Ide Jahil

Allena membantu Queen membersihkan diri, baru saja selesai terdengar bel rumah berbunyi sekalian wanita itu membuka pintu.

"Sekretaris Dio."

"Selamat pagi, Nyonya, saya mengantar pakaian Tuan Muda." Pria berpakaian formal itu menenteng paper bag hitam lumayan besar. Lalu menyorongkan di depan Allena.

Allena tahu maksud Dio, pasti menyuruhnya untuk memberi pakaian itu pada Leon. "Silahkan masuk," ucapnya dan berbalik badan untuk naik ke lantai atas.

Di dalam kamar Allena, Leon hanya menggunakan handuk mandi. Bibirnya menggerutu kesal karena Dio belum datang, sedangkan tubuhnya sudah kedinginan. Menggunakan pakaian kemarin? Oh tidak mungkin. Leon sangat anti memakai pakaian yang belum dicuci.

Entah apa yang ada dipikiran Leon hingga pria itu berjalan ke arah lemari dan membukanya. Mencari kaos, hoodie atau apapun yang bisa digunakan. Tatapan Leon terhenti pada kemeja putih dan celana bahan hitam yang terlipat rapi namun tersimpan dalam plastik putih. Berbeda dengan kain lainnya yang hanya dilipat biasa.

Tangan kekarnya terulur untuk mengambil setelan itu, tapi ....

Ceklek ....

"Baju Anda sudah ...," ucapan Allena terhenti melihat Leon sedang mengamati isi lemarinya. Gawat! Akan malu jika pria itu melihat-lihat onderdilnya.

"Kenapa Anda buka-buka lemari ku?" Allena menutup pintu lemari sebelum Leon sempat menyentuh kemeja dan celana bahan itu.

"Aku mau pinjam kaos atau pakaian yang bisa aku pakai. Badanku kedinginan," ujar Leon mendekap tubuhnya dengan kedua tangan.

Allena membuang pandangan, merasa gugup dan canggung melihat Leon hanya bertelanjang dada. Apalagi ingatan tadi pagi sering muncul, membuat wajah Allena bersemu malu.

"Ini pakaian Anda."

Leon mengernyit melihat tingkah Allena, hingga dia menyadari ada semburat kemerahan di pipi wanita itu. Bibirnya tersenyum tipis dan terlintas ide jahil untuk membuat Allena lebih memerah.

Leon sengaja maju dua langkah agar tubuh Allena tertekan di pintu lemari. Lalu menyangga tangannya untuk mengunci tubuh wanita itu.

"A-apa yang mau Anda lakukan? Menjauh!" seru Allena merasa terancam. Dia sulit mengontrol jantungnya sendiri.

Leon menundukkan wajah agar sejajar dengan wajah Allena. Mendekat, lebih dekat, bahkan napas mereka saling menerpa. Sesaat Allena terpaku di tempat. Napas Leon terasa menggelitik telinga dan lehernya.

'Akh! Apa yang ingin dia lakukan?!'

'Hei, ayo, berontak! Dorong dia!'

'Hei, tubuh! Ayo, bergerak!'

Isi pikiran Allena yang diabaikan oleh reaksi tubuhnya. Karena tubuhnya justru bergeming seperti patung. Seolah diam menerima apa yang akan dilakukan Leon.

"Mommy nya Queen."

"Heum?"

"Mommy nya Queen." Leon mengulang bisikannya di dekat telinga Allena, membuat jantung Allena berdesir-desir tak karuan. Napas itu menggelitik dan memberi sensasi aneh.

Tangan Leon menyelinap dibalik tubuh Allena dan menekan punggung itu lebih mendekat.

"Tu-Tuan?" Tatapan keduanya bertemu. Allena menaruh kedua telapak tangan di depan dada bidang Leon hingga kulit mereka bersentuhan. Tak dipungkiri, Leon pun berdebar dengan apa yang dilakukan.

"Jangan lakukan itu sekarang, Tuan!" kata Allena menunduk.

"Aku tidak melakukan apapun. Hanya ingin memberitahumu, sepertinya pengait b r a mu lepas."

"Haaaaaahhh?!"

Ambyar segala yang mengawang diotak Allena, hingga yang tersisa hanya rasa malu. Dan benar-benar memalukan!

Duk! Allena menginjak kaki Leon dan menjauh dari pria itu. Bibirnya mengucap sumpah serapah karena rasa malu yang pria itu berikan.

"Dasar-dasar-dasar! Menyebalkan! Kurang ajar! Asataga ...." Setelah membanting pintu kamar, Allena menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia sangat malu. Lalu masuk ke kamar mandi yang ada diruang lainnya untuk membenarkan pengait b r a.

Di dalam kamar Leon terbahak-bahak sampai ujung matanya mengeluarkan air mata. "Lucu sekali dia. Wajahnya sampai memerah seperti Cherry. Dia pasti tidak menyangka dengan yang aku katakan tadi. Dan apa? Dia bilang ... jangan lakukan itu sekarang, Tuan. Hei ... memangnya aku mau melakukan apa? Dia juga berpikiran mesum." Dia masih tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku pasti sudah gila karena senang sekali mengerjainya dan melihat pipinya berubah memerah." Pria itu terus berkata sendiri sampai suaranya hilang dibalik kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian Leon sudah siap untuk turun ke lantai bawah. Di ujung anak tangga, dia disambut oleh Queen yang terlihat riang.

"Daddy, apa semalam daddy menginap di sini?"

Leon yang sudah berhasil menuruni semua anak tangga, lalu mengangkat tubuh Queen untuk di gendong.

"Ya, semalam daddy menginap di rumahmu." Memberi kecupan di ujung kepala Queen.

"Daddy tidur di kamar, Mom? Kenapa tidak tidur di kamarku saja?" tanyanya.

"Eum ... semalam kamu sudah tidur, daddy takut membangunkan mu. Dan kamu tau, kasur dikamar mu sangat kecil tidak muat untuk kita berdua."

"Eum, begitu?" Queen mengangguk.

"Selamat pagi, Tuan," sapa Dio mendekati Leon.

"Pagi. Apa yang kau kerjakan sampai telat membuka pesanku?!" Leon berubah kesal saat berbicara dengan Dio.

"Maaf, Tuan." Dio memilih meminta maaf agar aman dan Leon tidak memperpanjang lagi.

"Selamat pagi, Tuan. Sarapannya sudah matang, mari sarapan dulu."

Leon dan Dio mengikuti Bi Iyah, lalu duduk di kursi meja makan. Beberapa saat Allena masih belum bergabung, tapi tidak mungkin juga untuk terus-terusan bersembunyi.

"Selamat pagi," sapa Allena yang tiba-tiba mengambil duduk di kursi ujung. Padahal di dekat Leon masih kosong.

"Pagi," sahut Leon.

"Pagi, Mom." Queen tampak bersemangat.

"Mom, kenapa duduknya di jauh sana. Mom mau disuapi, Mom," rengek gadis kecil itu.

Allena menghela napas dan pindah ke samping Queen tanpa memandang Leon sama sekali.

"Telur mata sapi. Telur mata sapi, yey ...." Queen berseru gembira begitu Allena mengambil piring berisi menu telur mata sapi.

Leon melirik semua yang ada di sana. Kepercayaan dirinya mengkerut saat Queen berseru demikian. Ternyata Queen juga menyukai menu itu. Dia terlihat seperti anak kecil sekarang.

"Tapi, Mom, kok ada dua telur mata sapinya?"

"Daddy mu juga menyukai telur mata sapi sepertimu, Queen. Bedanya, daddy menyukai sayur brokoli sebagai rambutnya. Tapi, berhubung tidak ada brokoli, jadi diganti mie seperti milikmu," ujar Allena melirik Leon. Pria itu tampak tak berkutik.

"Benarkah daddy menyukai telur mata sapi seperti wajah Grield?" tanya Queen memandang Leon dengan terkejut.

"Grield? Siapa Grield?" Leon justru balik bertanya.

"Itu tokoh kartun yang jahat dengan rambut bergelombang. Matanya besar, mulutnya lebar, kalau tertawa terdengar ha ha ha ...." Queen bercerita dan bernyanyi. Bahkan gadis kecil itu juga tertawa.

Leon berganti melirik Allena. Wanita itu menahan tawa.

Dan tiba-tiba Dio mendekat, berbisik didekat telinganya. "Tuan, Anda tidak bernyanyi seperti Nona Queen tadi? Telur mata sapi. Telur mata sapi. Yeey ...."

"Mau ku penggal kepalamu, hah? Diam! Sialan!" kesal Leon.

Terpopuler

Comments

Lovesekebon

Lovesekebon

Yeeyy telor mata sapi 🐮🐄🤭👍👍👍💯

2023-02-10

0

Itha Fitra

Itha Fitra

hahaha..ada" sj dio

2023-02-05

0

Cahaya Lisbet

Cahaya Lisbet

huahahahahaha

2023-01-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!