas.” membalikkan permainannya, baru empat hari kita tinggal bersama, tapi semua sudah bisa terbaca.
“Sayang jangan begitulah.” ucapnya berubah manja.
Hah geli banget melihatnya kayak begini, kenapa nih lelaki berputar seratus delapan puluh derajat sih, benarkan dugaan gue nih orang nggak mau lagi dengan wanita lain. Gue mah kemarin di tinggal pacar saja nggak apa-apa, yang penting dia bahagia, apalagi di jaga Tuhan. “Lagian Mas udah begitu kita pisahkan, Mas?"
“Sayang ini serius loh bukan permainan semata.” Mas Abyan berubah ke mode menyeramkan.
Entahlah pusing jantung ini, mas Abyan kalau jadi peran antagonis campur non antagonis bisa kali ya. Kenapa nggak sekalian menjadi artis.
“Kenapa tersenyum?” bingungnya melihat diri ini yang benar-benar pusing memikirkannya.
“Mas kalau mau udah lanjut saja. Sudah itu aku izin cuti kita pergi ke pengadilan agama.” ancam balik melihat reaksi mas Abyan yang terlihat nggak menyetujui.
Mas Abyan perlahan mendekat sambil membuka satu persatu kancing bajunya. “Kamu nggak main-main 'kan sayang. Kalau kita pisah kamu hamil, anak itu tinggal bersama Mamas selamanya. Di jamin juga kamu nggak akan dapat pekerjaan di mana pun dan kapan pun.” ancamnya yang saat ini terlihat nggak main-main apalagi ia membuka perlahan kancing bajunya.
Ini serius, mampus gue. “Berhenti, Mas! Aku bercanda.” masa nikah hanya untuk menjadi pelampiasan yang menyakitkan, gue seperti wanita yang mirip sinetron ikan duyung kalau semua itu terjadi, hidup gue semakin hancur dong. Enggak ini nggak boleh terjadi.
“Enggak apa-apa sayang, sebentar aja nggak lama. Kira-kira dua hari dua malam kita bermain.” ancamnya dengan masih berjalan pelan mendekat dengan baju itu sudah terbuka.
Mati gue kali ini bulu halus aja sampai merinding. “Ampun Mas, nggak lagi.” langsung duduk di lantai menghadap mas Abyan dengan menutup kedua telapak tangan.
Di perhatikan seperti di hukum habis kalah dari perang dunia kedua gue.
“Berdirilah, Sayang.” Mas Abyan memegang bahuku menyuruh berdiri.
“Mas ampun Mas, aku nggak akan lagi ngomong kayak begitu. Sekali ini aja ampuni aku, Mas.” serius badan ini bergetar hebat, mas Abyan ternyata benar-benar serius. Seharusnya tadi berpikir dulu sebelum ngomong, tahu nih orang susah banget di ajak bercanda.
“Berdiri dulu Ay, jangan kayak begini.” ucap Mas Abyan menarik tanganku untuk berdiri.
Dengan cepat berdiri mengikuti maunya.
“Ingat Ay, jangan bermain-main dengan api kalau kamu belum siap untuk menyentuhnya.” ucapnya dengan lembut tapi terdengar sangat dingin.
“Kamu pasti tahukan, ngomong cerai aja dosamu bertambah. Belum hakku dan lainnya. Mamas enggak akan sekedar mengancam, Ay. Jika aja Mamas mau kamu udah nggak berarti apa-apa lagi. Jadi jangan harap untuk membantah, semoga kamu paham.”
“Iya Mas, maafkan aku.” rasanya ada kesalahan yang benar-benar fatal ku lakukan.
Mas, ternyata kamu benar-benar hebat mengunci musuh mu.
“Aku ridho karena aku menghormatimu. Pernikahan kita akan selamanya, jangan di ubah aturanku.” tegasnya lagi.
Hanya bisa mengangguk mengikuti.
Mas Abyan langsung memeluk. “Mas.” melepaskan pelukannya takut ia ingkar. Apalagi badan atasnya benar-benar polos. Walau sangat indah di pandang dan sungguh lembut di sentuh, tapi nggak terbiasa dengan ini semua.
“Diam untuk sebentar aja, jangan banyak bergerak.” ucapnya dengan memeluk sangat erat dengan menenggelamkan kepala ini ke dadanya.
Kalau boleh jujur pelukannya hangat dan menentramkan jiwa yang lagi panas ini. Baiklah kalau untuk sebentar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Mami Pihri An Nur
Ktanya si cewk tahu agama tp ko ga hormati suami walaupun blm Ada Cinta setidaknya hargailah suaminya
2023-10-03
0
Kaoru
,🙄
2023-05-19
1
Aisyah80
Penuh rahasia
2023-03-17
0