Rina berdiri di depan gedung tempat pesta pernikahan Anjas digelar, dengan pakaian yang sudah berubah, dia juga sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin, agar tidak memperlakukan dirinya sendiri. Tatapannya mengedar melihat hilir mudik orang yang datang dan pergi silih berganti. Foto pra nikah yang terpanjang di pintu masuk sudah membuatnya yakin kalau itu adalah pernikahan dari suaminya sendiri.
"Jadi ini alasan kamu tidak mau membawaku bertemu dengan keluarga kamu dan meresmikan pernikahan kita, Mas?" gumam Rina dengan senyum getir menghias wajahnya.
Kembali dia melihat undangan yang berada di tangannya, kemudian mulai melangkah masuk ke dalam, dia bahkan lebih dulu mengisi daftar tamu, walau hatinya begitu sakit saat menggoreskan ujung pena di atas kertas.
Menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan, Rina sedikit mendongakkan kepalanya menahan air yang sudah hampir ke luar tidak tertahan dari pelupuk matanya.
Masuk lebih dalam, Rina mengedarkan pandangannya, melihat betapa mewahnya pernikahan itu. Dekorasi bunga asli yang bahkan dia tidak pernah lihat sebelumnya, dengan berbagai lampu gantung mewah bertema warna biru dan putih.
Sesuatu yang bahkan dia tidak bisa impikan, kini semakin terasa jauh. Untuknya, jangankan mengadakan pesta seperti ini, mengajak untuk meresmikan pernikahan di KUA saja selalu ditolak oleh Anjas.
Tidak ada satu pun orang yang dirinya kenal, walau hampir seluruh ruangan gedung itu penuh sesak oleh orang yang menghadiri acara pernikahan itu.
Pandangan Rina kembali bergulir, hingga matanya terhenti di sesuatu yang menarik perhatiannya, seseorang yang membawanya menyusup pada pernikahan ini.
Dari sana dia bisa melihat jelas dua orang raja dan ratu hari ini yang sedang tersenyum senang di atas pelaminan. Kembali Rina menarik napas dalam, mencoba mencari celah di dalam dada yang terasa semakin sesak.
Rina perlahan kembali berjalan kemudian berhenti, dia berdiri di depan pelaminan, tepat di belakang jajaran staf fotografer, yang sedang mengabadikan moment bahagia sumainya sendiri bersama dengan wanita lain.
Hingga tidak sengaja dari atas pelaminan Anjas melihat Rina, dia melebarkan matanya dengan jantung yang berdebar kencang. Untuk beberapa saat pandangan keduanya bertaut dalam, dengan rasa yang begitu pedih di dalam hati Rina.
Rina? Kenapa dia bisa sampai ke sini? batin Anjas dengan tatapan waspada, takut Rina mengacaukan acara pernikahannya.
"Ada apa, sayang?" tanya Tari – wanita yang kini tengah berdiri di sampingnya.
"Hah?" Anjas tersentak oleh pertanyaan Tari, dia kemudian menoleh pada wanita itu, melepas tautan mata dengan Rina.
"E–enggak, cuman kayak liat temen lama saja," jawab Anjas berdalih pada istri barunya itu.
"Ooh ...." Tari hanya bersikap acuh dan kembali mengikuti arahan fotografer untuk bergaya di depan kamera.
"Sayang, aku mau ke toilet dulu ya," ujar Anjas tiba-tiba, saat ujung matanya masih melihat Rina berdiri di sana.
Tari hanya mengangguk, sebagai jawaban karena beberapa orang temannya naik ke pelaminan.
Anjas berlalu ke belakang pelaminan untuk mencari sahabatnya yang ikut membantu acara pernikahannya.
Rina yang melihat Anjas pergi pun kini beranjak, dia mencari keberadaan Anjas yang menghilang dari pelaminan. Rina tidak ada niat untuk mengacaukan pernikahan suaminya itu, dia hanya ingin bertemu dengan Anjas dan meminta penjelasan tentang semua ini.
Namun, suasana acara yang sedang padat oleh tamu, menyulitkan Rina untuk berjalan dan menyusul Anjas.
"Ke mana dia?" gumam Rina sambil mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Anjas.
"Rina, ya?" Seorang laki-laki tampak menepuk pundaknya.
Rina mengalihkan pandangannya, pada sosok laki-laki yang kini berdiri tepat di sampingnya.
"Iya. Kamu siapa ya?" tanya Rina sambil menggeser posisinya hingga tepat berada di hadapan laki-laki itu. Keningnya tampak berkerut cukup dalam, sambil memperhatikan penampilan laki-laki yang baru dilihatnya itu.
"Kenalkan, aku Hilman, sahabatnya Anjas. Dia menyuruhku untuk membawa kamu ke hotel, katanya dia akan menemui kamu kalau acara sudah selesai," jelas laki-laki yang mengaku sebagai sahabat Anjas itu.
"Untuk apa aku harus mengikuti kamu? Kita bahkan tidak saling mengenal," tanya Rina menolak ajakan Hilman secara tidak langsung.
Hilman tampak tersenyum. "Makanya kita kenalan dulu," ujar Hilman, sambil melirik tangannya yang belum disambut oleh Rina.
Rina tampak ragu, walau akhirnya dia memutuskan untuk menjabat tangan Hilman, tanpa menyebutkan namanya.
Hilman mengangkat sebelah alisnya, menunggu Rina menyebutkan namanya.
"Bukannya kamu sudah tau namaku?" jawab Rina acuh, sambil mengalihkan pandangannya.
Rasanya tidak sanggup untuk banyak berbasa-basi pada orang asing, hatinya terasa sangat sesak dan itu semua menyulitkannya hanya untuk mengeluarkan suara.
Hilman terkekeh mendapati pertanyaan Rina, dia merasa lucu dengan reaksi wanita itu.
"Ayo, lebih baik kamu ikut aku, kamu pasti lelah kan?" ujar Hilman yang langsung menggandeng tangan Rina.
Namun Rina menolaknya, dia tampak melihat ke arah pelaminan, pandangannya sempat bertaut kembali dengan mata Anjas, hingga Rina bisa melihat kalau Anjas mengangguk samar, seolah meyakinkan dirinya untuk ikut bersama dengan Hilman.
Rina pun akhirnya mengikuti langkah Hilman tanpa perlawanan, hingga akhirnya keduanya berdiri di samping mobil milik Hilman.
"Tunggu, aku mau ambil tas miliku dulu," ujar Rina hendak kembai turun dari mobil.
"Biar aku saja yang mengambilnya, kamu duduk dulu saja di dalam," Hilman menahan Rina, kemduian membuka pintu mobil untuk Rina.
Rina tampak menatap Hilman beberapa saat, seolah sedang meyakinkan diri, kemudian mengangguk dan masuk ke mobil.
Hilman menutup pintu mobil, kemudian berjalan menuju pos jaga untuk mengambil tas yang dititipkan Rina di sana.
Begitu pintu mobil tertutup air mata yang sejak tadi berusa Rina tahan akhirnya ke luar juga, Rina menutup matanya meredam tangis yang sudah terlajur pecah, setelah dia tidak bisa lagi menahan sesak di dalam dada.
Ternyata bagus juga Hilman meninggalkannya sendiri, setidaknya untuk sesaat dia bisa menangis, agar bisa meredam rasa sesak yang sejak tadi dia pendam.
"Terima kasih, Pak," ujar Hilman begitu menerima tas ransel milik Rina, dia kembali ke mobil yang masih terparkir.
Namun, saat dia hendak masuk, dia melihat Rina sedang menangis tersedu di dalamnya. Hilman pun mengurungkan niatnya untuk masuk, dia berbalik kemudian menunggu dengan posisi membelakangi pintu kemudi.
"Sebenarnya siapa perempuan ini? Kenapa Anjas terlihat sangat berhati-hati menghadapinya? Kenapa juga wanita itu harus menangis di mobilku seperti ini?" gumam Hilman yang masih belum mengerti apa yang terjadi antara Rina dan Anjas.
Cukup lama Hilman menunggu hingga dia melihat kalau Rina sudah lebih tenang. Hilman kemudian masuk, dia bisa melihat kalau Rina sedang berusaha meredam tangisnya, hingga yang terdengar hanya isakan lirih.
"Maaf," ujar Rina begitu sudut matanya melihat Hilman masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. Dia kemudian menaruh tisu bekas mengelap air matanya di dalam tas.
"Gak apa-apa, santai saja," jawab Hilman sambil menutup pintu kemudian memasangkan sabuk pengaman.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Hilman lagi.
Rina mengangguk sebagai jawaban, sambil berusaha memasangkan sabuk pengaman untuknya. Akan tetapi, entah kenapa kegiatan kecil itu terasa sangat sulit untuk dilakukan olehnya.
Hilman yang melihat itu semua, akhirnya membantu Rina untuk memasangkan sabuk pengaman. Tanpa sengaja tangan Hilman berada di atas tangan Rina, hingga untuk beberapa saat keduanya tampak teridam.
Namun, Rina yang sadar terlebih dahulu cepat melepaskan tangannya dari sabuk pengaman.
"Maaf," ujar Hilman, sambil kembali menegakkan tubuhnya dengan gerakan canggung.
Rina tidak menjawab, dia hanya mengalihkan pandangannya ke samping, hingga akhirnya dia kembai melihat pesta pernikahan Anjas.
"Kita berangkat sekarang," ujar Hilman yang lansung mengemudikan mobil miliknya ke luar dari area parkir.
Melihat tatapan sendu dan tangis menyakitkan Rina, Hilman bisa menebak kalau Rina pasti wanita yang menyukai Anjas. karena itu dia segera menjalankan mobilnya saat melihat Rina sudah mulai melihat acara pernikahan Anjas lagi.
Enggak mungkin kan kalau perempuan ini adalah pacar Anjas, selama ini bukannya Anjas sangat mencintai Tari? batin Hilman mencuri pandang pada Rina.
Rina menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan pandangan jauh menatap ke luar jendela mobil. Suara ponsel di dalam tas selempang yang dia pakai pun mengalihkan perhatian Rina.
Rina melihat nama yang tertera di layar ponselnya, ternyata itu adalah nomor sang Ibu. Rina menghembuskan napas kasar tanpa berniat menerima panggilan itu.
"Kok gak diangkat?" tanya Hilman, menoleh sekilas pada Rina.
Rina tidak menjawab, dia hanya menatap layar ponselnya yang sudah mati, walau tidak lama kemudian kembali berdering, dan itu terus berlanjut hingga beberapa saat.
"Jawab saja, mungkin itu penting," ujar Hilman lagi, merasa aneh dengan sikap Rina.
Rina kembali menghembuskan napas kasar kemudian menggeleng kepala samar.
"Untuk saat ini aku gak akan sanggup berpura-pura baik-baik saja pada mereka, jadi lebih baik aku tidak menjawabnya," jawab Rina lirih.
Hilman hanya bisa menghembuskan napas pelan, dia merasa serba salah saat ini. Hilman kasihan pada Rina yang tampak sangat terpukul dengan pernikahan Anjas. Akan tetapi dia juga bingung bagaimana cara menghibur perempuan di sampingnya, karena dia sendiri tidak tahu ada masalah apa antara Anjas dan Rina.
Ingin bertanya, akan tetapi, Hilman juga merasa tidak pantas jika dia menanyakannya pada Rina. Sungguh situasi yang sangat memusingkan.
Kamu bahkan lebih memilih membiarkan aku bersama orang asing ini, tanpa mau menemui aku, Mas?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
@𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆 𝓐ⷨ𝖒ⷷ𝖊ᷞ𝖑𝖑♛⃝꙰ ❤
pasti nyesek tuh Rina
Anjas tunggu aja ya karma masih ada
2023-01-12
1
Ganuwa Gunawan
cuma satu kata .."sakit"
awas kau Anjas...tak santet kmu dr sini
2023-01-01
1
Hanipah Fitri
nyimak
2022-12-14
1