Hilman mengantarkan Rina ke hotel yang diperintahkan oleh Anjas sampai di depan pintu masuk kamar. Keduanya tampak berdiri sejajar setelah Hilman menyerahkan kunci pintu kamar pada Rina.
"Kamu sudah makan?" tanya Himan, melihat wajah Rina yang tampak menyedihkan, sepertinya Hilman bisa menebak kalau Rina pasti belum makan sejak siang.
Namun, sepertinya Rina tidak mendengar apa pun yang diucapkan orang lain, dia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Terima kasih." Rina masuk begitu saja ke dalam kamar, tanpa mau menjawab pertanyaan laki-laki yang baru dia kenal beberapa saat yang lalu.
"I–iya," jawab Hilman, tampak ragu.
Hilman menggaruk belakang kepalanya bingung melihat sikap Rina yang terlihat dingin. Dia kemudian berbalik ragu saat pintu kamar hotel sudah ditutup rapat.
Rina merebahkan tubuhnya yang sudah terasa sangat lemah di atas tempat tidur, tangisnya kembali pecah saat mengingat nasib yang sedang menimpanya saat ini.
Entah mengapa nasibnya pada sebuah rumah tangga begitu miris, setelah berusaha menjalani dan menerima pernikahan paksa dengan Anjas, kini setelah dirinya sudah mencintai Anjas sepenuhnya kenyataan pahit kembali datang menyapa.
Rina ingin menyalahkan dia ingin berteriak memaki. Akan tetapi, dia sendiri bingung harus menyalahkan siapa. Apakah harus menyalahkan Anjas yang menikah lagi? Atau menyalahkan takdir yang seolah sedang tidak memihak pada kebahagiaannya?
Ingatannya kembali pada saat dirinya pertama kali bertemu dengan Anjas. Saat itu Rina sedang meneduh di sebuah gubuk, karena hujan deras yang tiba-tiba turun saat dirinya sedang dalam perjalanan pulang dari kebun.
Tiba-tiba saja seorang lelaki tidak dikenal ikut menuduh bersamanya, dengan mendorong motor.
"Aku ikut meneduh, boleh?" tanya laki-laki itu yang tidak lain adalah Anjas.
"Silahkan," jawab Rina sambil menggeser tempat duduknya menjauh dari Anjas.
Suasana sore hari itu terasa sangat dingin, karena angin yang juga terasa cukup kencang, hingga membuat butir air itu terbang sampai pada tubuhnya.
Diam-diam Rina memperhatikan Anjas yang berpakaian jauh dari warga kampung yang lainnya. Dia sudah bisa menyimpulkan kalau Anjas bukanlah warga kampung di sana.
"Kenapa, kok motornya di dorong?" tanya Rina setelah sekian lama keduanya hanya terdiam.
"Ban motorku kempes, aku kira akan segera dapat tukang tambal atau bengkel, ternyata jangankan bengkel, rumah saja tidak ada," jawab Anjas sambil terkekeh ringan.
Rina ikut tersenyum. "Di sini memang jarang rumah. Kira-kira satu kilometer lagi baru kita akan memasuki pemukiman," jawab Rina, sambil melihat ke salah satu jalan.
"Oh, begitu ya?" Anjas tampak mengangguk-anggukkan kepalanya samar.
"Kamu baru ke daerah sini, ya? Kalau boleh tau mau ada perlu apa?" tanya Rina lagi.
"Iya, aku sedang liburan di sini, kebetulan aku menginap di hotel H. Tapi, sepertinya aku tersesat jadi sampai ke sini," jelas Anjas sambil menggosok tangannya yang terasa dingin. Sesekali dia meniup tangannya agar terasa lebih hangat.
Rina tampak menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Hujan tidak kunjung reda walaupun sudah satu jam berlalu, kini hari sudah mulai gelap. Karena kelelahan Rina dan Anjas sama-sama tertidur dengan posisi duduk di sisi gubuk yang berlawanan.
Hingga keduanya tidak sadar saat hujan sudah mulai reda. Mereka baru terbangun saat suara gaduh terdengar semakin dekat, ditambah dengan senter yang terlihat mengarah ke tempat mereka berdua berada.
"Sepertinya itu banyak orang?" tanya Anjas, sambil beranjak berdiri, diikuti oleh Rina.
"Iya, ada apa ya?" Rina bangun kemudian berdiri hendak bersiap untuk bertanya pada warga yang datang.
Namun, tenyata para warga datang untuk menggerebek Rina dan Anjas dengan tuduhan telah berbuat zina di gubuk itu.
"Tunggu-tunggu, ini apa maksudnya? Kami berdua hanya berteduh, karena tadi hujannya sangat deras," sanggah Anjas tidak terima akan difitnah seperti ini.
"Iya, Pak. Kami berdua hanya berteduh, karena hujannya terlalu deras." Rina ikut menimpali.
"Halah, gak usah banyak alasan. Kalau cuma berteduh, kenapa kalian masih ada di sini, padahal hujan sudah reda sejak tadi?! Lagi pula mana ada maling ngaku!" ujar laki-laki paruh baya mempropokasi para warga.
"Iya benar, lebih baik kita bawa saja mereka ke bale desa untuk mendapatkan sanksi atas perbuatannya!" Seorang laki-laki muda ikut menimpali.
"Ayo, ikut kita ke bale desa sekarang!" ujar laki-laki paruh baya yang lainnya sambil mengambil tangan Anjas dengan gerakan kasar.
"Kami tidak melakukan apa-apa, Pak. Kalian tidak berhak melakukan ini semua!" Anjas masih berusaha menolak.
"Kalau kamu memang tidak melakukannya harusnya kamu mau kita bawa ke bale desa!"
"Sudahlah kita hajar saja laki-laki brengsek itu di sini, bisa-bisanya di merusak gadis di kampung kita!"
Suara sumbang terus bersahutan, membuat emosi warga semakin memuncak dan situasi semakin memanas.
Satu pukulan awal pun sudah diterima oleh Anjas membuat pukulan yang lainnya pun bersiap untuk melukai laki-laki itu.
Rina yang memang warga kampung itu berdiri menghadang para warga yang akan memukul Anjas. Tubuhnya yang lumayan tinggi dan sedikit berisi berdiri dengan yakin dan pasti.
"Dia tidak bersalah, kami tidak melakukan apa-apa. Jadi untuk membuktikannya kami mau ke bale desa!" teriak Rina demi meredam kemarahan warga.
"Untuk apa? Kita kan gak berbuat apa-apa?" protes Anjas menatap Rina dengan kening bertaut dalam.
"Justru itu, kita tidak berbuat apa-apa makanya jangan takut untuk dibawa ke bale desa, dari pada nanti kamu babak belur dihajar sama mereka semua, bagaimana?" jelas Rina.
Beberapa saat kemudian Rina dan Anjas diadili di bale desa, mereka dihadapkan dengan tetua desa dan juga kedua orangtua Rina.
Saat itu Ibu terus menangis ketika melihat anak satu-satunya harus berakhir dengan seperti ini. Sedangkan Bapak menatap penuh amarah anak perempuan yang telah membuat malu keluarganya.
Rina dan Anjas duduk berdua dengan kepala menunduk, mereka seperti sedang menjadi sebuah tontonan gratis bagi seluruh warga kampung.
Bapak memaksa agar Anjas menikahi Rina begitu juga dengan para tetua, karena semua rumor itu akan mendorong nama baik kampung, jika sampai Anjas tidak bertanggung jawab.
Bila pun Anjas tetap tidak mau bertanggungjawab, maka peraturan kampung mengharuskan Rina diusir dan tidak boleh menginjakkan kakinya lagi ke dalam kampung itu.
Setelah diberi waktu satu malam untuk berfikir, akhirnya Anjas memutuskan untuk menikahi Rina dengan cara sirih. Rina yang tidak mempunyai hak untuk ikut berbicara hanya bisa menerima pernikahan dadakan itu.
Awalnya semuanya berjalan lancar, pernikahan sirih yang dilakukan Rina dan Anjas berjalan sebagaimana mestinya, bahkan Anjas memilih menetap di kampung selama satu bulan lamanya, demi mendekatkan diri pada Rina.
Namun, saat Rina bertanya tentang keluarga Anjas, Anjas selalu mengelak dan mengalihkan topik pembicaraan, hingga sesuatu yang sebenarnya penting di dalam sebuah hubungan pun terus terlewatkan.
Selama pernikahannya Anjas tidak pernah menceritakan tentang keluarganya pada Rina. Walau sedikit curiga, Rina dan keluarganya tetap saja berpikir positif pada Anjas. Mereka menerima Anjas dengan baik, dan sebagaimana semestinya.
Setiap bulan biasanya Anjas akan pulang dan menginap selama seminggu di rumah, sebelum akhirnya kembali bekerja ke kota. Hingga di usia pernikahan yang ke enam bulan, Rina positif hamil dan menyusul Anjas ke kota.
.....
Suara ketukkan pintu membangunkan Rina dari tidurnya, kepalanya terasa pening dan ada sedikit nyeri di bagian bawah perutnya.
"Ssshh," desis Rina merasa sulit untuk bangun. Walau begitu dia memaksakan diri untuk beranjak kemudian berjalan dan membuka pintu.
"Iya," jawab Rina dengan suara parau dan wajah yang pucat, pandangannya terasa semakin samar hingga akhirnya dia tumbang begitu saja.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ganuwa Gunawan
kasihan s Rina
kayak nya belom makan...
2023-01-01
1
Hanipah Fitri
nikah karna terpaksa
2022-12-14
1
Rice Btamban
tetap semangat
2022-12-11
2