Rina melihat ponsel yang kembali berdering, setelah beberapa waktu yang lalu sempat berhenti, dia menghembuskan napas lelah kemudian mengambil ponsel miliknya.
"Ibu dan Bapak, pasti gak akan berhenti sebelum aku jawab," gumamnya lirih.
Rina beranjak untuk mengambil minum yang sudah disediakan hotel kemudian meneguknya sebelum menjawab. Berdehem beberapa kali, untuk menormalkan suaranya yang pasti sudah habis karena lelah menangis.
"Halo, Assalamualaikum, Bu," sapa Rina dengan suara ceria walau terdengar sedikit parau.
"Rina, kamu sudah sampai kota? Sudah ketemu Anjas belum?" tanya Ibu dengan suara yang terdengar khawatir.
Rina mendongakkan kepalanya sambil mengerjapkan mata, menahan tangis yang ingin kembali pecah, seiring sesak yang teramat sangat di dalam dada.
Mendengar suara ibunya, ingin sekali Rina mengeluh dan mengadu tentang kejadian hari ini pada wanita yang telah melahirkannya itu. Akan tetapi, semua itu hanya bisa tertahan di tenggorokan.
"Sudah, Bu. Maaf, tadi teleponnya gak keangkat, karena aku ketiduran," jawab Rina dengan suara yang berusaha tetap normal walau masih saja terdengar parau.
"Oh, jadi kamu ketiduran, ya sudah gak apa-apa, Rin. Yang penting kami sampai di kota dengan selamat." Ibu terdengar lebih tenang dari sebelumnya.
"Mana Anjas, Rin? Bapak mau ngomong sama dia, mau ngucapin selamat karena sebentar lagi dia akan segera jadi Ayah." Kini giliran suara Bapak terdengar, sepertinya sekarang kedua orang tua Rina sedang berada di tempat yang sama.
"Eumh, itu, Pak. Mas Anjas, sedang ke luar dulu ... nanti kalau sudah pulang aku suruh dia telepon Bapak, ya," jawab Rina memberi alasan.
"Oh ya sudah, gak apa-apa. Kamu sehat-sehat di sana ya, sekarang gak ada Ibu yang ngurusin kamu," ujar Bapak, dengan suara sedikit bergetar, sepertinya Bapak dan Ibu juga merasakan sulit untuk berpisah dari anak satu-satunya.
"Iya, Pak. Aku pasti jaga diri baik-baik," angguk Rina dengan air mata yang jatuh begitu saja. Tidak sanggup rasanya jika dirinya terus menahan.
"Pak, udah dulu ya, aku mau shalat isya dulu," sambung Rina memberi alasan.
Telepon pun terputus begitu saja, Rina langsung berlari menuju ke toilet saat tiba-tiba saja perutanya terasa bergejolak. Rina membuka toilet lalu berjongkok di depan toilet sambil berusaha mengeluarkan isi perutnya.
Walau sudah berusaha keras mengeluarkan isi perutanya sampai keringat bercucuran. Akan tetapi, tidak ada apa pun yang bisa dikeluarkan, hingga akhirnya dia terduduk lemas di atas toilet itu.
Rina baru ingat kalau sejak pagi dirinya belum memakan apa pun, semua rasa laparnya kini menguap begitu saja, berganti dengan rasa sakit mendalam hingga memenuhi jantung dan hatinya.
Dengan susah payah Rina kembali berjalan ke kamar, kemudian merebahkan kembali tubuhnya di atas ranjang, dia menangis sejadi-jadinya, hingga kepalanya terasa pening dan pandangan kabur.
Manusia memang tidak akan tau apa yang terjadi di waktu berikutnya, begitu juga dengan Rina. Hari yang dia kira akan penuh dengan kebahagiaan, kini ternyata berganti dengan rasa sakit dan penderitaan yang terasa begitu menyiksa.
Kedatangannya ke kota untuk memberikan berita bahagia pada suaminya, kini berakhir dengan kejutan yang begitu menyakitkan untuknya.
Rina menutup matanya hingga akhirnya memilih kembali tidur, untuk meredam rasa sakit di kepalanya dan menghilangkan bayangan menyakitkan pernikahan suaminya dengan wanita lain tadi siang.
Suara ketukkan di pintu membangunkan Rina dari tidurnya, kepalanya masih terasa pening hingga membuat dia sulit untuk membuka mata. Kini bahkan ada sedikit nyeri di bagian bawah perutnya yang membuatnya semakin merasa sulit untuk bangun.
Ketukkan yang terus berulang memaksanya untuk segera bangun.
"Sebentar!" ujar Rina dengan suara yang lebih lantang.
"Sayang, maafin Mama, kamu pasti ikut sakit ya, karena Mama," lirih Rina mengusap perut bagian bawahnya perlahan.
"Ssshh," desis Rina merasakan sakit di perut dan kepalanya begitu dia berdiri dari ranjang, Walau begitu dia memaksakan diri untuk beranjak kemudian berjalan dan membuka pintu.
"Iya," jawab Rina dengan suara parau yang dipaksakan. Dia kemudian membuka pintu hotel itu.
Rina melebarkan matanya berusaha memperjelas pandangannya yang terasa kabur, seorang laki-laki terlihat berdiri di depan pintu dengan sebuah kantong plastik di tangannya.
"Maaf mengganggu, ini aku bawakan makanan untuk kamu," ujar Hilman sambil menyodorkan plastik ke depan Rina.
Rina menatap plastik di tangan Hilman, tubuhnya terasa goyah dengan pandangan yang semakin kabur, hingga dirinya merasa kesulitan untuk meraih kantong plastik itu.
Hilman yang melihat wajah pucat Rina, berubah menatap wanita itu dengan tatapan khawatir.
"Rin, kamu gak apa kan?" tanya Hilman, sambil memegang kedua pundak Rina.
Rina hanya bisa mendengar pertanyaan Hilman samar, sebelum akhirnya kegelapan merenggut semua kesadarannya.
"Astagfirllah, Rina!" Hilman yang melihat tubuh Rina hampir terjatuh, refleks langsung melepaskan plastik di tangannya dan menangkap tubuh ringkih Rina.
"Rin, bangun, Rin!" Hilman berjongkok di depan kamar hotel Rina sambil berusaha menyadarkannya.
"Tolong!" teriaknya saat Rina tidak juga membuka mata.
Seorang petugas hotel yang kebetulan sedang berjalan di sekitar sana pun langsung menghampiri Hilman.
"Tolong bawakan tas miliknya, aku akan membawanya ke rumah sakit!" ujar cepat Hilman sambil beranjak berdiri dengan Rina di dalam gendongannya.
"Baik, Pak," angguk petugas hotel itu, kemudian masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas tangan milik Rina, kemudian mengejar langkah lebar Hilman.
Hilman merebahkan tubuh Rina di kursi belakang, kemudian menyambar tas tangan Rina sambil memutar menuju kursi kemudi.
Beberapa saat kemudian Hilman sudah memarkirkan mobilnya di lobi salah satu rumah sakit terdekat, dia kemudian berlari menuju ke dalam untuk meminta segera dibawakan brankar.
Hilman kemudian berbalik dan berlari kembali ke mobilnya untuk mengeluarkan Rina dari sana, lalu memindahkannya ke atas brankar rumah sakit.
"Pasien akan kami tangani. Anda harus mengurus administrasinya dulu," ujar perawat yang menghalanginya untuk masuk ke dalam ruang instalasi gawat darurat.
"Baik, Sus. Tolong selamatkan dia," ujar Hilman dengan raut wajah yang khawatir.
Hilman pun mengambil tas tangan milik Rina dan mencari kartu identitasnya untuk mengurus administrasi, selama menunggu Hilman juga mencoba menghubungi Anjas. Akan tetapi, sahabatnya itu tidak menjawab teleponnya sama sekali.
"Sialan! Aku di sini sibuk ngurusin ceweknya, sedangkan dia lagi enak-enakan malam pertama sama istrinya!" gerutu Hilman.
Hilman bahkan harus mengeluarkan uang untuk jaminan perawatan Rina.
"Sudah?!" tanya hilman pada petugas rumah sakit, dia kemudian kembali ke kursi tunggu di depan instalasi gawat darurat.
Awalnya dia hanya berniat untuk mengantarkan makan malam, karena merasa kasihan pada Rina yang terlihat sangat menyedihkan. Akan tetapi, kini dia malah terjebak di rumah sakit, menunggu perempuan yang baru dia temui sore tadi.
Semua ini gara-gara Anjas! Kenapa aku mempunyai sahabat tidak tau diri seperti dia?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
Hilman bae bener dah aaah..
2023-01-01
1
Hanipah Fitri
kasihan Hilman kena apesnya
2022-12-14
2
Hany
pergi saja jangan hiraukan Anjas lagi Rina,toh kalian masih belum resmi terdaftar di KUA,jadi tinggalkan saja dia toh kamu tidak harus rumit mengurus surat cerai dari anjas
2022-12-06
2