"Menikah dengan Rara?" Shanum memperhatikan raut wajah Rio, benar hanya ada gurat kemarahan di wajah pria itu. Kemudian, dia beralih menatap Rara yang awalnya tersenyum, saat menyadari tatapan Shanum padanya, buru-buru dia menundukkan kepalanya.
"Ra, apa kamu bersedia menikah dengan Rio?" tanya Shanum, suaranya begitu lirih. Hampir tenggelam dalam seruan serta teriakan orang-orang yang menyerukan penghinaan padanya.
"Ma--mau bagaimana lagi? Aku terpaksa menerimanya, bukan? Walaupun aku begitu terpaksa, aku tetap harus menggantikan kamu, Sha!" jawab Rara, meremas jari-jemarinya dengan wajah tertunduk.
'Menggantikan aku? Terpaksa? Jika kau benar sahabatku, kau tidak akan ikut-ikutan merundungku seperti mereka. Keterpaksaanmu itu mengecewakanku, Ra! Seterpaksa apa pun, harusnya kamu tidak menerimanya,' batin Shanum.
Shanum hanya mengangguk dalam diam, tangisannya meledak namun dia sama sekali tidak berani mengeluarkan suaranya. Hanya isakan lirih yang mampu dia lakukan walaupun hatinya tertancap belati tajam yang tidak bisa dia cabut seorang diri.
"Pergi kau pezina! Pergilah!" hardik mereka yang ada di sana, tidak segan-segan melemparkan Shanum dengan apa saja yang ada di depan mereka. Tangisan pilu yang mulai terdengar, tidak menghentikan aksi mereka.
"Pergilah pezina! Pergi sana!" teriak beberapa orang lagi, yang seakan tak pernah puas sebelum Shanum melangkahkan kakinya dari tempat itu sesegera mungkin.
"Pergi!" teriak Mia, Ibunya. Melemparkan pakaian-pakaian Shanum yang sudah dibungkus ke dalam sebuah kantong plastik besar berwarna hitam dan melemparkannya ke tubuh Shanum sampai wanita itu terhuyung-huyung.
"Bu?" Shanum tak menyangka, bukan memilih untuk melindunginya. Mia malah ikut menghina dan mengusirnya.
"Jangan panggil aku ibu!" bentak Mia, wajahnya memerah menahan amarah yang berkecamuk dalam hatinya.
"Bu, bukan seperti itu. Kenapa tidak mau mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu? Aku tidak serta-merta menjual diri, Bu! Aku diperka--"
"Jangan-jangan, tubuhmu kurang sehat karena kau sedang mengandung benih sialan dari para pria yang pernah tidur denganmu, kan?" potong Mia, malah mengatakan hal yang belum tentu pasti kebenarannya. Namun, setelah mengatakan sesuatu yang menjadi aib bagi putrinya, Mia tersenyum sinis.
"Bu, aku tidak menjual diri!" sekali lagi Shanum mempertegas kenyataan. Tapi, nihil. suaranya tetap saja kalah dengan suara orang-orang yang enggan untuk mendengar penjelasan Shanum yang dikiranya sebagai kebohongan.
"Pergi kamu Shanum! Jangan mengatakan kebohongan lagi, sudah cukup kamu mempermalukan Ibu dan Om Luqman. Walaupun dia Ayah tirimu, dia juga sangat menyayangimu. Tapi, teganya kamu membalas semua kasih sayang dan pengorbanan kami dengan kotoran ini!" ucap Mia lantang, tak sekali pun memberikan hal Shanum untuk membela diri.
"Apalagi sekarang kamu sudah hamil anak orang lain, tidak pantas menikah dengan Rio!" celetuk Rara, semakin menuangkan lahar amarah warga.
"Hamil? Bahkan, aku sendiri saja tidak tahu jika aku sedang hamil. Kenapa kamu, sahabat baikku rela mengatakan hal yang belum terbukti kebenarannya di depan para warga seperti ini? Rara, kamu sengaja mau membuat mereka semakin marah? Sedangkal itu hubungan kita selama bertahun-tahun?" Shanum menatap sendu pada Rara, wanita yang sudah menjadi sahabatnya selamat bertahun-tahun itu tak kunjung memperingatkan raut penyesalan.
"Jangan memojokkan orang lain hanya karena kesalahanmu sendiri, Shanum! Pergilah! Aku sudah muak melihatmu!" teriak Rio.
Shanum manggut-manggut, dia mengutip beberapa lembar foto dirinya yang bertebaran, mengambil beberapa yang bisa dijangkau. Kemudian, memasukkan foto-foto itu ke dalam kantong plastik berisikan pakaiannya dan pergi tanpa berpamitan pada siapa pun termasuk Mia, Ibunya.
"Tante, yang sabar, ya. Maafkan Shanum yang sudah melakukan kesalahan," ucap Rara, berusaha menenangkan Mia yang baru terisak setelah Shanum pergi. Tangisan palsunya terlihat jelas oleh beberapa orang warga. Tetapi, mereka semua memilih untuk tidak peduli dan bubar.
Peni langsung pergi, tidak ada niatan sedikit pun untuk menghibur mantan calon besannya itu. Sebab, di antara semua orang, dialah yang paling tahu sekaligus menjadi saksi bagaimana sikapnya pada Shanum dulu. Peni cukup kecewa pada mantan calon menantunya itu, tapi entah mengapa dia tidak bisa membenci Shanum.
"Pa, ayo kita pulang!" Peni mengajak suaminya, meninggalkan Rio lantaran terlalu kesal.
"Bagaimana dengan Rio? Tunggu dulu dia, Ma."
"Menunggunya? Untuk apa? Dia tidak menghargai kita sebagai kedua orang tuanya, Ma. Apa selama ini Papa tahu keputusan Rio yang membatalkan pernikahan dengan Shanum dan besok akan menikah dengan Rara?" sungut Peni, matanya mendelik gusar pada sang suami.
Sejurus kemudian, pria paruh baya itu pun menggelengkan kepalanya beberapa kali sebagai jawaban atas pertanyaan suaminya.
"Aku juga tidak tahu, Ma. Yang herannya, kenapa harus melanjutkan pernikahan, dengan Rara pula? Bukankah mereka membutuhkan waktu untuk saling mengenal satu sama lain?" tanya Raka, Papanya Rio.
"Entah ada kontroversi apa, Mama sangat pusing memikirkannya, Pa." Peni menghela nafas beberapa kali.
"Pa, Ma, mau ke mana?" tanya Rio mengejar kedua orang tuanya.
"Kami mau pulang, menenangkan pikiran," jawab Peni tanpa mau melihat ke arah Rio.
"Ma, Rio mau bicara mengenai pernikahan Rio dengan Rara. Kalian tunggu di rumah, ya?" pinta pria itu sambil tersenyum.
"Maaf, kami tidak punya waktu," jawab Peni cepat. "Bukankah kamu sudah mengumumkan mengenai pernikahan kalian di depan umum? Lantas, untuk apa membicarakannya lagi denganku dan Papamu? Lanjutkan saja! Bukannya kamu bisa melakukan apa pun tanpa meminta persetujuan dari kami?" sarkas Peni, menatap sinis putranya yang terpaku tanpa bisa membantah.
"Ma, aku terpaksa melakukan itu. Aku dan Rara sudah saling mencintai," akunya tanpa malu, berharap kedua orang tuanya memberikan kesempatan untuk Rara.
"Sebelum kamu dan Shanum memutuskan hubungan? Berarti, selama ini kamu juga berkhianat!" kecam Peni, dadanya kian sesak. Dipenuhi dengan kesedihan yang mendera.
"Pa, ayo kita pulang!" suara Peni lebih keras, menarik ujung baju suaminya.
***
Shanum berjalan menyusuri koridor sembari menenteng kantong plastik berisikan pakaiannya. Di tengah teriknya matahari, Shanum hanya bisa meringis saat pusingnya semakin terasa. Mencium aroma-aroma makanan di jalanan, Shanum semakin menahan mual. Perasaannya semakin curiga dengan kondisinya sendiri, dia memegangi perutnya. Batinnya semakin bertanya-tanya.
"Benarkah sudah ada kehidupan di dalam sini? Kehidupan akibat dari kesalahan-kesalahan satu malam itu?" gumam Shanum, dia melihat ke apotek yang berada dekat dengan jangkauannya, memutuskan untuk membeli sebuah testpack.
Selesai membeli testpack, Shanum berjalan ke arah taman, terdapat sebuah toilet umum di sana. Rencananya, di sanalah dia akan memakai testpack yang sudah dibeli tadi.
"Jantungku berdetak kencang," ucap Shanum, memperhatikan tangannya yang gemetar memegang benda kecil itu.
Perasaan Shanum tidak menentu kala testpack di tangannya mulai menunjukkan garis berwarna merah. Garis yang mulanya hanya satu, lama kelamaan menunjukkan satu garis lainnya. Ya, testpack tersebut menunjukkan garis dua. Shanum tentu mengetahui apa artinya itu.
"Garis dua? Itu artinya aku hamil," ucapnya, tubuh Shanum luruh ke lantai. Dia mulai menangis sesegukan.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Femmy Femmy
kasihan nya shanum
2024-03-16
0
Femmy Femmy
brengseknya mereka ber dua...Rio kamu dan Rara akan mendapatkan balasan dari perbuatanmu kepada shanum
2024-03-16
0
Wirda Lubis
semoga Rara dapat karma
2023-04-26
2