Xavier langsung menutup pintu kamarnya, tanpa mengalihkan pandangan dari Frisha. Frisha sendiri membalasnya, dua pasang netra itu saling bertautan erat.
Kaki panjang Xavier mengayun dengan tegas dan kuat. Membentur lantai marmer yang mengkilap di kamar besar itu.
Punggung Xavier membungkuk dengan kedua lengan berada di antara tubuh Frisha. Gadis itu mendongak, manik mata jernih dengan bulu mata lentik itu mengerjap begitu lembut.
“Kamu bisa menipu semua orang! Tapi tidak denganku. Jangan pernah berharap pernikahan yang sempurna, seperti yang terencana di otak licikmu itu!” gertak Xavier dengan geraman tertahan.
Frisha terdiam beberapa saat, menahan napas karena berada dalam kungkungan pria jangkung berwajah rupawan itu.
“Terserah Anda mau bersikap bagaimana. Saya akan tetap menjalankan tugas saya sebagai seorang istri, Tuan!” ucap Frisha mengurai senyum di bibirnya.
“Bisa apa kamu? Ke mana-mana saja masih menyusahkan orang! Enggak usah belagu!” gertak Xavier terus menekan. Tentu saja tatapan matanya begitu tajam, bak singa yang siap menerkam.
Frisha menghela napas panjang, Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Baik, mulai sekarang saya akan berusaha agar tidak merepotkan Anda, Tuan,” ucapnya menepis tangan Xavier dan menjalankan kursi roda dengan kedua tangannya.
Xavier berkacak pinggang dengan gerahamnya yang mengetat, tatapan kebencian masih memancar dari sorot matanya.
Frisha menuju ke kamar mandi, menutup pintu itu rapat-rapat. Lalu menekan dadanya yang terasa sesak sedari tadi. Bulir bening mulai berjatuhan dari kedua matanya. Pipinya kembali basah, Frisha menghela napas panjang. “Setidaknya, aku memiliki ayah dan ibu baru yang sangat baik. Terutama ibu mertua,” gumamnya tersenyum sembari menyeka air matanya.
Ia lalu mencoba untuk mandi sendiri meski merasa kesulitan. Frisha sampai kesal, memukul-mukul kedua lututnya yang tidak bisa digerakkan.
“Enggak boleh nyerah! Enggak boleh manja! Kamu kuat Frisha! Kamu bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan manusia monster itu!” gerutunya sembari menangis.
Akhirnya ia bisa menurunkan semua gaunnya, lalu berhenti tepat di bawah guyuran air shower, meresapi setiap tetes hujaman air membasahi sekujur tubuhnya.
“Apapun yang terjadi, aku harus bertahan. Morgan pasti tidak akan tinggal diam di luar sana,” monolog Frisha pada dirinya sendiri.
Setelah satu jam lamanya, Frisha masih berada di kamar mandi. Ia kebingungan karena tidak membawa pakaian ganti. Handuk kimono sudah membalut tubuhnya yang basah, bahkan sudah mulai mengering.
“Gimana nanti ganti bajunya? Semoga monster berkaki panjang itu udah pergi!” Frisha membuka pintu kamar mandi perlahan, mengintip di balik pintu untuk memindai keberadaan Xavier.
“Hah, syukurlah. Udah nggak ada!” desahnya lalu keluar dari sana.
Frisha tidak tahu keberadaan kopernya. Ia memberanikan diri membuka satu persatu lemari yang ada di ruang ganti. Gadis itu meneguk ludahnya, deretan gaun bermerk dengan berbagai macam bentuk ada di sana. Semua sudah disiapkan oleh ibu mertuanya.
“Yaampun! Mimpi apa ya. Serius ini milikku?” kagum Frisha menatap deretan gaun itu.
Ia mencoba meraih salah satu gaun yang paling sederhana. Meskipun sebenarnya gaun itu merupakan gaun termahal yang pernah ia sentuh. Tangannya berusaha menggapai meski kesulitan, kemudian mencari dalaman yang sudah tersusun rapi di beberapa laci.
Sayangnya, ada yang terletak di laci paling bawah. Frisha membungkuk dan mencoba meraihnya. Sampai-sampai terjatuh dari kursi roda. “Auww!” rintih gadis itu.
“Makanya nggak usah sok!” Suara Xavier menggema yang datang tiba-tiba, mengejutkan Frisha, dilanjut dengan langkahnya yang semakin mendekat. Lalu memapah Frisha naik kembali ke kursi roda.
“Buruan! Sudah ditunggu di meja makan! Aku tunggu di depan kamar!” sentak Xavier berbalik meninggalkannya.
“Iih, dasar monster!” decak Frisha menatap pria itu dengan kesal.
Setelah beberapa saat, gadis itu baru keluar kamar. Belum terbiasa dengan kondisinya, Frisha memang masih kesulitan dalam beraktivitas.
“Lama banget sih! Sekalian aja tahun depan keluarnya!” gerutu Xavier mendorong kursi roda tersebut.
Frisha memutar bola matanya malas. Ia diam tidak menimpali karena kedua mertuanya sudah menunggu di meja makan.
“Fris, kamu suka makan yang mana?” tanya Khansa berdiri dan hendak mengambilkan makanan untuk menantunya itu.
“Mommy! Biar dia belajar mandiri, lagian mulai besok kami mau pindah!” larang Xavier menyendok makanannya sendiri.
“Ah, iya, Mom. Frisha bisa sendiri kok,” sergah gadis itu merasa tak enak.
Khansa lebih fokus pada kata-kata Xavier, “Pindah ke mana? Xavier, kamu tahu sendiri, Luna adikmu ‘kan udah ikut suaminya. Masa kamu juga mau ninggalin kami!” seru Khansa menatap serius.
“Ke rumah Xavier, Mom. Yang lebih dekat dari kantor. Nanti sesekali kami main kalau libur!” elak Xavier masih kekeh dengan keinginannya.
Khansa duduk dengan kesal. Leon menangkup jemari lentik istrinya, mengusapnya lembut, “Sayang, mereka juga butuh privasi,” ucap Leon pelan sembari menggerakkan ibu jarinya.
‘Ya ampun, Daddy udah tua aja masih sweet banget gitu. Nggak kayak anaknya,’ batin Frisha menatap kagum kedua mertuanya itu.
“Hah! Yaudah. Seminggu sekali kalian harus ke sini. Xavier, kamu jangan menekan Frisha. Dia masih menyesuaikan diri dengan kondisinya. Frisha, bilang sama mommy kalau Xavier menyakitimu. Biar mommy jewer sampai putus telinganya!” cerocos Khansa tiada jeda.
Frisha justru berkaca-kaca mendengarnya. Ia sungguh terharu dengan perlakuan Khansa. Benar-benar merasakan kasih sayang seorang ibu.
“Loh! Frisha, kenapa, Nak? Apa Xavier menyakitimu?” cecar Khansa mendekat, memeluk perempuan itu dengan sayang.
Xavier mendelik. Ia sudah menyiapkan jawaban jika memang gadis itu mengadu. Namun ternyata dugaannya salah.
“Frisha benar-benar merasa memiliki ibu lagi, Mom!” Tangis Frisha kembali pecah. “Bagaimana bisa Mommy sesayang ini sama Frisha yang bahkan hanya orang asing, tidak punya apa-apa!” ucapnya bersandar nyaman di dada Khansa.
Khansa mengerti, ia memeluk gadis itu begitu erat. “Mommy sudah pernah berada di posisimu, Nak. Pahit manis dan asamnya kehidupan sudah pernah mommy lewati. Mommy sangat mengerti bagaimana perasaanmu! Udah mommy bilang berkali-kali, kamu bukan orang asing. Kamu keluarga kami,” tutur Khansa lembut mengingat kebaikan nenek waktu ia pertama masuk ke dalam keluarga Sebastian.
Nenek yang begitu menyayanginya dengan tulus, menerimanya dengan tangan terbuka. Khansa menangis, mengingat wanita tua yang sangat berperan dalam kehidupannya itu.
“Mommy jangan nangis juga! Makasih ya, Mom!” ucap Frisha memeluk erat pinggang Khansa.
“Mommy hanya mengingat Nenek Sebastian. Dulu beliau juga sangat baik, menerima Mommy yang puluhan tahun dibuang di desa. Lantas, apa alasan mommy tidak bersikap baik padamu?” ucap Khansa menunduk, sedangkan Frisha mendongak. Mereka saling melempar senyum dan larut dalam tangis haru.
“Sayang, udah. Sekarang makanlah!” tandas Leon menghancurkan suasana haru itu.
Khansa kembali ke tempat duduknya. Frisha seperti mendapat semangat baru dalam hidupnya. Setidaknya ada yang benar-benar tulus menyayanginya.
Xavier diam saja, bersikap tak acuh meski sebenarnya hatinya tersentuh. Tetapi mimik mukanya mampu menutupinya dengan sempurna. Masih terkesan dingin dan angkuh.
Usai makan malam mereka kembali ke kamar masing-masing. Frisha berusaha keras naik ke atas ranjang. Ia tidak mau mengemis pertolongan pada suaminya itu.
Xavier sendiri tak peduli. Ia sudah duduk bersandar di ranjang sembari menyesap rokok favoritnya. Meski AC menyala, tidak masalah. Karena setiap kamar sudah didesain dengan alat penghisap asap. Jadi dia tidak perlu keluar kamar untuk memenuhi hasrat merokoknya.
Frisha berhasil merebahkan tubuhnya di atas ranjang setelah susah payah berjuang. Xavier hanya meliriknya sekilas, lalu pandangannya kembali fokus pada layar ponselnya.
Setelah melempar tatapan tajam, Frisha membelakangi suaminya, menaikkan selimut dan berusaha memejamkan mata meski sulit.
Sudah dua jam berlalu, Frisha masih tidak bisa tidur. Ia melirik ke arah Xavier yang ternyata tidur dalam posisi duduk.
Frisha beranjak, tak sengaja matanya menangkap ponsel Xavier yang masih menyala. Tampak memperlihatkan gambar seorang wanita yang begitu cantik.
“Jangan-jangan pacarnya,” gumam Frisha mengintip.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
jangan terlalu sombong 😏
2024-09-14
0
Yunerty Blessa
kata² sungguh menyakitkan Xavier
2024-09-14
0
Qaisaa Nazarudin
Itu juga karena Ulah mu kalo kamu amnesia..🙄🙄
2023-11-30
2