MARRIED TO STRANGER
“Selamat datang di gubuk saya, Tuan Morgan! Mari silakan masuk!” sapa Joni Gunardi dengan senyum lebar, setelah menjabat tangan pria yang sebaya dengannya.
Binar bahagia memancar dari gurat wajahnya, ketika kedatangan tamu yang begitu ia agung-agungkan.
Pria paruh baya yang masih gagah dengan balutan jas rapi itu bergeming di ambang pintu. Hanya mengedarkan pandangan ke ruang tamu yang begitu sempit menurutnya.
“Saya tidak suka basa-basi! Saya ingin menagih janji kamu. Sudah tiga kali jatuh tempo dan tidak bisa ditolerir lagi!” sahut Morgan dengan dingin.
Joni menelan salivanya susah payah. Dadanya bertalu kuat melihat aura menekan dari pria di hadapannya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar demi mengurai kegugupan.
Joni sama sekali tidak menyangka, kegilaannya terhadap dunia perjudian, membuatnya harus terlilit hutang yang sangat besar. Bahkan jika menjual rumahnya pun, tidak akan bisa melunasi hutang-hutangnya.
Morgan, sang penguasa di tempat itu, memang selalu menawarkan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Jika tidak bisa membayarnya, harus ada jaminan yang menjanjikan.
“Ba ... baik, Tuan! Sebentar,” pamit Joni bergegas masuk ke rumah berteriak memanggil putrinya.
“Frisha! Frisha!” panggil Joni gugup.
“Iya, Yah?” sahut gadis cantik dengan rambut hitam yang bergelombang. Buru-buru gadis itu menghampiri sang ayah.
Tanpa bicara apa-apa, Joni menarik lengan kurus putrinya dan membawanya ke depan. Gadis itu mengernyit bingung, namun tetap menyeret kaki jenjangnya mengikuti langkah sang ayah.
“Tuan, ini putri saya. Sesuai janji, saya serahkan Frisha untuk menebus semua hutang-hutang saya pada Anda. Saya siap menikahkannya dengan Anda,” tutur Joni ketika sampai di ruang tamu.
Gadis cantik itu membeliak begitu lebar, jantungnya berdegup kuat bak lari marathon, hingga kedua lututnya terasa lemas.
“A ... apa maksud ayah?” ucap Frisha dengan suara bergetar. Sepasang netranya mulai berkaca-kaca.
Joni melepas cengkeraman tangannya, lalu memegang kedua bahu gadis itu. “Maafkan ayah. Tapi ayah tidak punya pilihan lain. Hutang ayah pada Tuan Morgan sangat besar dan kamu harus menjadi jaminan untuk membayarnya,” jelas pria paruh baya itu.
Kedua tangan Frisha terkepal dengan begitu kuat. Dadanya teramat sesak, tidak menyangka ayahnya tega menjual dirinya sebagai penebus hutang.
"Ayah gila! Ayah ‘kan bisa menjual tanah, rumah atau apalah yang bisa diuangkan. Kenapa harus Frisha, Yah? Menikah? Dengannya?” berontak gadis itu mulai menitikkan air mata.
“Hutang ayahmu tidak bisa dibayar dengan semua harta yang dia miliki! Kecuali ... kamu!” sela Morgan yang mendengar perdebatan mereka. Pria itu menatap mesum tubuh Frisha dari ujung kepala hingga kakinya.
Frisha bergidik melihatnya, deru napasnya terdengar memburu. Manik matanya sudah berubah merah karena air mata yang terus mengalir.
“Yah, katakan ini nggak bener!” Frisha masih berusaha mengelak, ia mencekal lengan ayahnya dan memohon agar menarik ucapannya kembali. “Katakan, Yah!” teriak gadis itu di tengah tangisannya.
Joni membuang napasnya berat, ia menatap nanar putrinya, kemudian berkata pelan, “Maafkan ayah.” Kepalanya menunduk setelah mengatakannya.
Mendengar jawaban sang ayah, pijakan di kakinya seolah runtuh. Tubuh Frisha meluruh ke lantai. Menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
"Saya tidak punya banyak waktu. Siapkan keberangkatannya!” seru Morgan tidak menerima bantahan.
“Ayo bersiap, Frish!” ajak Joni membantu Frisha berdiri dan membawanya ke kamar.
Berat sekali langkah kaki Frisha, kakinya terseok-seok. Tidak terima harus dinikahkan dengan pria tua seperti itu.
‘Aku punya pilihan, punya pria idaman. Kenapa menikah dengan pria yang sudah beristri?’ batin Frisha menjerit.
“Jangan lama-lama, ayah tunggu! Cepat bersihkan tubuhmu dan siapkan baju-bajumu!” perintah Joni mendorong Frisha masuk ke kamarnya.
“Ayah, brengsek!” teriak Frisha membanting pintu kamarnya lalu menendangnya berulang, tak peduli nyeri yang menjalar dari ujung kakinya.
Lelah mulai mendera, hatinya masih tidak bisa menerima. Frisha terduduk di atas ranjang menutup wajahnya yang masih berderai air mata.
Beberapa waktu berlalu, Frisa menyeka kedua pipinya yang basah, otaknya berpikir dengan cepat. “Nggak! Aku nggak boleh nyerah! Aku harus pergi dari sini!” seru Frisha beranjak berdiri, meraih koper yang tidak begitu besar dan memasukkan sebagian barang-barangnya dengan sangat cepat.
Beruntung jendelanya tidak dipasang tralis besi, sehingga memudahkannya keluar dari kamarnya tanpa harus melewati pintu.
Sebelum melompat jendela, Frisha mengunci pintu kamar, lalu melongokkan kepala untuk memastikan kondisi sekitar aman.
Bukan hal yang sulit dalam panjat memanjat, gadis itu berhasil menjajakan kedua kakinya di atas tanah tanpa menimbulkan suara, memeluk kopernya lalu berjalan mengendap-endap pergi sejauh-jauhnya.
...\=\=\=\=\=\=\=***\=\=\=\=\=\=\=
...
Malam semakin merangkak naik, Frisha berjalan mengendap-endap dan tanpa mengeluarkan suara apa pun.
Setelah sudah jauh dari rumah, Frisha mulai berlari, terus berlari dengan sepasang kaki jenjangnya sambil sesekali menengok ke belakang takut ada yang mengejarnya.
Gelap gulita sama sekali tak membuatnya takut. Hanya berbekal cahaya rembulan yang berpendar dari langit, Frisha nekad menaiki bukit yang cukup tinggi.
“Nggak boleh nyerah! Atau kamu bakal kawin sama bandot tua itu, Fris! Ayo semangat!” monolognya dengan napas terengah-engah. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun sama sekali tak dapat menghentikan langkahnya untuk terus berlari.
...\=\=\=\=\=°°°°\=\=\=\=\=
...
Sebuah mobil civic terbaru berwarna putih melintas di sebuah jalan toll dengan kecepatan di atas rata-rata. Di balik kemudi, duduk seorang pria tampan yang baru pulang dari luar kota usai pertemuan penting dengan klien.
Clyton Xavier Sebastian, CEO Sebastian Group di Palembang, lebih menyukai mengendarai mobilnya seorang diri. Ia suka kesunyian, ketenangan dan kesendirian.
Ponsel di sakunya sedari tadi terus berdering. Xavier merogohnya dan memperhatikan nama sang penelepon.
“Huft! Mommy,” desahnya yang sudah hafal dengan sang mama. Ia lupa mengabari bahwa kini sedang dalam perjalanan pulang.
Wanita yang rela tidak tidur hanya demi menunggu kepulangan anaknya. Karena itu, sejauh apa pun Xavier pergi, jarang sekali menginap kecuali benar-benar mendesak.
“Iya, Mom!” ucap Xavier setelah menggeser slide di layar ponselnya.
Sialnya, Xavier baru sadar dalam jarak yang begitu dekat ada seorang perempuan yang baru melompat pagar jalan tol, tepat pada jalur yang ia lalui.
“Awas!” teriak Xavier spontan sembari memutar setir mobilnya dengan cepat dan menginjak pedal rem kuat-kuat. Ponselnya terlepas dari genggaman.
Namun terlambat, Xavier menyerempet gadis itu hingga tubuhnya terpental dan berdebam di jalan.
Decitan rem yang terdengar memekakkan telinga, tentu membuat Khansa, wanita paruh baya di balik telepon memekik kaget. Ia tidak tahu jika Xavier sedang berkendara.
“Xavier! Xavier ada apa, Nak? Xavier jawab mommy! Jangan diam saja! Kamu di mana, hah?” teriak Khansa panik di balik telepon.
Napas Xavier tersengal-sengal, ia cukup syok dengan apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya sempat membeku beberapa saat, lalu memberanikan diri menengok ke belakang.
Bersambung~
Bestiee.... uncle Ric kita pending dulu ya😄 krna gak lolos. Eh ternyata sikembarnya SA-LE yang lolos. Semoga syuka... jan lupa tinggalin sandal di komentar 😄 tekan 💜 juga yess. soalnya ini ikut event, update nya nunggu anu dulu 😁
Lope you sekebonss 🥰..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
seorang ayah yang durjana 😠
2024-09-14
0
Yunerty Blessa
lari Frisha
2024-09-14
0
Yunerty Blessa
astaga, seorang bapa tega memberikan anaknya untuk membayar hutang judi nya 😏
2024-09-14
0