"Istri, Bapak, mengalami dehidrasi dan stres berat. Seharusnya, Bapak, sebagai suami lebih memperhatikan kesehatan istri, Bapak, di kehamilan muda seperti ini. Karena di saat seperti ini, seorang istri sangat membutuhkan perhatian dari orang-orang terdekatnya, terutama suami!" Dokter itu menjelaskan sekaligus memberi arahan untuk Hilman yang hanya bisa menatap bingung bercampur terkejut mendengar semua penjelasan dokter itu.
"Di saat kehamilan muda seperti ini, istri cenderung mudah stres, karena perubahan hormon yang dialaminya," sambung dokter itu lagi.
"Tunggu sebentar, Dok," ujar Hilman mengangkat salah satu tangannya, menghentikan penjelasan dari dokter di depannya.
"Dokter, bilang dia hamil?" tanya Hilman menatap bingung dokter di depannya.
"Jadi, Bapak, tidak tahu kalau istri Bapak sedang hamil?" tanya Dokter itu dengan wajah yang ikut terkejut.
"Saya bukan suaminya, Dok," ujar Hilman menatap kesal dokter di depannya.
Enak saja dia bilang aku suaminya, ngalamain malam pertama juga belum, masa udah bisa ngehamilin orang, gerutu Hilman di dalam hati.
"Bukannya, Bapak, wali pasien ini?" tanya Dokter malah ikut bingung.
"Saya? Saya kakaknya, Dok," jawab Hilman menjawab asal.
"Oh, kakaknya. Kalau gitu tolong beritahu adik ipar, Bapak, apa yang tadi saya sudah jelaskan," ujar Dokter itu.
"Baik, Dok. Terima kasih," ujar Hilman walau di dalam hatinya masih saja merasa kesal.
"Sudah dipanggil, Bapak. Sekarang malah dikira suaminya. Heuh, kayaknya ini memang hari sialku!" gerutu Hilman sambil duduk di samping brankar Rina.
Malam itu Hilman benar-benar menunggu Rina di rumah sakit, dia bahkan tertidur dengan posisi menelungkupkan kepalanya di sisi brankar.
Rina yang terbangun di pagi hari, meneteskan air matanya, saat melihat ada seorang laki-laki di sampingnya. Akan tetapi itu bukanlah sang suami, melainkan laki-laki yang bahkan tidak dia kenali sama sekali.
Rina tampak bangkit, dia melihat selang infus terpasang di punggung tangan sebelah kirinya.
"Kamu sudah bangun?" tanya Hilman sambil menegakkan tubuhnya, dia terbangun karena merasakan gerakan Rina.
"Iya. Terima kasih sudah membawa aku ke sini," ujar Rina sambil berangsur ke sisi brankar dan menurunkan kedua kakinya.
"Mau ke mana?" Bukannya menjawab ucapan terima kasih Rina, Hilaman malah bertanya lagi.
Rina tampak menghembuskan napasnya kasar, sebelum menjawab pertanyaan Hilman.
"Aku mau ke toilet."
"Biar aku antar." Hilman segera berdiri sambil mengambil kantung cairan infus milik Rina.
"Aku bisa sendiri," tolak Rina sambil hendak mengambil kantung cairan infus dari tangan Hilman.
"Tidak bisa, aku antar saja." Hilman langsung menjauhkan kantung cairan infus di tangannya.
Rina terlihat menghembuskan napas sebelum akhirnya memilih untuk mengikuti kemauan Hilman, dia pun berjalan menuju toilet.
Tubuhnya terasa lemas hingga malas rasanya untuk sekedar berdebat dengan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Hilman ikut masuk ke toilet dan menggantungkan cairan infus di gantungan yang ada di sana.
"Aku tunggu di luar," ujar Hilman sebelum menutup pintu.
Rina hanya mengangguk sebagai jawaban, senyum dan keceriaan yang dulu selalu menguasai wajahnya kini sudah redup dan menghilang, setelah rasa sakit yang ditorehkan oleh Anjas.
Setelah cairan infus habis, Rina sudah diperbolehkan pulang. Hilman kembali menyetir mobil untuk mengantar Rina kembali ke hotel.
"Rin?" panggil Hilman di tengah keheningan yang terjadi di dalam mobilnya.
Rina yang tengah termenung sambil melihat jalanan dari jendela mobil pun menolehkan kepalanya, menatap wajah Hilman.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Hilman dengan nada suara ragu.
"Iya," angguk Rina.
"Aku tau dari dokter kalau kamu sedang hamil? Tapi, aku lihat di kartu identitasmu kalau kamu masih–" Hilman tidak mampu melanjutkan perkataannya.
"Kamu pasti nyangka aku adalah perempuan murahan yang mengejar laki-laki di hari pernihakannya, ya?" tanya Rina sambil tersenyum getir.
"Bu–bukan begitu, Rin–" ujar Hilman cepat, takut Rina akan salah paham dengan pertanyaannya.
"Aku adalah istri Anjas, kami menikah sirih enam bulan lalu," jawab Rina cepat, bahkan sampai memotong perkataan Hilman.
Tanpa sadar Hilman langsung mengerem laju mobilnya, hingga membuat Rina hampir terbentur. Mendengar pengakuan Rina yang sangat mengejutkan, membuat Hilman tiba-tiba tidak bisa berpikir.
"Apa?! I–itu gak mungkin, Anjas itu sangat mencintai Tari, mereka sudah pacaran sejak kuliah!" bantah Hilman membela sahabatnya.
Rina hanya tersenyum getir sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Wajar kalau kamu gak percaya, kita kan baru bertemu. Aku juga gak meminta kamu untuk percaya sama aku," jawab Rina yang membuat Hilman menatapnya dengan sorot mata kalut.
Keduanya kembali terdiam, sampai akhirnya Hilman menghentikan mobilnya di lobi hotel.
"Terima kasih untuk semuanya, maaf aku sudah merepotkanmu. Sekarang aku bisa mengurus hidupku sendiri. Tolong bilang pada Mas Anjas, kalau aku bukan barang yang bisa dia titipkan pada orang lain begitu saja," ujar Rina sebelum ke luar dari mobil, kemudian berjalan masuk kembali ke dalam hotel.
Hilman menatap kepergian Rina dengan sorot mata tidak terbaca, dia baru meninggalkan lobi setelah dirinya tidak bisa melihat Rina lagi.
"Dasar Anjas brengsek!" Hilman memukul setir mobilnya merasa kesal dan marah pada sahabatnya.
Sikap Rina yang tampak sudah berubah tegar dan tidak mencari dukungan untuk menerima pengakuan dari Anjas, malah membuatnya mempercayai perkataan wanita yang baru kemarin dia temui.
Sedangkan Rina tampak duduk terdiam di sisi ranjang, dia menghirup napas dalam kemudian mengeluarkannya kasar, semua itu dia lakukan berulang demi sedikit menghilangkan sesak di dalam dada yang masih saja terasa.
"Sekarang aku harus bagaimana?" gumamnya merasa bingung sendiri.
Uang yang dia bawa hanya sedikit, itu pasti tidak cukup untuk membayar hotel tempatnya menginap. Rani ingin pulang ke kampung dan hidup bahagia lagi bersama kedua ornag tuanya.
Namun, dia juga tidak mungkin datang dan mengatakan kondisinya saat ini yang sedang dibuang oleh suaminya sendiri.
Lama terdiam Rina kembali mengambil ponselnya, dia mencoba menghubungi Anjas lagi.
.
.
Sementara itu di rumah yang cukup mewah terlihat Anjas dan Tari–wanita yang baru dinikahi Anjas, sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua ornag tua Anjas.
"Jadi kalian berdua mau bulan madu ke mana?" tanya Papah Anjas.
Anjas dan Tari tampak saling memandang kemudian terkekeh bersama.
"Kami berencana untuk pergi bulan madu ke pulau Bali dan Lombok, Pah," jawab Anjas.
Pasangan baru itu terus saja menempel, bahkan tangan Anjas tidak pernah lepas dari pinggang Tari.
"Wah, bagus tuh. Di sana pemandangannya indah dan sangat cocok untuk bulan madu. Kami setuju. Iya kan, Pah?" ujar wanita paruh baya yang tidak lain adalah Ibu dari Anjas.
Suara getar ponsel Anjas mengalihkan perhatian keluarga yang sedang berbahagia itu.
"Kok gak diangkat, Mas?" tanya Tari pada Anjas.
"Gak penting," jawab Anjas sambil kembali mengantongi ponsel miliknya.
Tidak lama setelah getar ponsel itu berhenti kini giliran suara pesan masuk yang terdengar. Anjas kembali melihatnya.
Reno: [Mas, aku mau bertemu]
Reno: [Mas, tolong jawab pesan aku]
Reno: [Setidaknya beri aku kejelasan dulu, Mas. Atau aku akan nekat datang ke rumah keluarga kamu]
Anjas berdecak pelan melihat pesan masuk dari kontak yang dia namai sebagai Reno.
Sebenarnya itu adalah nomor Rani yang sengaja dia samarkan menjadi Reno, agar tidak ada yang curiga dengan hubungan keduanya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Uthie
begitulah kalau nikah dengan laki yg gak jelas asal usulnya... bisa jadi laki tsb udh punya istri atau akan menikah, kaya si Anjas itu 😌
2023-01-15
1
Ganuwa Gunawan
kurang asem..
orang mh klu ga suka nikah d grebeg..
cerai aja pas udah dapet seminggu
ini mh malah asik ke bab blasan..sampe hamil tuh s Rina
2023-01-01
0
Hanipah Fitri
salah nya di Anjas, kalau memang gak suka dgn Rani kenapa di gaulin selama 6 bulan dan tdk cerita kondisi nya
2022-12-14
2