"Aku tidak mungkin mendekam di penjara. Bagaimana dengan anakku? Tapi, aku juga tidak memiliki uang untuk membayarnya." Shanum dilema.
Arthur tersenyum. "Kalau begitu, penawaranku saat itu masih berlaku. Tidurlah denganku, maka semuanya akan lunas!" ucap Arthur.
Shanum tidak lagi terkejut dengan pilihan yang Arthur suguhkan. Dia sudah bisa menebak. Pasti, lagi dan lagi Arthur akan menawarkan hal yang serupa. Kendati demikian, bukan berarti wanita itu sudah menyiapkan jawaban dan mempersiapkan diri. Shanum masih bimbang. Sebab, dia tidak menyangka akan terjatuh dalam pilihan. Dipinta memilih dua pilihan antara terlempar ke jurang, atau masuk dalam kubangan hitam berbau menyengat.
Tentu saja, Shanum tidak ingin mengambil kedua keputusan itu. Berharap, ada benang merah dari kebimbangannya ini Namun, seberapa lama diamnya dia, Arthur tidak kunjung memberikan penawaran yang berbeda.
"Waktuku tidak banyak. Kau bisa memilih satu antara dua. Jika kau diam, polisi akan segera menjemputmu sekarang juga!" kecam Arthur, dia sangat tidak suka waktunya disita sampai selama ini.
"Tuan, tidak bolehkah aku meminta waktu sedikit lagi?" Shanum memohon, apa yang bisa dilakukan orang kecil seperti dia? Hutang memang harus tetap terbayarkan. Namun, apakah harus sampai mengorbankan harga diri dan mengobral perzinaan? Shanum sudah pernah terluka sekali karena hal yang sama, apakah dia harus kembali mengulanginya?
"Aku sudah cukup memberimu waktu. Jika aku bersikap baik pada semua orang, bisnisku tidak akan sebesar ini. Apa kau paham?" Arthur memainkan ballpoint di tangannya. "Sudahlah, tentukan pilihan. Aku muak terlalu banyak bicara, apalagi bernegosiasi yang tak menguntungkan aku sama sekali!" ketus Arthur.
Shanum menunduk semakin dalam. Perasaannya tidak menentu. Tapi, mau tidak mau, Shanum harus mengambil satu keputusan yang sangat dibencinya.
"Ka--kapan kita akan...." Suara Shanum menggantung, terlalu malu baginya untuk melanjutkan ucapannya.
"Setelah makan siang. Aku menunggumu di bawah." Senyuman Arthur merekah sempurna. Setelah mengatakan itu, jantung pria itu juga ikut berdegup kencang. Rasanya, dia gelisah menunggu waktu yang akan tiba nanti. Seolah-olah, waktu ini sudah lama diimpikannya.
...'Kenapa aku jadi ikut berdebar begini? Seperti mau pergi kencan dengan seseorang yang sangat aku cintai?' Arthur tidak mengerti dengan dirinya sendiri....
"Baik, Tuan." Shanum menjura, raut sedihnya tak bisa dia utarakan.
Shanum berlalu keluar, diperhatikan oleh Sena, wanita itu pun memilih untuk tidak peduli. Sena bisa melihat Shanum menangis setelah keluar dari ruangan Bosnya.
Sena mengernyitkan dahinya, dia membereskan sebuah dokumen yang membutuhkan tanda tangan Arthur. Sebelum masuk ke dalam ruangan Bosnya, Sena merapikan bajunya terlebih dahulu, memoles make-up supaya terlihat lebih fresh, dan tidak lupa dia juga sebutkan parfumnya agar Arthur tergoda dengan aroma dirinya yang manis.
Sena suka mengenakan pakaian berdada rendah. Di depan pintu ruangan Arthur, Sena menurunkan dadanya sampai menampakkan hampir setengah dari bukit kembarnya. Dia tahu, Arthur sangat suka dengan wanita seksi, dan sering bermain dengan wanita di luaran sana. Namun, Sena juga merasa keheranan, Sudah beberapa tahun dia bekerja menjadi sekretaris, mengapa sampai sekarang Arthur tak pernah menyentuhnya?
"Semoga kali ini rencanaku berhasil. Jika Pak atur terus-terusan menolak dan tidak pernah mau menggagahiku, bagaimana bisa aku hamil anaknya dan menjadi Nyonya Arthur?" Sena sering sebal melihat wanita-wanita berpakaian minim yang kerap kali datang dan bermanja-manja di depan wajah Sena. Dia jengkel, kenapa dia tidak bisa seperti wanita-wanita itu? Padahal, dia juga rela memanjat ke atas ranjang Arthur kok.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" seru Arthur, dia masih sibuk dengan beberapa berkas di depannya. Ingin segera menyelesaikan berkas-berkas itu agar nanti dia bisa leluasa bermain dengan cleaning servis cantik di kantornya.
"Tuan, ini ada berkas yang membutuhkan tanda tangan Anda," ucap Sena, meletakkan dokumen itu di meja Arthur. Sengaja dia berdiri di depan meja, tidak berpindah barang seinci pun.
Tanpa melihat kearah Sena, Arthur mengambil dokumen tersebut dan membubuhkan tanda tangannya.
Arthur meletakkan kembali dokumen itu di depannya, kembali fokus pada setumpuk pekerjaan yang harus segera dia selesaikan.
"Kenapa kamu masih di sini? Apakah masih ada yang lain?" Walaupun bertanya, Arthur masih tidak melihat wajah Sena. Hal ini lah yang paling Sena kesalkan. Kadang, dia merasa wajahnya sangat jelek makanya Arthur tak sekali pun melihatnya.
"Tuan, tadi cleaning servis kita datang ke kantor Anda, kenapa?" tanya Sena, bertanya dengan sangat hati-hati.
"Kenapa bertanya? Sudah biasa cleaning servis masuk ke ruanganku untuk membersihkan bagian-bagian yang berantakan, bukan?" jawab Arthur biasa saja.
"Tapi, tadi saya lihat cleaning servis itu keluar dari sini sambil menangis. Apa Anda memarahinya? Apa dia membuat kesalahan?" tanya Sena, semakin mengorek informasi. Dia juga ingin tahu hubungan apa yang Shanum dan Arthur miliki. Kenapa Shanum bisa bolak-balik masuk ke dalam ruangan Arthur.
Gerakan tangan Arthur yang lihai menekan keyboard di komputernya pun terhenti, karena nama Shanum disebutkan tadi. "Menangis?" tanya Arthur, dia tidak menduga ini. Dikiranya Shanum menyerahkan diri secara sukarela walau tidak memiliki jalan lagi.
Sena mengangguk.
Lama sekali Arthur terdiam, tapi tidak juga mengatakan apa pun. Akhirnya, Sena menyerah untuk mencari tahu. Dia tidak akan mendapatkan apa pun.
"Saya permisi, Pak."
Di pantry, Shanum membuat segelas kopi pahit untuknya. Setiap kali sedang dilanda masalah, Shanum pasti akan meminum kopi pahit. Mengetes, pahit mana takdir hidupnya atau kopi? Kerap kali pula Shanum segera menyadari, kopi pahit yang ditenggaknya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan takdir hidupnya yang jauh lebih pahit dan suram.
"Sha, bagaimana? Ini sudah hari terakhir, kan?" Rima menghampiri Shanum.
Shanum menoleh, matanya yang sudah berkaca-kaca pun menitikkan air mata. Shanum mengangguk. "Sudah, Rim. Semuanya sudah selesai kok. Aku ... aku dapat pinjaman dari temanku yang bekerja di bank," ucap Shanum, menghapus air matanya yang tidak mau berhenti.
"Benarkah? Apa yang kamu gunakan sebagai jaminan, Sha?" tanya Rima, dia tahu bagaimana kehidupan Shanum.
"Sertifikat motorku, Sha. Namanya juga teman, pasti bisa meminjam uangnya, asalkan dimodali dengan kepercayaan," jelas Shanum, pintar sekali dia membuat kebohongan untuk menutupi kebohongan yang lainnya.
Rima manggut-manggut, percaya begitu saja.
"Rima, bolehkah aku meminta bantuanmu?" tanya Shanum, tersenyum kecil.
"Tentu saja, apa itu?" tanya Rima.
"Hum... pulang kerja nanti, bisakah kamu menjemput Arsenio? Aku ada urusan sebentar, takutnya sampai malam baru selesai," pinta Shanum. Dia takut semuanya akan lama, makanya Shanum meminta bantuan sahabatnya untuk berjaga-jaga.
"Kamu mau ke mana?" tanya Rima.
"A--aku mau mengurus pinjaman yang aku katakan barusan, Rim." Shanum tersenyum. "Cuma ini yang bisa membuat aku melunasi hutang-hutangnya pada Tuan Arthur, Rim." saat mengatakan hal terakhir, suara Shanum lirih, nyaris tak terdengar.
"Baiklah. Aku akan menjaganya sampai kamu pulang."
"Terimakasih, Rim."
***
Sepulang kerja, Rima benar-benar menjemput Arsenio di Day Care seperti permintaan Shanum. Arsenio yang melihat Rima menjemputnya pun merasa heran, dia bertanya-tanya. Apakah Mommy-nya tidak sehat makanya meminta Tante Rima untuk menjemputnya?
"Tante, di mana Mommy? Apa Mommy kurang sehat?" tanyanya.
"Tidak, Sayang. Mommy punya urusan lain yang harus segera diselesaikan. Kamu pulang sama tante saja, tidak apa-apa, kan?" bujuk Rima.
"Tidak apa, Tante. Ayo, Arsen sudah gerah, nih!" ajak Arsenio, dia anak kecil yang paling mengerti situasi.
Sementara, Shanum masih menunggu di parkiran. Menunggu utusan Arthur untuk menjemputnya. Saat makan siang tadi, Arthur membatalkan pertemuan mereka karena ada keperluan mendadak. Shanum menoleh ke sana-sini, sampai kantor sudah sepi pun belum ada yang menemuinya.
"Kenapa belum ada yang menjemputku? Apa tidak jadi, tapi mereka lupa mengabariku?" gumam Shanum bertanya-tanya. "Kalau aku terus menunggu di sini, takutnya pagar kantor nanti dikunci."
Shanum takut, dia memutuskan untuk pulang. Baru saja Shanum menstater sepeda motornya, Leo datang menemuinya.
"Nona, mau ke mana? Tuan Arthur sudah menunggu Anda." Leo menunjuk ke sebuah mobil mewah berwarna silver.
"Aku pikir tidak jadi. Sudah hampir malam, tidak ada yang menemuiku," ucap Shanum. "Lalu, bagaimana dengan sepeda motorku?" tanya Shanum.
"Tidak apa-apa. Berikan saja alamat rumah Anda, kami akan mengantarkannya ke sana," ucap Leo.
"Tidak perlu, jangan antarkan ke kostku," cegah Shanum dengan wajah panik. "Jaga saja di sini jangan sampai hilang," pintanya kemudian.
Jika sepeda motor itu sampai di antarkan ke kost, tentu semua penghuni kost termasuk Arsenio pasti akan curiga dan khawatir. Ke mana Shanum pergi tanpa membawa sepeda motornya?
"Baiklah." Leo dan Shanum berjalan beriringan. Leo membukakan pintu mobil untuk Shanum, membiarkan Shanum duduk di samping Arthur.
Sepanjang perjalanan, ketiga manusia itu kompak diam. Apalagi Shanum, dari tadi dia hanya menundukkan kepalanya. Arthur melihat wanita di sampingnya hanya bisa meyakinkan diri, kalau Shanum memang terpaksa.
'Sepertinya apa yang Sena katakan tadi memang benar, wanita ini menangis. Apa lehernya tidak capek menunduk terus? Biasanya, wanita-wanita yang akan aku setubuhi, pasti akan bertingkah manja, benar-benar memuakkan. Berbeda dengan wanita ini, yang hanya diam seperti orang yang akan menemui ajalnya. Jangan-jangan, dia sedang menangis?' batin Arthur, memperhatikan kelakuan Shanum.
"Tuan, kita sudah sampai."
Arthur dan Shanum turun, langkah kaki mereka menjejaki sebuah mansion mewah.
Tujuan mereka langsung ke dalam kamar. Setibanya di kamar, Shanum tertegun. Dia merasa tidak familiar dengan kamar ini. Shanum tau, hanya saat malam tragis itulah dia pernah masuk ke dalam kamar semewah ini. Meski merasa familiar, Shanum tidak berani langsung mengclaim inilah kamarnya. Sebab, malam itu dia tidak bisa melihat dengan jelas sebab hanya cahaya bulan saja yang memberikan penerangan.
'Apa hanya perasaanku saja? Atau, mungkin cuma mirip? Tuhan, tubuhku mulai berkeringat dingin.'
Shanum mulai gemetar saat Arthur mengunci pintu kamar. Bayangan kejadian silam kembali merenggut keberaniannya. Shanum terisak kecil, tubuhnya gemetaran disertai dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya.
Arthur masih belum menyadari, dia membuka semua aksesoris di tubuhnya, kemudian barulah berbalik. Mata pria itu menyipit, jelas dia lihat Shanum yang gelisah.
"Kenapa kau bertingkah seperti itu? Kau sudah pernah melakukannya, bukan? Untuk apa kau pura-pura ketakutan? Kemarilah! lepaskan jas dan kemejaku. Kita mandi bersama," ajak Arthur.
Mata Shanum makin membeliak, deru jantungnya berdegup sangat kencang. Seakan jantung Shanum hampir saja meledak.
"Tidak." Shanum menolak cepat, dia mundur sampai tubuhnya menyentuh dinding.
"Kau pikir, dengan kau bertingkah seperti ini, aku akan melepaskanmu?" Arthur tersenyum sinis. "Tidak akan pernah! Kau sudah masuk ke kamarku, berarti harus melayaniku! Tuntaskan hasratku, puaskan aku!" ucap Arthur, melepaskan jasnya dan melemparkan ke sembarangan arah. Arthur membuka dua kancing kemeja paling atasnya, membuka ikat pinggangnya sambil berjalan mendekati Shanum.
Arthur merengkuh pinggang Shanum, mendekap wanita itu. Wajah mereka sangat dekat hingga deruan nafas seakan menerpa wajah masing-masing. Dengan gerakan cepat Arthur mengikat tangan Shanum dengan ikat pinggangnya, menguncinya ke atas.
"Puaskan aku, Nona!" Arthur menyerang Shanum ingin ******* bibir wanita itu. Namun, Shanum buang muka.
"Nikahi aku, Tuan. Aku ... tidak ingin berzina. Sudah cukup sekali, aku tidak mau diperlakukan sama seperti dulu lagi," ucap Shanum dengan bibir bergetar menahan tangis.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Femmy Femmy
gatalnya sena..kasihkan ulat bulu biar tambah gatalnya🤭🤣🤣
2024-03-16
0
Femmy Femmy
😃
2024-03-16
0
Wirda Lubis
benar shanum minta nikah
2023-04-27
0