Kami berdua kembali ke kamar untuk mengganti baju dan istirahat sebelum acara ke dua dan selanjutnya di mulai. Tanganku di genggaman tuan licik sampai ke dalam kamar, baru dirinya lepas.
“Maaf Pak, Bu, pegawai wanitanya masih makan. Tunggu sebentar lagi mereka akan datang.” ucap pegawai laki-laki yang nggak tahu siapa namanya.
“Ibu duduk dulu di kursi sofa. Maaf ya, Bu.” sambungnya lagi terlihat merasa kurang nyaman.
“Enggak apa-apa, Mas santai aja."
Jangan grogi dengan saya yang bukan apa-apa ini.
“Mas, duluan.” tegur Tuan licik yang terlihat tidak menyukai kami berbicara.
Seharusnya anda tuh yang sadar diri, main nemplok saja sama pipi orang, wanita lagi. Apa mungkin tadinya itu termasuk simpanannya? Kenapa nggak nikah aja sih mereka?
Eh, eh, kenapa nih laki buka baju di sini sih. Apa gue keluar aja kali ya? Masa harus live streaming begini nggak malu apa. “Aku ke kamar lainnya aja, Mas.”
“Mau ngapain, Ay?” tanyanya saat setelah berdiri ingin keluar.
“Agar Mamas bisa ganti baju."
“Hahaha.” Tuan licik tertawa.
Emang gue ngelawak apa ya.
“Apa sih yang kamu malu 'kan, Sayang. Kamu sudah melihat semuanya.” ucapnya santai.
Oh ternyata ini maksud tuan licik ini tertawa. Aktingnya bagus juga.
“Duduklah di sini lagian Mamas masih pakek lengkap kok.” Tuan licik yang memang menggunakan kaos oblong dan boxer hitam.
Ah jadi malu 'kan.
Tuan licik duduk di dekatku dengan santai. “Ay, berat ya?" Tuan licik terlihat memperhatikan kepalaku.
Jelaslah capek bawa nih kepala yang entah berapa kilo yang di tempelkan. “Iya, Mas.”
Mana juga pegawainya, bisa nggak tolongin gue dulu, rasanya kepala ini mau lepas berat banget.
“Bang tolong buka yang di luar hijabnya istri saya.” terlihat Tuan licik khawatir.
“Oh iya, Pak.” ucap pegawai lelaki dengan cepat melepas yang terpajang di atas kepala.
Tuan licik nggak meninggalkan pandangannya sedikitpun saat pegawai laki-laki menyentuh kepala. Takut ya dengan pegawai ini yang akan berniat melakukan sesuatu pada istrimu, ingin rasanya berkata seperti itu. Posesif banget.
Giliran dia, hah tambah kesal melihat penampakan tadi.
“Maaf Pak, Bu, kami terlambat.” ucap pegawai wanita yang terlihat seperti sesak nafas. Terlihat sekali mereka tergesa-gesa. Itu kira-kira nasi yang di makan baik-baik saja 'kan di dalam sana.
“Enggak apa-apa, sekarang bantulah istriku.” jawab tuan licik ramah.
Tahu banget yang bening, lihat tuh ekspresinya langsung berubah.
“Kami permisi dulu Pak, Bu.” ucap pegawai laki-laki.
Mereka pergi keluar.
“Duduk di sini, Bu.” ajak wanita cantik dengan ramahnya.
Mengikuti arahan, sedangkan tuan licik duduk di ujung ranjang memainkan handphone menghadap ke arahku.
Mulailah kepala ini di bongkar.
Ah lega banget.
Kenapa dua wanita ini di perhatikan suka melirik-lirik tuan licik dengan tersenyum-senyum. Hayo kalian berdua, sempat-sempatnya melirik suami orang. Jangan-jangan kalian mau jadi pelakor ya?
“Mas ada yang mau kenalan.” sekalian dengan senang hati di bantu.
“Sudah punya istri, Ay.” Tuan licik menjawab penuh arti.
Tuh kalian lihat sendiri 'kan sudah punya istri.
Blush!
Eh tunggu-tunggu, kenapa gue jadi begini. Mereka terlihat kurang nyaman juga. Apa yang barusan gue lakukan?
“Eh ada laki-laki, Mbak?” saat mereka ingin melepaskan hijab. Tuan licik masih di sini.
“Enggak ada siapa-siapa Bu, hanya suami anda saja.” ucapnya melihat tuan licik.
“Hanya ada aku sayang. Kenapa harus malu, orang semuanya sudah terlihat jelas.” ucapnya lembut penuh arti.
Iya kalau gue nilai aktingmu boleh di kasih dua jempol tuan, tapi nggak untuk yang lain, pasti mereka berpikiran jauh ke pelosok bumi, entah pelosok bumi yang mana mereka arungi.
Boleh nggak ini bisa di katakan termasuk fitnah secara terang-terangan.
Aaah....
Tapi dari pada tersebar berita miring tentang gue, bahaya juga. Memang ada misi untuk terlepas dari ini semua. Tapi 'kan nggak bawa-bawa nama baik juga.
Ah kesal banget.
Tuan licik ini hanya diam dan memperhatikan kepalaku pula dengan santainya. Memang rambut ini tidak begitu cantik, tapi di lihat begini malu juga kali.
Mereka mulai memegang baju. Ah nggak jangan lepas di sini, gawat banget. “Di kamar mandi saja, saya lepaskan.” jalan cepat sebelum komentar yang masuk.
Emang gue lagi ngadain film merah apa. Melepas baju yang berat, setelah itu membuka pintu sedikit. “Mbak, bisa minta tolong ambilkan baju ganti saya."
“Oh iya Bu, sebentar.” mereka mengambil baju yang tergantung rapi. “Ini, Bu.” menyerahkan.
“Terimakasih.”
“Iya Bu, sama-sama.” senyumnya.
Kembali menutup pintu dan menguncinya, sat, set memasang, setelah itu langsung mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Zuhur. Menggunakan hijab kembali. Keluar dari kamar mandi. Kok sepi, hanya ada tuan licik saja yang setia duduk di ranjang. “Mana pegawai tadi, Mas?”
“Keluar shalat, Ay. Kamu sudah ambil wudhu?” berdirinya meletakkan handphone di atas meja.
“Iya Mas, sudah.” mengambil alat shalat.
“Tunggu kita shalat berjamaah.” Tuan licik langsung berjalan cepat ke kamar mandi mengambil wudhu.
Di perhatikan rajin sholat juga dia.
Melaksanakan suatu kewajiban yang ke dua kali bersama, entah mengapa hati ini terasa sangat nyaman, apalagi ada rasa yang cukup mendebarkan lambung. Shalat yang ada imamnya apalagi imam itu suami sendiri rasanya ini hal yang menakjubkan. Terlihat sempurna sekali pernikahan ini.
Selicik itukah dirimu tuan, anda untuk menggodaku. Merapikan kembali alat shalat dan meletakkan ke tempat semula.
Tok tok tok.
Suara ketukan terdengar.
Tuan licik langsung membukakan pintu. “Makanan siang, Pak.” ucap pelayan yang datang.
“Oh, silahkan masuk.” perintah tuan licik.
Mereka masuk membawa makanan siang kami.
Walau tadi di acara sudah mengganjal perut dengan sesendok nasi tumpeng, tapi semua itu belum tertuntaskan. Rasa lapar membuat perut ini tiada henti mengeluarkan suara, entah tuan licik terdengar atau tidak.
“Ay, makan dulu.” ajaknya saat pelayan telah keluar.
Mendekati tuan licik yang sudah duduk di balkon.
“Capek nggak, Ay?” tanyanya saat kami berdua sedang makan.
“Enggak Mas, kenapa?”
“Kalau capek, di kamar saja. Biar Mamas yang kembali ke ballroom.”
“Enggak capek kok, Mas. Aku ikut Mamas ke sana.” enggak enaklah sama yang lain.
“Um, iya sudah kalau begitu.”
Entah kenapa tuan licik dari tadi malam memerhatikan ku. Apa jangan-jangan beliau ada maksud tertentu? Yah... Apapun itu kita lihat saja nanti.
Makan telah selesai pelayan telah membereskan. Istirahat sejenak di balkon sambil melihat para tamu undangan yang semakin banyak berdatangan. Kira-kira yang datang sekota apa ya, mereka seperti mau nonton acara besar.
Tok tok tok.
Suara ketukan kembali terdengar.
Tuan licik terus saja berjalan cepat membukakan pintu sampai-sampai gue nggak terbagi lagi untuk membukanya.
Pegawai tadi datang kembali. “Mari Bu, Pak, Kita berhias lagi.” ajak mereka.
Lagi-lagi mengikuti arahan, entah kali ini berapa kilo yang akan kepala ini bawa.
Tuan licik langsung menggunakan baju kasual, dengan kaos oblong berwarna putih, blazer setengah lengan, dan celana dasar berwarna peach, mirip banget seperti artis negeri ginseng.
Blush!
Tampaknya kali ini gue akui kelicikannya sangat berpengaruh.
Oh ternyata baju kali ini sangat ringan. Warna peach sangat menyatu dengan kulit, cantik banget. Tuan licik lagi-lagi melihatku berbeda.
Hah gue tahu, kamu tertarik bukan dengan penampilanku saat ini yang jauh lebih baik. Hei tuan licik, gue juga bisa kali tampil cantik jangan bisanya kamu saja yang terlihat nyaris sempurna.
Kami keluar dengan santai.
Saat memasuki ruangan juga kami berjalan menyapa para tamu undangan, dan toko-toko penting di sana secara santai. Bisa di bilang acaranya tidak begitu membosankan.
Apalagi melihat sanak keluarga menyanyi gembira, jangan di tanya Falisha dan Hanum nggak tahu urat malunya di mana, goyangan yang heboh itu di tayangkan.
Yang lebih anehnya itu yaitu Oma Farra, sudah tua tapi tingkahnya seperti gadis belasan tahun bergoyang gembira bersama dengan yang lainnya.
Keluarga yang aneh, mereka semua bisa seperti bunglon bisa beradaptasi di mana-mana. Siap-siap aja diri ini ikut beradaptasi setiap harinya.
Tapi sayang banget Mika nggak hadir, maafkan sahabat satu mu ini, bukannya mau senang sendiri. Tapi gue saja nggak tahu sebenarnya harus memiliki perasaan senang atau lainnya. Masih di perhatikan dulu harusnya kemana perasaan ini.
.
.
.
Akhirnya acara selesai juga.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan, sebenarnya masih banyak tamu di bawah. Tapi kami di minta harus pulang ke kamar untuk istirahat.
Sebenarnya kalau nggak ada yang di kenal, maulah gue nyanyi dan goyang sedikit.
Mengikuti langkah kaki tuan licik yang nggak tahu kami harus tidur dimana malam ini.
Ini adalah hotel ke dua yang kami kunjungi, cukup besar sih. Pintu kamar telah di buka oleh tuan licik.
“Yuk masuk, Ay.” ajaknya ke dalam kamar.
“Kita nggak beda alam ya, Mas. Eh maksudnya beda kamar?” masa tidur berdua lagi.
Kamar yang ini terlihat lebih luas sih, di tambah pernak-pernik yang sangat jelas kamar pengantin.
“Ay kamu pasti mengerti kondisi kita saat ini, jangan memintaku untuk mengulangi kata-kata lagi. Atau,” Tuan licik terlihat semakin sangat licik.
Ah malas menjawab, tolonglah saya tidak terpengaruh dengan bujuk rayuan anda yang satu ini tuan licik. Jalan ke balkon di sini bisa melihat seluruh alam.
“Ay masuk sudah malam. Nggak baik angin malam begini untuk kesehatan.” perintahnya yang lagi-lagi membuat kesal.
Berjalan ke dalam kamar, tidak lupa juga menutup pintu.
“Mandilah duluan.”
Tanpa menjawab langsung kamar mandi.
Hah kesal banget sih, mau sampai begini ya Tuhan.
.
.
.
Tok tok tok.
Suara ketukan pintu begitu nyaring dari tadi.
Um, ceritanya ketiduran di bathtub ini. Ya ampun ini pasti gara-gara beberapa hari ini nggak bisa tidur pulas.
“Ay kamu nggak apa-apa 'kan. Kamu jangan lama-lama mandinya, nanti masuk angin.”
“Ay kalau kamu nggak jawab Mamas dobrak nih pintu."
Hah gawat. “Sebentar lagi, Mas.” dengan cepat membersihkan badan akibat mandi susu dan bunga mawar di tambah pijatan khas dari air hangat, gimana nggak sampai tidur gue di sini.
Duh gawat banget ini, bajunya lupa lagi di bawa lagi.
Terpaksa nih gue pakek handuk kimono, masih beruntung handuk yang modelnya begini ada, kalau nggak, tamatlah riwayat gue. Menutupi kepala dengan handuk satunya lagi.
Nah ini baru pas untuk keluar ambil baju. Membuka perlahan pintu kamar mandi, tuan licik rupanya duduk di atas ranjang sedang memainkan laptopnya. Jangan lihat gue ya tuan, please.
“Baju kamu di atas meja.” suaranya terdengar saat mencari dimana letak baju.
Mengambil dengan cepat dan kembali lagi ke dalam kamar mandi.
Huuuft...
Aman.
Menggunakan baju begitu cepat secepat pesanan online. Enggak begitu lama keluar lagi, ah capeknya jiwa dan raga.
“Ay, kamu pakek hijab, kalau nggak ada siapa-siapa?” suara tuan licik yang sudah-sudah tahu-tahu berdiri di dekatku.
Astaga, buat jantungan aja nih orang. Sejak kapan dia di sini. “Enggak Mas, kenapa?”
“Terus kenapa di pakek, Ay? Apa ada, Mamas?”
Iya iyalah ada dirimu, masa ada orang lain di sini. “Um, iya, Mas.”
“Ay, Mamas 'kan suami kamu, masa lupa lagi siapa saya? Atau Mamas perlu membuka kitab kita menjelaskan bahwa halal bagiku dan halal bagimu untuk melihat satu sama lain. Walau kamu belum mencintai setidaknya kita 'kan teman halal. Apa yang kamu punya sudah menjadi milikku dan sebaliknya.” ceramah Tuan licik panjang kali lebar.
“Tapi enggak bagiku, Mas."
“Kenapa?"
“Kamu orang asing bagiku, kita baru bertemu tiga hari yang lalu. Aku belum terbiasa, Mas. Semoga kamu paham.”
“Tapi enggak untukku, Ay.” Tuan licik secara perlahan mendekat.
Tunggu, kenapa beliau mau dekat-dekat? Licik banget nih orang, pasti dia mau lakukan sesuatu. Duh pakek acara di belakang dinding lagi.Gue harus kabur, mencari arah yang bisa melewatinya.
Shap!
Shap!
Entah kenapa secepat itu tuan licik ini mengunci dengan kedua tangannya ke dinding. Memejamkan mata nggak sanggup melihat matanya yang tajam setajam silet.
Ya Tuhan ampunilah dosa-dosaku, banyaklah pahalaku. Bulu kuduk merinding dengan hebat, hantu saja lewat. Tuan licik memegang daguku dengan lembut, apa dia mau?
Sreeet...
Membuka resleting hijab dan membuka hijab secara bebas. Enggak ini nggak boleh. Membuka mata, kami saling melihat satu sama lain.
Terlihat jelas bulu mata yang panjang, bola mata kecoklatan, hidung mancung simetris, lekukan wajah yang benar-benar sempurna, rambut hitam pekat, dan bibir merah muda yang tipis.
Mata tuan licik nggak sekali pun berkedip memandangiku. Apa rambut dan wajah ini sangat aneh atau bisa jadi sangat jelek sehingga beliau sedang berpikir untuk mengoperasikan plastik di wajah ini. Bisa saja begitu.
“Ay, kenapa nggak di keringkan?”
“Apa?”
“Rambutmu."
“Oh Belum sempat, Mas.” gara-gara kamu ingin mengancam ingin mendobrak pintu.
Tuan licik memegang tanganku untuk kesekian kalinya, membawa untuk duduk di kursi depan cermin minimalis. Mengambil hair dryer, mengerikan rambutku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments