Setelah kejadian itu, pagi ini Rina sudah bertekad untuk lebih mandiri lagi. Itu dimulai dengan pertemuannya dengan Hilman yang dia lakukan siang harinya.
"Huh! Sayang, tolong bantu Mama untuk tegar dalam menghadapi semua ini." Rina bergumam lirih sambil mengelus bagian bawah perutnya.
Saat ini Rina sedang duduk di salah satu bangku sebuah restoran, dia telah berjanji temu dengan Hilman di sana.
Beberapa saat kemudian, Hilman tampak berjalan ke arahnya, laki-laki yang selalu terlihat modis, ala pemuda kota pun datang dengan senyumnya yang tampak merekah.
"Ada apa nih, tumben ngajak ketemu di luar?" tanya Hilman setelah dia memberi salam kemudian duduk di depan Rina.
Rina menggeleng dia kemudian meminum jus jeruk yang dia pesan lebih dulu.
"Aku mau tau semua tentang Mas Anjas dan Tari," ujar Rina yang langsung membuat Hilman melebarkan matanya.
"Apa? Gimana maksud kamu?" tanya Hilman memastikan apa yang baru saja dia dengar.
"Aku mau tau semua tentang Mas Anjas dan Tari." Rina tampak mengulang perkataannya dengan sangat yakin.
Hilman menelan salivanya dengan susah payah. Apa yang terjadi pada mereka berdua tadi malam? Kenapa sekarang Rina jadi berubah begini?
Hilman tampak memperhatikan Rina dengan seksama, wanita di sampingnya itu, kini terlihat berbeda dari biasanya.
Dia pakai make up sekarang? Bajunya juga terlihat tidak lagi seperti orang kampung, walau masih sederhana.
Ya, semenjak kepergian Anjas, Rian bahkan hampir tidak tidur, dia sibuk melihat berbagai artikel, video cara merawat diri, dan merias. Semua itu dia lakukan agar tidak terlihat menyedihkan di depan Anjas atau Hilman.
Hidupku sudah cukup menyedihkan, jadi sekarang tidak ada yang boleh melihatku dengan menyedihkan lagi! itulah tekad yang kini ada di dalam hati Rina.
"Gimana, Bang Hilman mau bantu aku atau enggak?" tanya Rina tidak sabar, karna sejak tadi Hilman malah terdiam.
"Hah! Eum, tapi, kamu gak akan macam-macam kan?" tanya Hiilman menatap Rina dengan curiga.
Rina tertawa, dia merasa lucu atas tuduhan Hilman padanya. "Memang apa yang akan aku lakukan, Bang?"
"Aku hanya ingin tahu hubungan mereka dan aku juga mau tau sebenarnya apa pekerjaan Mas Anjas?" ujar Rina ragu.
"Hah? Jadi selama ini kamu bahkan tidak tau pekerjaan suami kamu?" tanya Hilman kaget.
Rina mengangguk. "Aku bahkan gak tau isi kartu ini, jadi selama ini aku berbelanja dengan hati-hati. Takut tidka cukup, hehe," jawab Rina jujur kembali sedikit memberikan candaan.
Himan menghembuskan napas kasar, padahal isi kartu itu sangat cukup untuk lehidupan Rina, Anjas mengisinya dengan sangat banyak sebelum menyerahkannya padanya.
Namun, tidak salah jika Rina tidak mengenal Anjas dan keluarganya, karena mereka memang tertutup untuk masalah pribadi, walau sebenarnya di kota ini keluarga mereka cukup terkenal, karena prestasi yang di dapat sang ayah yang merupakan anggota DPRD.
Hilam terdiam sejenak, dia menimbang apakah jika mengatakan semuanya tentang Anjas pada Rina tidak akan berdampak buruk padanya.
"Anjas dan aku bekerja sama membangun perusahaan di bidang arsitektur dengan modal terbesar dari keluarga Tari. Sedangkan Tari bekerja sebagai pramugari, kami sudah berteman sejak kuliah, hingga akhirnya mereka menjalin hubungan."
Rina mengangguk-anggukkan kepalanya, setidaknya Rina sudah tahu kalau Tari dan Anjas memang sudah berhubungan sejak mereka kuliah, sejak awal.
"Jadi benar, aku memang pihak ketiga di dalam hubungan mereka?" Rina berucap santai, walau dia harus berusaha keras untuk menutupi luka hatinya saat mengucapkan kalimat itu.
Hilman mengangguk ragu, dia mengakui itu. Walau Rina menikah lebih dulu dengan Anjas. Akan tetapi, hubungan Anjas dan Tari sudah ada jauh sebelum Rina hadir di dalam hidup Anjas.
Rina menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan dengan senyum yang sangat terlihat dipaksakan.
"Baiklah, berarti aku memang harus sadar diri sekarang, Iya kan?" tanyanya pada Hilman, yang tampak memilih diam.
"Setidaknya aku harus tetap berada di belakang dan jangan meminta lebih, pasrah dengan status istri rahasia, dan tidak mengganggu rumahtangga mereka."
Hilman masih tetap diam, dia seperti sedang memperhatikan setiap ekspresi yang dibuat oleh Rina.
Ada rasa iba di dalam hatinya, melihat Rina yang tampak tegar walau terlihat luka yang menganga di dalam sorot matanya.
Masalah ini begitu rumit, hingga Hilman bahkan bingung untuk hanya sekedar menimpali perkataan Rina yang seperti sedang curhat padanya.
"Baiklah, diamnya Bang Hilman aku anggap sebagai pembenaran atas segala ucapanku. Tapi, aku masih istrinya kan, Bang? Aku berhak medapatkan hak yang sama darinya? Aku juga pantas bahagia kan, Bang?"
Hilman masih diam, sungguh kini dirinya dilanda bimbang dan juga takut untuk membuka suara.
Rina kembali menghirup napas kemudian menghembuskannya, rasanya begitu sesak di dalam dada.
"Ternyata berpura-pura tegar itu susah ya, hehe?" Rina tertawa garing, dia seolah sedang menghibur dirinya sendiri.
"Kamu pantas bahagia, Rin. Cukup abaikan apa yang terjadi di belakang, dan tetaplah menatap lurus ke depan, jadikan tujuanmu sebagai semangat dalam menjalani hari."
Rina tersenyum, dia menatap Hilman kemudian kembali meminum jus miliknya. Pembicaraan berlanjut cukup lama.
"Terima kasih, Bang. Aku benar-benar bingung harus bicara pada siapa di sini. Sekarang aku merasa lebih lega. Maaf, karena aku mengganggu waktu, Abang." Rina tersenyum kemudian bersiap untuk beranjak.
"Loh, kamu mau ke mana? Kamu bahkan belum makan," tanya Hilman.
"Aku sudah selsai, dan sepertinya aku harus segera pulang. Terima kasih sekali lagi." Rina tersenyum, kemudian beranjak dan pergi begitu saja dengan satu tetes air mata yang berhasil lolos, tepat ketika dia berbalik memunggungi Hilman.
Jika aku harus berkorban demi kebahagiaan mereka, maka aku juga akan mencari bahagiaku sendiri, meski itu tanpa kamu di sisiku, Mas.
Rina menggenggam kartu yang Anjas berikan padanya, bila dia tidak bisa muncul bersama Anjas di depan, maka Rina akan berusaha mendapatkan Anjas lewat jalur belakang.
.
Hari terus berganti, kini Rina tidak lagi berhati-hati dalam berbelanja menggunakan kartu yang diberikan oleh Anjas, dia ingin memanjakan dirinya sendiri sekaligus menarik perhatian dari laki-laki itu.
Bukankah Anjas adalah seorang pemilik perusahaan dan juga anak satu-satunya dari salah satu anggota DPRD yang pastinya tidak akan kekurangan uang.
Berbelanja baju, merawat diri di sela menjadi istri rahasia dan demi menghibur dirinya sendiri, menjadi kesehariannya.
Hingga suara ketukkan pintu di tengah malam tiba-tiba terdengar. Rina mengerjapkan matanya, dia melihat jam dinding yang menujukkan pukul satu malam.
"Siapa yang bertamu tengah malam begini?" gumam Rina, sambil mulai beranjak dari tempat tidur.
Tanpa menghidupkan lampu Rina melangkah waspada ke pintu utama, dia lebih dulu melihat dari jendela memastikan siapa yang datang, hingga kemudin matanya melebar saat mendapati Anjas berdiri di depan rumahnya.
Cepat Rina membuka pintu dengan senyum sumringahnya, setelah hampir satu bulan ini Anjas tidak pernah datang ke rumahnya.
Ah, jangankan datang, bahkan menghubungi dirinya pun tidak pernah. Rina pernah mendatangi kantor Anjas. Akan tetapi, dirinya bahkan tidak diizinkan masuk hingga akhirnya dirinya menyerah.
"Mas, kamu datang?" Rina berucap riang sambil hendak mengambil tangan Anjas.
Namun, Anjas tidak menghiraukannya, dia malah langsung masuk ke rumah, dan berjalan mendahului Rina.
Rina mengacuhkan sikap dingin Anjas, dia mengunci kembali pintu kemudian mengekor di belakang, hingga Anjas akhirnya duduk di ruang tengah.
"Duduk!" ujarnya sambil melihat kursi di sebelahnya. Nada suaranya begitu dalam, seolah sedang memendam emosi.
Rina mengernyitkan keningnya, walaupun penerangan di sana hanya mengandalkan lampu hias, dirinya bisa merasakan tatapan tajam Anjas padanya.
Ada apa ini? batin Rina.
Rina kemudian duduk di samping Anjas dengan perasaan yang aneh dan hati bertanya-tanya.
"Apa saja yang selama ini kamu lakukan, hah? Untuk apa semua uang yang kamu gunakan?" tanya Anjas dengan nada suara lebih tinggi.
"Untuk berbelanja, dan menikmati hidup," jawab Rina santai, dia menaikkan sebelah ujung bibirnya tipis.
Ternyata semua ini urusan uang? batin Rina merasakan perih di dalam hatinya.
"Heh! Jadi ini alasan kamu ingin tetap menjadi istriku? Demi uang?" tanya Anjas dengan dengan suara meremehkan.
Rina langsung mengalihkan pandangannya pada Anjas, keningnya berkerut dalam, tidak terima dengan tuduhan suaminya.
"Apa maksud kamu, Mas?"
Tiba-tiba dadanya terasa sesak, kebahagiaan atas kedatangan Anjas kini seolah kembali sirna oleh kata-kata tidak berdasar dari suaminya itu.
"Halah, gak usah mengelak lagi. Sekarang kamu butuh uang berapa dariku, agar kamu mau meninggalkan aku?" Anjas tersenyum miring, melihat Rina dengan tatapan jijik.
"Apa aku salah menggunakan uang suamiku sendiri? Apa aku salah mencari kebahagiaan, karena nyatanya suamiku lebih memilih bahagia dengan wanita lain? Aku juga manusia, Mas! Aku masih punya perasaan ... aku butuh pelampiasan atas semua luka yang kamu goreskan pada hatiku setiap harinya!"
Rina ikut meninggikan suaranya, emosinya naik, dia sangat tidak bisa menerima jika sampai suaminya sendiri yang telah menghinanya.
"Apa kamu mau aku terus meratap dan membayangkan kamu bermesraan dengan Tari, sedangkan untuk membalas chat dariku saja kamu tidak pernah?! Aku sedang hamil, Mas! Anakku butuh bahagia, dan itu hanya bisa dirasakan saat aku sebagai ibunya juga bahagia!"
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
tapi d kasih kartu ATM..
giliran d pake kamu malah marah Jas Jus
2023-01-01
1
amalia gati subagio
dijadikan jalang selingkuhan & gak dihargai pun, harus hidup toh? utk ttp hidup & mendapatkan perhatian sang tuang hrs memyskan selesa tuan, meski standarnya jauh dilangit? Salut utk para perempuan yg tetap berjuang meski udah direndahkan dilecehkan, gak dianggap. Hidup adalah anugrah, jln hidup pilihan sendiri, so what nex....
2022-12-16
2
Hanipah Fitri
bagus Rina .. harus tegas dgn Anjas yg berat sebelah
2022-12-14
2