Sambungan telepon mereka terputus. Saat memasukkan ponselnya ke dalam tas, Shanum menemukan ada beberapa ikat uang bernilai besar di dalam tasnya. Shanum sempat ragu dan bingung, akankan dia harus mengambil uang tersebut?
"Uang ini … sebagai bayaranku?" gumam Shanum bertanya-tanya.
Dia menyudahi pusingnya, memutuskan untuk menyimpan uang itu ke dalam rekeningnya saja, supaya bisa digunakan jika suatu saat dia membutuhkannya.
Shanum bergegas mengambil barang-barang miliknya dan keluar dari hotel tersebut. Berjalan menuju jalan raya, menyetop taksi dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Seiring supir yang dia tumpangi melaju, jantungnya berpacu kencang. Entah alasan apa yang harus dia berikan pada Ibunya nanti yang pasti aka mencecarinya dengan beribu banyak pertanyaan.
Ketika sampai di depan rumah sederhana miliknya, Shanum melangkah dengan pelan.
"Dari mana saja kamu?" tanya Mia, ibunya Shanum. Menilik penampilan Shanum dari atas sampai ke bawah.
"Bu, aku habis dari rumah Rara," jawab Shanum, berbicara sehati-hati mungkin karena takut salah bicara.
"Lihat! Rio sudah menunggu kamu sejak dua jam yang lalu. Barusan dia meminta untuk menjemputmu tapi kamu tidak mengizinkan, bagaimana sih kamu?!" sentak Mia, terlihat sekali jika dia tidak senang dengan putrinya itu.
"Satu Minggu lagi pernikahan kalian akan dilangsungkan. Sudah berapa kali Ibu katakan, jangan keluyuran malam, Shanum! Kenapa, sih, kamu masih keras kepala? Jujur saja, kamu dari mana?" omel Mia, masih kurang percaya dengan jawaban Shanum.
"Tadi malam Rio sudah mengecek toko tempat kamu bekerja, tutup. Terus kamu menginap di rumah Rara? Sangat tidak masuk akal. Kenapa tidak langsung pulang ke rumah saja, ha?" lanjut Mia, sedikit pun tidak memberikan celah untuk Shanum menjelaskan. Namun, seperti itu lebih baik bagi gadis itu. Jika dia diberi kesempatan untuk menjelaskan pun, entah alasan apa yang harus dikatakannya pada sang Ibu yang sejak tadi mengomel tanpa henti.
"Bu, sudahlah, kasihan Shanum baru saja pulang. Aku percaya dia semalam menginap di rumah Rara," ucap Rio menengahi. Masih duduk memantau pergerakan Shanum yang sejak tadi hanya mampu tertunduk.
"Rio, mau sampai kapan kamu mau membelanya? Jangan buat dia keras kepala karena pembelaan dari kamu." ketika berbicara dengan Rio, nada suara Mia berubah lembut.
"Tidak apa-apa, Bu," tukas Rio, menyunggingkan senyum manisnya pada calon Ibu mertuanya itu.
"Sudahlah, kalian lanjut bicara saja!" Mia berlalu masuk tanpa mengatakan apa pun lagi.
Melihat Mia sudah masuk ke dalam, Rio menghampiri Shanum yang masih mendudukan kepalanya, menatap lantai begitu lama dengan perasaan yang berkecamuk. Rasa takut yang menggumpal dalam hatinya, membuat Shanum senantiasa waspada dengan gerak-geriknya sendiri. Was-was jika apa ucapannya sendiri, malah akan mengungkap kebohongan yang sedang disembunyikan.
"Sha, ke mana kamu semalam?" pertanyaan calon suaminya mengagetkan Shanum. Bukannya menatap pria di depannya sembari meyakinkan, Shanum memilih untuk semakin menunduk diam. Tidak sadar jika perilakunya semakin mengundang kecurigaan dari lawan bicaranya. "Katakan dengan jujur, Sha. Jangan buat aku kecewa," lanjut Rio mendesak jawaban.
"Bukankah kamu yang mengajakku bertemu? Seharusnya, aku lah yang menanyaimu, ke mana kamu semalam? Kenapa kamu tidak datang menemuiku?!" tanya Shanum balik, diam-diam air matanya menetes tanpa henti.
"Aku sibuk, lupa mengabarimu. Maafkan aku. Tapi, mengapa kamu tidak pulang semalam? Apa kelupaanku kamu jadikan kesempatan untuk bertemu dengan pria lain di luar sana?" tuding Rio.
Shanum mengangkat kepalanya, namun tak langsung menatap netra hitam calon suaminya. Lantas, dia bertanya untuk membela diri, "Kamu … masih tidak mempercayaiku, Rio? A–aku benar-benar menginap di rumah Ra–"
"Jangan berbohong, Sha. Semalam, aku sudah datang ke sana, demi mencarimu. Kamu tidak ada di sana. Kedua orang tua Rara juga turut membenarkan," potong Rio, tidak mengizinkan Shanum terus berkelit.
Shanum memejamkan matanya, setetes air bening menetes dari sudut matanya. Dalam tundukan diam, Shanum menahan isakan dan ketakutannya. Bukan tidak mau mengadu dan berkata jujur. Jika harus jujur, banyak sekali konsekuensi yang harus Shanum tanggung nantinya. Satu hal yang paling dia takuti, adalah kehilangan Rio, calon suaminya.
Jika gadis itu sudah mengatakan yang sebenar-benarnya, tidak ada yang bisa menjamin pria itu akan tetap memilih tinggal dan melanjutkan pernikahan mereka, bukan?
"Jawab aku, Shanum. Kamu bukan orang yang pintar berbohong," desak Rio lagi.
"Aku … aku …." Shanum menggelengkan kepalanya pelan. Dia masih belum bisa untuk mengatakan yang sebenarnya. Masih shock dengan semua yang terjadi.
"Jadi, kamu memilih diam? Tanda Kissmark di lehermu terlihat sangat jelas, Sha," ucap Rio, suaranya terdengar getir, begitu menyakitkan Shanum. Kata-kata itu pula yang berhasil membuat Shanum menatap wajah calon suaminya.
"A–apa? Bekas kissmark?" Shanum langsung berusaha menutupi bekas-bekas kissmark yang tertinggal dengan tangannya.
"Percuma kamu menutupinya, bukan hanya di situ. Bekas tanda cinta kalian ada di mana-mana." Rio tersenyum kecut. "Satu Minggu lagi kita akan menikah. Apa sebelum itu kamu sudah menyerahkannya … untuk orang lain?" tanya Rio hati-hati.
"Siapa dia?" tanya Rio lagi. Setiap pertanyaan yang keluar dari pria itu, membuat Shanum semakin jatuh dalam kubangan rasa bersalah yang amat membelenggunya.
"Ti–tidak, Rio. Itu tidak seperti yang kamu pikirkan." Shanum menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Yang benar, aku dipaksa. Aku juga tidak tahu siapa yang merenggut kesucianku yang aku jaga hanya untuk kamu, suamiku kelak. Aku juga sangat tidak menginginkan hal ini terjadi. Tetapi, semuanya sudah terjadi. Hal apa lagi yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya?' batin Shanum, meringis sembari menitikkan air mata.
"Sha, aku sangat kecewa padamu," ucap Rio, menatap Shanum dari atas ke bawah.
"Rio, ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak mengkhianatimu," terang Shanum, berusaha menggenggam tangan Rio untuk meyakinkan. Namun, Rio langsung menepis tangan calon istrinya itu.
"Pernikahan kita akan dilangsungkan secara sederhana, tidak ada pesta pernikahan seperti yang kita rencanakan di awal," ucap Rio, suaranya lirih. "Aku sudah membicarakannya dengan kedua orang tuaku dan juga Ibumu. Mereka semua setuju dengan rencanaku ini," lanjut Rio lagi.
Shanum merasa kecewa, bukankah semuanya sudah direncanakan sejak awal? Namun, mengapa semua perencanaan harus diubah tanpa persetujuan darinya. Yang akan menikah dirinya dan Rio, namun kenapa dia terlupakan, seolah menjadi tokoh tak penting dalam ceritanya sendiri? Harusnya, Shanum sendiri lah yang mengambil alih keputusan atas apa pun, dia yang menjadi peran terpenting dalam pernikahannya itu.
"Kenapa semuanya berubah? Apa … karena semalam aku pergi tanpa persetujuan darimu?" tanya Shanum lirih.
"Bukan, tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Namun, semuanya karena kamu sudah berkhianat," jawab Rio.
"Berkhianat?" Shanum tersenyum getir. "Sejak kapan kalian mengetahui kalau aku berkhianat?" tanya Shanum. Namun, Rio tidak bisa mengatakan apa pun, hanya bisa terdiam.
"Itu buktinya, kissmark ada di mana-mana! Sudahlah, aku mau ke kantor. Kalau kamu masih mau menikah denganku, turuti saja. Kalau tidak, kita batalkan saja," ucap Rio, melenggang pergi meninggalkan Shanum seorang diri.
Shanum tergugu, sudah pasti dia tidak bisa menerima takdir yang buruk yang sedang ditimpakan Tuhan padanya. Sejak semalam, cobaan terus datang padanya. Rentetes kejadian tragis hingga ada yang merenggut kesuciannya, kini pernikahannya dengan sang pujaan hati pun berada di ambang kehancuran.
"Batalkan saja? Semudah itukah? Bagaimana dengan perasaan yang sudah terjalin selama beberapa tahun ini?" gumam Shanum dalam tangisnya.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Femmy Femmy
lebih baik g usah dilanjutkan shanum pernikahan mu daripada setiap harinya kamu menjalani siksaan batin..
2024-03-16
2
Putri Minwa
semoga shanum tetap kuat ya
2023-09-04
0
Dennyanto Suryadi Siregar
sepertinya rio yg telah mnjual shanum
2023-08-20
0