“Selamat datang di gubuk saya, Tuan Morgan! Mari silakan masuk!” sapa Joni Gunardi dengan senyum lebar, setelah menjabat tangan pria yang sebaya dengannya.
Binar bahagia memancar dari gurat wajahnya, ketika kedatangan tamu yang begitu ia agung-agungkan.
Pria paruh baya yang masih gagah dengan balutan jas rapi itu bergeming di ambang pintu. Hanya mengedarkan pandangan ke ruang tamu yang begitu sempit menurutnya.
“Saya tidak suka basa-basi! Saya ingin menagih janji kamu. Sudah tiga kali jatuh tempo dan tidak bisa ditolerir lagi!” sahut Morgan dengan dingin.
Joni menelan salivanya susah payah. Dadanya bertalu kuat melihat aura menekan dari pria di hadapannya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar demi mengurai kegugupan.
Joni sama sekali tidak menyangka, kegilaannya terhadap dunia perjudian, membuatnya harus terlilit hutang yang sangat besar. Bahkan jika menjual rumahnya pun, tidak akan bisa melunasi hutang-hutangnya.
Morgan, sang penguasa di tempat itu, memang selalu menawarkan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Jika tidak bisa membayarnya, harus ada jaminan yang menjanjikan.
“Ba ... baik, Tuan! Sebentar,” pamit Joni bergegas masuk ke rumah berteriak memanggil putrinya.
“Frisha! Frisha!” panggil Joni gugup.
“Iya, Yah?” sahut gadis cantik dengan rambut hitam yang bergelombang. Buru-buru gadis itu menghampiri sang ayah.
Tanpa bicara apa-apa, Joni menarik lengan kurus putrinya dan membawanya ke depan. Gadis itu mengernyit bingung, namun tetap menyeret kaki jenjangnya mengikuti langkah sang ayah.
“Tuan, ini putri saya. Sesuai janji, saya serahkan Frisha untuk menebus semua hutang-hutang saya pada Anda. Saya siap menikahkannya dengan Anda,” tutur Joni ketika sampai di ruang tamu.
Gadis cantik itu membeliak begitu lebar, jantungnya berdegup kuat bak lari marathon, hingga kedua lututnya terasa lemas.
“A ... apa maksud ayah?” ucap Frisha dengan suara bergetar. Sepasang netranya mulai berkaca-kaca.
Joni melepas cengkeraman tangannya, lalu memegang kedua bahu gadis itu. “Maafkan ayah. Tapi ayah tidak punya pilihan lain. Hutang ayah pada Tuan Morgan sangat besar dan kamu harus menjadi jaminan untuk membayarnya,” jelas pria paruh baya itu.
Kedua tangan Frisha terkepal dengan begitu kuat. Dadanya teramat sesak, tidak menyangka ayahnya tega menjual dirinya sebagai penebus hutang.
"Ayah gila! Ayah ‘kan bisa menjual tanah, rumah atau apalah yang bisa diuangkan. Kenapa harus Frisha, Yah? Menikah? Dengannya?” berontak gadis itu mulai menitikkan air mata.
“Hutang ayahmu tidak bisa dibayar dengan semua harta yang dia miliki! Kecuali ... kamu!” sela Morgan yang mendengar perdebatan mereka. Pria itu menatap mesum tubuh Frisha dari ujung kepala hingga kakinya.
Frisha bergidik melihatnya, deru napasnya terdengar memburu. Manik matanya sudah berubah merah karena air mata yang terus mengalir.
“Yah, katakan ini nggak bener!” Frisha masih berusaha mengelak, ia mencekal lengan ayahnya dan memohon agar menarik ucapannya kembali. “Katakan, Yah!” teriak gadis itu di tengah tangisannya.
Joni membuang napasnya berat, ia menatap nanar putrinya, kemudian berkata pelan, “Maafkan ayah.” Kepalanya menunduk setelah mengatakannya.
Mendengar jawaban sang ayah, pijakan di kakinya seolah runtuh. Tubuh Frisha meluruh ke lantai. Menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
"Saya tidak punya banyak waktu. Siapkan keberangkatannya!” seru Morgan tidak menerima bantahan.
“Ayo bersiap, Frish!” ajak Joni membantu Frisha berdiri dan membawanya ke kamar.
Berat sekali langkah kaki Frisha, kakinya terseok-seok. Tidak terima harus dinikahkan dengan pria tua seperti itu.
‘Aku punya pilihan, punya pria idaman. Kenapa menikah dengan pria yang sudah beristri?’ batin Frisha menjerit.
“Jangan lama-lama, ayah tunggu! Cepat bersihkan tubuhmu dan siapkan baju-bajumu!” perintah Joni mendorong Frisha masuk ke kamarnya.
“Ayah, brengsek!” teriak Frisha membanting pintu kamarnya lalu menendangnya berulang, tak peduli nyeri yang menjalar dari ujung kakinya.
Lelah mulai mendera, hatinya masih tidak bisa menerima. Frisha terduduk di atas ranjang menutup wajahnya yang masih berderai air mata.
Beberapa waktu berlalu, Frisa menyeka kedua pipinya yang basah, otaknya berpikir dengan cepat. “Nggak! Aku nggak boleh nyerah! Aku harus pergi dari sini!” seru Frisha beranjak berdiri, meraih koper yang tidak begitu besar dan memasukkan sebagian barang-barangnya dengan sangat cepat.
Beruntung jendelanya tidak dipasang tralis besi, sehingga memudahkannya keluar dari kamarnya tanpa harus melewati pintu.
Sebelum melompat jendela, Frisha mengunci pintu kamar, lalu melongokkan kepala untuk memastikan kondisi sekitar aman.
Bukan hal yang sulit dalam panjat memanjat, gadis itu berhasil menjajakan kedua kakinya di atas tanah tanpa menimbulkan suara, memeluk kopernya lalu berjalan mengendap-endap pergi sejauh-jauhnya.
...\=\=\=\=\=\=\=***\=\=\=\=\=\=\=
...
Malam semakin merangkak naik, Frisha berjalan mengendap-endap dan tanpa mengeluarkan suara apa pun.
Setelah sudah jauh dari rumah, Frisha mulai berlari, terus berlari dengan sepasang kaki jenjangnya sambil sesekali menengok ke belakang takut ada yang mengejarnya.
Gelap gulita sama sekali tak membuatnya takut. Hanya berbekal cahaya rembulan yang berpendar dari langit, Frisha nekad menaiki bukit yang cukup tinggi.
“Nggak boleh nyerah! Atau kamu bakal kawin sama bandot tua itu, Fris! Ayo semangat!” monolognya dengan napas terengah-engah. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun sama sekali tak dapat menghentikan langkahnya untuk terus berlari.
...\=\=\=\=\=°°°°\=\=\=\=\=
...
Sebuah mobil civic terbaru berwarna putih melintas di sebuah jalan toll dengan kecepatan di atas rata-rata. Di balik kemudi, duduk seorang pria tampan yang baru pulang dari luar kota usai pertemuan penting dengan klien.
Clyton Xavier Sebastian, CEO Sebastian Group di Palembang, lebih menyukai mengendarai mobilnya seorang diri. Ia suka kesunyian, ketenangan dan kesendirian.
Ponsel di sakunya sedari tadi terus berdering. Xavier merogohnya dan memperhatikan nama sang penelepon.
“Huft! Mommy,” desahnya yang sudah hafal dengan sang mama. Ia lupa mengabari bahwa kini sedang dalam perjalanan pulang.
Wanita yang rela tidak tidur hanya demi menunggu kepulangan anaknya. Karena itu, sejauh apa pun Xavier pergi, jarang sekali menginap kecuali benar-benar mendesak.
“Iya, Mom!” ucap Xavier setelah menggeser slide di layar ponselnya.
Sialnya, Xavier baru sadar dalam jarak yang begitu dekat ada seorang perempuan yang baru melompat pagar jalan tol, tepat pada jalur yang ia lalui.
“Awas!” teriak Xavier spontan sembari memutar setir mobilnya dengan cepat dan menginjak pedal rem kuat-kuat. Ponselnya terlepas dari genggaman.
Namun terlambat, Xavier menyerempet gadis itu hingga tubuhnya terpental dan berdebam di jalan.
Decitan rem yang terdengar memekakkan telinga, tentu membuat Khansa, wanita paruh baya di balik telepon memekik kaget. Ia tidak tahu jika Xavier sedang berkendara.
“Xavier! Xavier ada apa, Nak? Xavier jawab mommy! Jangan diam saja! Kamu di mana, hah?” teriak Khansa panik di balik telepon.
Napas Xavier tersengal-sengal, ia cukup syok dengan apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya sempat membeku beberapa saat, lalu memberanikan diri menengok ke belakang.
Bersambung~
Bestiee.... uncle Ric kita pending dulu ya😄 krna gak lolos. Eh ternyata sikembarnya SA-LE yang lolos. Semoga syuka... jan lupa tinggalin sandal di komentar 😄 tekan 💜 juga yess. soalnya ini ikut event, update nya nunggu anu dulu 😁
Lope you sekebonss 🥰..
Xavier mengabaikan ponselnya yang terjatuh. Bahkan teriakan-teriakan ibunya yang panik tidak dihiraukan. Tubuhnya menegang ketika melihat seseorang tergeletak di tengah jalan. Sepi, tidak ada pengendara lain.
Setelah beberapa waktu berlalu, pria itu bergegas turun dari mobilnya. Kakinya melangkah panjang mendekati korban kecelakaan itu. Matanya memicing menatap gadis yang tergolek lemah tak sadarkan diri.
“Bangun!” gumamnya menendang-nendang lengan gadis itu perlahan.
Tidak ada pergerakan sama sekali, Xavier memberanikan diri untuk berjongkok. Napasnya tertahan sesaat, lengannya menjulur menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah gadis itu.
Manik matanya bergerak turun, terlihat dada sang korban masih bergerak. Meski ada beberapa luka di lengan dan kepalanya.
Menyadari hal itu, Xavier segera mengangkat tubuh gadis itu perlahan. Membawanya masuk ke mobil. Lalu berlari lagi mengambil koper yang sempat terlempar.
“Menyusahkan saja!” gerutu Xavier menginjak pedal gas dalam-dalam setelah duduk di balik kemudi.
Tanpa pikir panjang, Xavier segera membawa gadis itu ke RS Sebastian, rumah sakit swasta milik keluarganya.
Sementara itu, Khansa masih panik di kediamannya. Ia segera membangunkan sang suami untuk melacak keberadaan putranya.
“Sayang, bangun! Xavier sepertinya kecelakaan! Cepat temukan dia sekarang!” rengek Khansa pada Leon yang terlelap dalam tidurnya.
Pria yang sangat sensitif ketika tidur itu segera beranjak bangun dengan cepat. Mengumpulkan segenap kesadarannya. Ia menengok jarum jam masih berada di angka 11:30 malam.
“Xavier kecelakaan, Leon!” seru Khansa menggoyangkan lengan sang suami yang tak kunjung bergerak.
“Apa?” sahutnya panik dan segera turun dari ranjang. Leon membuka laptop di mejanya, menggerakkan jari jemarinya dengan lincah di atas keyboard untuk melacak keberadaan putranya.
Setelah beberapa waktu berlalu, Leon berhasil menemukannya. “Sayang, dia di rumah sakit kita!” lapor pria itu pada sang istri.
Khansa segera mengambil sweater tebal tanpa mengganti pakaian. Ia juga mengambilkan jubah panjang dan tebal untuk suaminya. Mereka segera berangkat ke rumah sakit malam itu juga. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada putranya.
...\=\=\=\=\=***\=\=\=\=\=...
Sedangkan di kediaman Joni, Morgan marah besar saat mengetahui Frisha melarikan diri. Ia menyuruh anak buahnya untuk menghajar Joni hingga babak belur karena dianggap melanggar janji.
“A ... ampun, Tuan! Ampun! Saya janji akan segera menemukannya dan langsung menyerahkan pada Anda, Tuan!” rintih Joni di tengah kesakitannya. Ia sampai berlutut memohon ampun.
“Hmmm ... saya kasih waktu satu minggu! Jika dalam rentang waktu itu kamu tidak menyerahkannya, nyawamu sebagai gantinya!” tegas Morgan mengibaskan jasnya lalu melenggang pergi diikuti akan buahnya.
Joni mendesis kesakitan. Iring-iringan mobil Morgan sudah semakin jauh dari rumahnya. Pria itu beranjak dengan sisa tenaga, lalu membanting apa pun yang ada di hadapannya.
“Aaarrghh! Awas kau Frisha!” pekiknya tidak terima.
...\=\=\=\=\=***\=\=\=\=\=...
Di rumah sakit, Xavier berdiri tegap di depan ruang pemeriksaan. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan lurus ke depan.
“Xavier!” teriak Khansa dari ujung lorong.
Khansa yang tidak sabar berlari menghampiri putranya. Lalu memeluk pria itu dengan sangat erat.
“Kamu tidak apa-apa? Tidak ada luka ‘kan? Kamu tadi kenapa?” sambung wanita itu lagi menangkup pipi Xavier meneliti wajah tampan putranya, juga sekujur tubuhnya.
“Mom, Xavier tidak apa-apa. Hanya saja, tadi nggak sengaja menabrak orang,” balas Xavier pelan.
“Apa! Bagaimana keadaannya?” pekik wanita itu.
“Sedang diperiksa, Mom,” ujar Xavier lagi.
Selang beberapa menit, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Ia langsung membungkuk hormat setelah melihat sang pemilik rumah sakit ada di sana.
“Selamat malam, Tuan, Nyonya,” sapa dokter pria berkaca mata.
“Hmm ... bagaimana keadaannya?” Leon langsung menimpali dengan pertanyaan.
“Mari saya jelaskan di ruangan saya, Tuan!”
“Tidak usah! Langsung saja!” sahut Leon menuntut.
Dokter pun mengangguk, “Tuan, pasien sudah sadar. Akan tetapi, tidak bisa menggerakkan kakinya. Salah satu bagian dari sistem saraf rusak, hingga menyebabkan kelumpuhan,” papar dokter tersebut setelah melakukan serangkaian pemeriksaan sesuai prosedur.
“Berikan perawatan terbaik sampai sembuh!” tegas Xavier setelah dokter berhenti berbicara. Leon dan Khansa mengangguk setuju.
Bagaimana pun Xavier harus bertanggung jawab.
“Baik, Tuan. Kami akan segera memindahkannya ke ruang perawatan,” sahut sang dokter.
...\=\=\=\=\=\=***\=\=\=\=\=...
Di sebuah ruang rawat VIP, tangis Frisha pecah setelah mengetahui dirinya lumpuh. Ia idak tahu bagaimana menjalani hari-hari ke depannya nanti.
Derit suara pintu yang terbuka, membuat gadis itu menoleh. Tampak seorang pria bergaris wajah tegas, begitu tampan dan berbadan tegap, kini berjalan mendekatinya.
Manik jernih Frisha yang berair tertautan dengan mata elang Xavier. Sempat terpaku dengan ketampanan pria itu, netranya enggan berkedip.
“Saya akan bertanggung jawab. Memberikan pengobatan terbaik dan uang tunai 5 milyar,” ucap Xavier lugas tanpa basa basi.
Frisha terperanjat, menarik kembali kesadarannya. ‘Astaga! Nyesel sempat kagum padanya. Ternyata sombong, arogan! Tapi ... dia menawarkan banyak hal. Pasti orang ini sangat kaya!’ gumam Frisha dalam hati.
“Bagaimana? Deal?” tanya Xavier memicingkan mata, melihat gadis itu diam saja.
“Tidak bisa! Kamu sudah membuatku lumpuh seperti ini!” teriak Frisha semakin menangis.
“Lalu apa maumu?” geram Xavier bersuara lantang, cukup membuat nyali Frisha menciut.
Debaran dada Frisha sungguh berantakan. Tetapi ini kesempatan dan satu-satunya cara agar dia terbebas dari jerat lelaki tua bangka yang akan menikahinya itu.
“Anda harus menikahi saya, Tuan!” ucap Frisha memberanikan diri. Tak peduli dengan tatapan tajam yang semakin menusuk jantung Frisha saat ini.
Tubuh gadis itu gemetar, kedua tangannya mencengkeram kuat selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Melampiaskan rasa takut yang menanjak hingga ubun-ubun.
“Apa? Kau gila?” berang Xavier berkacak pinggang sembari menendang nakas di sebelahnya.
“Tentu saja tidak, Tuan. Akan tetapi, bagaimana nanti kehidupan saya setelah ini. Pasti tidak akan ada yang mau menikahi saya. Padahal, melihat saya menikah mungkin bisa jadi permintaan terakhir ayah saya,” papar Frisha menangis tersedu-sedu. Dalam kondisi terdesak, bibir Frisha pun lancar berbicara.
“Omong kosong!” sembur Xavier tidak percaya.
“Xavier, kenapa, Nak? Suara apa tadi?” tanya Khansa menerobos masuk saat mendengar benturan benda tumpul.
Khansa dan Leon baru saja kembali setelah mencari identitas gadis itu. Kebetulan mereka menemukan kartu identitas yang ada di tas gadis itu. Dan meminta bawahannya untuk menghubungi keluarganya.
“Tanya saja sama gadis gila itu!” ketus Xavier masih dengan emosi membuncah.
Frisha tertegun, melihat pasangan suami istri yang masih begitu cantik dan tampan, walaupun usianya tak muda lagi. Ia pun semakin berniat melancarkan aksinya untuk menarik empati mereka.
“Nyonya, kenapa saya tidak mati sekalian saja.” Gadis itu kembali menangis sembari memukul-mukul kakinya yang sama sekali tidak terasa apa pun.
Khansa segera mendekat, menahan tangan gadis itu dan menenangkannya. “Kamu bicara apa? Jangan menyerah, tenang saja kami akan memberi pengobatan terbaik,” sahut wanita itu.
Frisha menggeleng, “Tidak, Nyonya. Lebih baik saya mati saja dari pada harus hidup cacat seperti ini. Tidak akan ada lelaki yang mau menikahi gadis lumpuh seperti saya!” Gadis itu terus menangis.
Khansa yang mudah tersentuh hatinya, tidak tega. Ia pun memeluk perempuan itu, mencoba memberi ketenangan. “Jangan bicara seperti itu,” ucapnya pelan.
“Nggak usah akting!” dengkus Xavier melipat kedua lengannya di dada.
“Xavier, turunkan emosimu!” Leon menepuk bahu Xavier yang menegang. Ia hanya mengamati apa yang sebenarnya terjadi sebelum bertindak.
“Dad, dia meminta Xavier menikahinya! Apa nggak gila itu namanya?!” lapor Xavier menggebu-gebu.
“Apa?!” teriak Khansa dan Leon bersamaan.
Bersambung~
Gedoran dan dobrakan sebuah pintu, membuat Joni terperanjat dari tidurnya. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya, apalagi kini mulai terdengar langkah kaki yang mendekati kamarnya.
Dalam remang cahaya, Joni menahan napasnya, tidak berani bergerak sedikit pun, hanya merasakan detak jantungnya yang menggema di rongga dadanya.
“Brak!”
Sekelompok pria berpakaian rapi berhasil mendobrak pintu kamarnya. Seseorang mengedikkan kepala dan langsung menyergap Joni, menyeretnya keluar.
“Si ... siapa kalian? Ada urusan apa?” seru Joni ketakutan, tidak ada daya untuk melawan. Orang-orang itu terlalu kuat.
Joni dimasukkan ke dalam mobil, diapit agar tidak bisa kabur dan segera dibawa pergi. ‘Jangan-jangan mereka suruhan Tuan Morgan. Tapi ini belum satu minggu, bahkan belum genap satu malam,’ gumamnya dalam hati.
Tidak ada pilihan lain, Joni pun menurut. Hingga mobil yang membawanya sampai di pelataran rumah sakit swasta terbesar di Palembang.
Kening Joni mengernyit saat sadar, ia tiba di sebuah rumah sakit. Malam yang begitu sunyi itu, membuat benturan sepatu para pria yang membawa Joni menggema di sepanjang lorong.
Pintu sebuah ruang rawat inap diketuk perlahan. Terdengar suara sahutan dari dalam ruangan, mereka pun masuk setelah dipersilahkan.
“Tuan, kami sudah membawa ayahnya. Dia tinggal berdua saja dengan lelaki ini!” lapor salah satu anak buah Leon.
“Hmm!” gumam Leon melirik pria yang sedikit lebih tua darinya.
Joni terkejut melihat putrinya terbaring di atas brankar pasien, dengan wajah begitu sendu bahkan masih terlihat air mata yang sesekali menetes.
“Frisha!” panggil pria itu dengan suara bergetar.
Frisha melengos, ia masih sakit hati dengan ayahnya yang berniat menjualnya pada pria tua itu.
“Kalau bukan karena ayah, aku tidak akan pernah mengalami kecalakaan dan lumpuh seperti ini!” gumam Frisha tak mau menatap wajah ayahnya.
“Lu ... lumpuh?” tanya Joni terbata-bata.
Tubuh pria itu melemas, sungguh dalam hati kecilnya, Joni sangat menyayangi gadis itu. Ia hanya ingin putrinya hidup lebih baik. Yakni menikahkannya dengan Mogan, pria beristri yang kaya raya.
“Iya, ayah puas sekarang? Hidupku hancur, masa depanku hancur. Semuanya hancur gara-gara ayah! Aku divonis cacat seumur hidup!” teriak Frisha mengeluarkan emosinya.
“Putri Anda berjalan di tempat yang tidak seharusnya. Sepenuhnya bukan salah saya!" ujar Xavier membela diri.
Joni menoleh, mengedarkan pandangannya dan terkejut ketika melihat Leon dan Khansa. ‘Bukankah mereka konglomerat dan pemilik rumah sakit ini?’ gumamnya dalam hati.
“Oh, jadi Anda yang menabrak putri saya?” ucap Joni dengan deru napas tak beraturan.
“Ya, tapi anak Anda juga bersalah. Karena berjalan di jalan toll! Tengah malam pula! Masih untung saya bawa ke rumah sakit. Tidak saya tinggalkan begitu saja,” sanggah Xavier lagi.
“Tetap saja Anda yang membuat putri saya lumpuh!” Joni menimpali.
“Saya akan membiayai pengobatan sampai sembuh. Dan uang senilai 5 milyar!”
“Tidak semua bisa dibayar dengan uang, Tuan! Jangan mentang-mentang Anda konglomerat jadi menyelesaikan segala sesuatu dengan uang!” seru Joni dengan mata memerah.
“Sedari kecil, Frisha sudah menderita karena ditinggal kabur oleh ibunya. Saat ini yang dia punya hanya saya. Akan tetapi, umur saya sudah tidak lama lagi. Karena itu saya menikahkan Frisha. Tetapi jika keadaannya begini, siapa yang akan mau menikahinya? Siapa yang akan menjaganya setelah saya meninggal nanti!” sambung Joni dengan bahu bergetar karena tangisnya.
Joni divonis mengidap kanker hati stadium 4. Sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup. Dia pernah memiliki perusahaan, tetapi bangkrut sehingga ditinggalkan istrinya. Joni frustasi, melampiaskan dengan mabuk-mabukan, judi dan semacamnya. Hingga kini, hidupnya tak akan lama lagi.
Frisha tak menoleh, dalam lubuk hati kecilnya ia sangat menyayangi lelaki itu. Biar bagaimana pun, dia tetap ayahnya.
Khansa menggamit lengan Leon, mencengkeramnya cukup kuat. Ada rasa iba yang mulai menjalar dari hatinya.
Tak berapa lama, Joni mencengkeram kuat kerah Xavier, “Kamu! Kamu harus bertanggung jawab! Kamu harus menikah dengannya. Karena kamu yang telah membuatnya seperti ini! Jika tidak, aku akan melaporkannya ke polisi dan beberkan pada media. Biar seluruh dunia tahu, bahwa Keluarga Sebastian tidak sebaik yang mereka kira!” sentak Joni dengan napas tersengal-sengal.
“Tidak! Sampai kapan pun saya tidak akan menikahinya!” balas Xavier mendorong tubuh pria tua itu hingga terhuyung ke lantai.
“Xavier!” sentak Khansa membantu Joni berdiri. “Mommy nggak pernah ngajarin kamu kasar sama orang tua," tandasnya dengan tatapan tajam.
“Mom, mereka pasti cuma mau memanfaatkan keluarga kita!” sanggah Xavier kekeh dengan penolakannya.
“Cukup! Hentikan semuanya!” teriak Frisha menarik atensi semua orang di ruangan itu.
Mereka membelalak karena saat ini Frisha tengah memegang pisau buah dan bersiap mengiris urat nadinya.
“Nak, apa yang kamu lakukan?!” Khansa sigap melangkah dan memukul lengan Frisha hingga pisau itu terjatuh.
“Frisha!” panggil Joni menatap nanar putrinya.
Frisha menangis, ia berteriak histeris, “Lebih baik aku mati! Semua orang nggak ada yang menginginkan aku! Bahkan ibu dan ayahku saja sama sekali tidak menginginkan aku. Ibu meninggalkanku sejak kecil, ayah ingin menjualku sebagai penebus hutang. Dan kamu!” Frisha menatap Xavier, “Kamu juga sudah menghancurkan hidupku! Kenapa tidak sekalian bunuh aku saja tadi,” teriaknya meringis menahan sakit di kepalanya.
Khansa memeluknya, mengusap-usap bahu gadis itu perlahan. “Tenangin diri dulu ya,” ucapnya di telinga Khansa sembari merogoh sebuah jarum perak dan menusukkannya pada pelipis Frisha.
Lama kelamaan, gadis itu tertidur karena pengaruh akupunktur yang memang dikuasai wanita itu sejak muda dulu. Setelahnya, Khansa mengajak Leon dan Xavier keluar kamar untuk membahas masalah ini.
“Dia memiliki luka batin yang cukup dalam,” ucap Khansa.
“Mommy bantu obati saja, beres ‘kan?” sanggah Xavier tak acuh.
“Tidak semudah itu, Daddy mu aja butuh puluhan tahun sembuh dari luka batinnya. Selain obat-obatan, terapi, kasih sayang dan support orang terdekat adalah penunjang utama. Xavier, terima ya pernikahan ini. Lagian kamu sudah 30 tahun masih belum punya kekasih. Aku yakin dia sebenarnya gadis yang baik!” bujuk Khansa.
“Dari mana mommy tahu?! Mukanya aja yang polos. Siapa tahu hatinya busuk!” ketus Xavier.
Leon sedari tadi diam, dia bingung harus membela siapa. Di satu sisi tidak mau menekan Xavier, di sisi lain tidak bisa menentang istrinya.
“Kamu lupa mommy itu dokter psikiater? Jadilah gentleman!” Leon menyela.
“Ya Tuhan! Mommy! Daddy! Xavier nggak mau nikah. Apalagi dengan gadis asing!” seru Xavier dengan gusar.
“Kamu sudah dewasa. Harusnya tidak perlu diajari tanggung jawab.” Khansa berucap dengan tegas dan tidak bisa dibantah, kemudian pergi meninggalkan dua pria kesayangannya.
Leon mengembuskan napas berat, “Jalani saja dulu! Bantu gadis itu sembuh. Setelah itu terserah kamu!” timpal Leon menyusul istrinya.
...\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=...
Tiga hari kemudian ....
Semua dokumen pernikahan diurus secara kilat oleh orang-orang Leon, setelah Xavier menyetujuinya. Xavier bertekad hanya sampai gadis itu sembuh. Setelahnya, dia berencana akan menceraikan gadis itu.
Xavier dan Frisha sudah sah menikah di mata hukum maupun negara. Meskipun tidak ada pesta meriah. Acara sakral itu hanya disaksikan keluarga besar Sebastian saja.
Joni begitu mendesah lega, karena putrinya jatuh di tangan orang yang tepat. Bukan pada pria beristri seperti Morgan.
“Titip Frisha ya. Maaf jika dia akan selalu merepotkan,” ucap Joni menundukkan kepala pada Xavier. Kemudian beralih pada putrinya.
“Maafin ayah ya, Nak. Semoga kamu bahagia. Ayah pamit dulu. Setelah ini tidak akan ada yang berani mengganggumu,” gumam Joni bersimpuh di depan Frisha yang duduk di kursi roda. Frisha hanya mengangguk, menyeka air mata yang tiba-tiba jatuh.
Joni mencium kening putrinya begitu lama. Kemudian berpamitan pada seluruh keluarga besannya. Ia memilih pulang walaupun di sana banyak sekali kamar kosong. Ia pun enggan diantar oleh sopir keluarga.
Joni berjalan gontai keluar dari rumah megah itu. Ketika bermaksud menghentikan taksi di tepi jalan, sebuah mobil van melaju dengan kecepatan tinggi dan menghantam tubuh lelaki tua itu hingga terpental beberapa meter jauhnya.
Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!