“Kurang ajar! Jadi, tua bangka itu justru menikahkan putrinya dengan orang lain!” pekik Morgan ketika mendengar laporan dari anak buahnya.
Tangannya mencengkeram kuat gelas berisi wine mahal di kantornya. Giginya terdengar bergemeletuk dengan keras, diiringi deru napas yang yang begitu kuat.
“Bunuh orang itu sekarang juga! Jangan beri kesempatan untuk hidup. Aku tidak peduli bagaimana pun caranya. Dia harus mati!” perintah Morgan.
“Baik, Tuan. Permisi!” balas anak buahnya lalu pamit undur diri.
...\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=...
Sebuah mobil van parkir di bahu jalan, menunggu kedatangan Joni. Anak buah Morgan yakin, jalan tersebut pasti dilalui oleh Joni.
Dan benar saja, setelah menunggu hampir seharian, akhirnya yang ditunggu datang juga. Tepat saat Joni berdiri di tepi jalan bermaksud menghentikan taksi, mobil van tersebut melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi. Menghantam tubuh Joni hingga terpental beberapa meter.
Tentu saja mobil itu langsung pergi sejauh-jauhnya. Bahkan di tengah jalan, mereka berganti mobil dan mendorong mobil van itu ke jurang agar jejaknya pun menghilang.
...\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=...
Tidak ada yang berani menyentuh Joni yang tidak sadarkan diri. Pria itu tergeletak bersimbah darah. Orang-orang berkerumun hingga mobil ambulance datang.
Tim medis segera memberikan pertolongan pertama. Akan tetapi mereka tidak menemukan denyut nadi dan detak jantung Joni.
“Sudah meninggal,” ucap salah satunya.
Mereka tetap membawa ke rumah sakit untuk identifikasi. Kemudian segera menghubungi pihak keluarga, mencari informasi dari ponsel milik Joni.
Frisha yang tengah duduk seorang diri di kursi roda, sembari meneguk minuman, terkejut ketika ponselnya bergetar. Keningnya mengernyit, ketika melihat deretan nomor tak dikenal. Sempat membiarkannya hingga masuk panggilan ketiga, vibra ponselnya masih terus menyala. Gadis itu pun mengangkatnya. “Halo?” sapa gadis itu bernada malas.
“Maaf, apa benar ini dengan putri Bapak Joni Gunardi?” sahut suara yang tidak dikenali Frisha.
“I ... iya, ini siapa?” Frisha bertanya balik.
“Kami dari pihak rumah sakit mengabarkan bahwa ayah Anda mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Sekarang ada di RS Sejahtera, ditunggu kehadirannya,” jawab perawat yang menghubunginya.
DEG!
Ponsel dan gelas di tangannya terjatuh hingga menarik atensi semua orang yang masih di sana. Pandangan Frisha kosong, tubuhnya membeku seketika.
“Frisha, ada apa?” Khansa segera menghampiri.
“Ayah ....” Tenggorokan Frisha seolah tercekat, ia kesulitan untuk berbicara.
“Iya, ayah kenapa?” tanya Khansa lagi.
“Kecelakaan, sekarang di RS Sejahtera,” sahut Frisha dengan suara bergetar.
Keluarga Sebastian segera berbondong-bondong menuju rumah sakit. Frisha bahkan masih mengenakan gaun pengantin. Xavier mendorong kursi roda Frisha dengan malas.
...\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=\=...
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju kamar mayat. Salah seorang dokter membuka selimut yang menutup seluruh tubuh Joni.
Khansa histeris, karena melihat besannya itu meninggal dalam kondisi mengenaskan. Leon langsung memeluknya dan mencoba menenangkan.
Xavier menaikkan sebelah alisnya, karena melihat Frisha yang justru bergeming tanpa ekspresi apa pun. Terus menatap mayat ayahnya tanpa berkedip.
“Segera kita urus pemakamannya!” ucap Leon.
...\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=...
Senja sudah hampir menghilang, langit mulai menggelap, lampu-lampu jalan dan di sekitar makam mulai berpendar menemani malam. Semua proses pemakaman diurus oleh Leon.
Frisha masih saja bergeming di atas pusara sang ayah. Tidak bersuara apa pun sejak dari rumah sakit tadi. Hal itu membuat Xavier keheranan. Akan tetapi dia sama sekali tidak peduli.
“Nak, sudah malam. Kita pulang ya,” ajak Khansa menangkup kedua bahu Frisha. Gadis itu hanya mengangguk.
Khansa menatap Xavier, mengangguk agar putranya membawa gadis itu kembali. Xavier sendiri mengatupkan bibir sedari tadi. Tak ada usaha menghibur sang istri sama sekali. Mereka segera kembali ke Villa Anggrek.
...\=\=\=\=\=°°°\=\=\=\=\=...
Xavier turun dari mobil ketika sudah berhenti di pelataran kediamannya. Kemudian beralih ke sebelah untuk mengangkat tubuh sang istri dan meletakkannya di atas kursi roda.
Hari itu, entah sudah berapa kali mereka berada dalam posisi intim seperti itu. Akan tetapi keduanya saling membuang muka. Keduanya sama-sama enggan menatap pasangan masing-masing.
“Xavier, tinggalkan Frisha di kamar ya. Mommy mau bicara empat mata dengannya,” ucap Khansa menepuk bahu putranya.
“Iya, Mom,” sahut Xavier singkat.
Pengantin baru itu menempati kamar bawah. Agar tidak kesulitan membawa Frisha keluar masuk. Xavier langsung meninggalkan istrinya begitu saja, meski penasaran karena tidak ada air mata yang keluar dari gadis itu.
Khansa segera melenggang masuk dan menghampiri Frisha. Ia duduk di tepi ranjang, tepat di depan Frisha. Perempuan paruh baya itu meremas jemari Frisha.
Frisha menoleh, ia menatap senyum tulus ibu mertuanya itu. Sebisa mungkin, Frisha membalas senyuman itu walaupun susah. Dadanya sesak sekali.
“Aku belum melihatmu menangis sejak tadi. Menangislah, jangan ditahan,” ucap Khansa perlahan.
Dan tanpa berucap apa pun, tubuh gadis itu bergetar hebat. Air matanya langsung menyembur menganak sungai. Seperti tanggul yang bedah, isakannya pun terdengar memilukan.
“Keluarkan semua kesedihanmu. Jangan ditumpuk di sini,” lanjut Khansa menyentuh dada Frisha.
Frisha tak tahan lagi, dia menangis sejadi-jadinya. Ia menyesal karena sempat mendiamkan ayahnya di detik-detik terakhir kebersamaannya.
“Ternyata tadi ciuman terakhir ayah. Dan di saat terakhirnya aku justru mendiamkannya, Mom! Aku menyesal!” seru Frisha dalam deraian air mata.
Khansa langsung berdiri, memeluk erat gadis itu. Mengusap punggungnya secara teratur. Membiarkan Frisha meluapkan kesedihannya.
“Ayah memang bukan ayah yang baik. Dia sering mabuk-mabukan, sering bermain judi, tetapi selalu berusaha membahagiakan aku, Mom. Ayah juga berusaha menjadi ibu sekaligus ayah untukku! Setidaknya dia sudah berusaha. Ayah satu-satunya yang aku miliki di dunia ini. Tapi apa yang aku lakukan? Aku menyesal, Mom!” erangan memilukan gadis itu mampu mengundang kesedihan orang-orang yang mendengarnya.
Khansa turut menitikkan air mata. Memeluk erat tubuh ramping Frisha yang bergetar hebat. Memberikan ketenangan untuk menantunya itu.
Beberapa waktu berlalu, dua perempuan beda usia itu masih saling berpelukan. Khansa membelai rambut panjang Frisha dengan lembut. Gadis itu sudah lebih tenang, meskipun sesekali isakannya masih terdengar.
“Sudah nangisnya?” tanya Khansa meregangkan pelukannya, duduk sembari menggenggam jemari Frisha.
Frisha mengangguk, menyeka sisa-sisa air mata yang membasahi kedua pipinya. Ia menunduk, tidak berani menatap Khansa. Malu sekaligus sungkan.
“Lihat mommy!” titah perempuan itu mengangkat dagu Frisha, hingga mereka saling bertatapan. “Kamu tidak sendiri. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kamu masih punya kami. Jadi, jangan pernah merasa sendiri lagi ya,” lanjut wanita itu dengan lembut.
“Terima kasih, Mom.” Frisha sungguh terharu, ia mengangguk dan lagi-lagi air matanya berjatuhan tidak bisa dikendalikan. Awalnya dia tidak peduli dengan keluarga ini, yang terpenting bisa terbebas dari Morgan.
Akan tetapi kehangatan dan kasih sayang keluarga sang suami, terutama ibu mertuanya itu sungguh seperti mendapat durian runtuh. Mereka sama sekali tidak memandangnya rendah. Tetap memperlakukannya dengan baik.
“Istirahat ya. Mommy panggil Xavier dulu biar membantumu,” tukas Khansa beranjak berdiri, menepuk puncak kepala Frisha.
Gadis itu tersenyum sembari mengangguk. Ia menatap punggung Khansa hingga menghilang di balik pintu.
Tak berapa lama, pintu kembali terbuka. Senyum yang terulas dari bibir Frisha memudar, ketika melihat kedatangan Xavier yang menampakkan ekspresi dingin dan penuh kebencian.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
sedihnya,baca pun jatuh air mata
2024-09-14
0
Yunerty Blessa
Frisha terkejut, seperti nya tidak dapat menerima takdir yang sulit dia terima
2024-09-14
0
Yunerty Blessa
pasti lah,kau itu terlalu obsesi untuk memiliki Frisha 😏
2024-09-14
0