Laila POV
"Oh, ternyata kalian sudah selesai shalat," ucap Mas Aldo.
Mendengar ucapan Mas Aldo, kenangan 10 tahun lalu buyar begitu saja. Semenjak diriku selalu melawan Mas Aldo, dari situlah aku menjadi seorang penyakitan.
Berbagai penyakit selalu bersarang pada tubuhku. Entah sudah berapa pengobatan yang aku lakukan demi menempuh kesembuhan. Tak jarang, tempat jauh pun aku tempuh demi ikhtiar agar aku bisa sembuh.
Namun hasilnya nihil. Saat sudah sembuh pun pasti tak lama aku akan kembali sakit dengan rentan waktu yang cukup lama. Sebenarnya aku sudah lelah menghadapi semua ini. Dan entahlah, alasan apa yang mendasari Mas Aldo masih mempertahankan pernikahan ini. Berkali aku menyatakan keinginan untuk berpisah. Berkali juga aku harus merasakan pil pahit akibat penolakan.
"Ayo Bun kita kembali ke kamar," kini, si sulung mulai membantuku bangkit untuk kembali ke kamar.
Tanpa memperdulikan ayahnya yang berdiri di sampingku, Alan mendorong kembali kursi roda ku. Aku tau, kebencian Alan terhadap Ayah nya begitu dalam. Luka dalam hatinya tak dapat di sembuhkan dengan cepat.
"Lan, jangan terlalu keras pada Ayah," ucapku lirih.
"Ayah? Siapa Ayah? Aku sudah tak memiliki Ayah Bu. Ayahku sudah lama mati," ucap Alan penuh ketegasan.
Astagfirullah, sebenci itukah Alan pada Mas Aldo? Tapi aku tak bisa menyalahkannya. Bagaimana pun, Alan menjadi seperti ini karena ulah Mas Aldo sendiri.
📍
Mahgrib tiba, seperti biasa. Kami bertiga bersiap untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Sedangkan Mas Aldo, akan melaksanakan shalat sendiri di dalam kamar. Bukan ia tak mau bergabung dengan kami, namun Alan lah yang tak mau Ayahnya ikut bergabung. Apalagi menjadi Imam untuk shalat kami.
"Mas, Mas," terdengar teriakan dari arah ruang tamu.
Kami yang baru saja selesai shalat bergegas pergi ke sumber suara. Ternyata Sukma yang datang kesini.
"Heh tante girang. Ini rumah bukan hutan. Masuk rumah orang itu ucap salam, bukan teriak-teriak kaya tarzan!" hardik Alan pada Sukma.
"Heh anak bau kencur, jaga mulut kamu itu ya. Didikan Bunda kamu itu bener-bener gak ada yang Bagus," sungut Sukma.
"Heh wanita mur*h*n. Jangan pernah menghina Bunda ku. Bundaku adalah wanita terhormat. Beda dengan dirimu, kau wanita murahan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang kau inginkan. Jangan terlalu percaya diri. Karena aku tau apa yanh telah kau lakukan!" Alan kembali menghardik Sukma.
"Dasar anak kurang ajar," Sukma maju menghampiri Alan. Aku tau, dia akan menampar Alan. Namun belum sempat tangan busuk itu menyentuh anakku. Mas Aldo terlihat keluar dari kamar.
"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut hah?" teriak Mas Aldo.
"Mas, lihat anak kamu tuh. Dia kurang ajar sekali sama aku," adu Sukma pada Mas Aldo.
"Apa hah? Kau mau membela perempuan itu? Silahkan. Bagiku, kau dan perempuan itu sama-sama sampah!" Alan menatap tajam pada Mas Aldo.
"Tuh kan Mas. Lihatlah kelakuan anak mu itu, dia...,"
"SUDAH DIAM!!!" belum sempat Sukma meneruskan kalimatnya, Mas Aldo sudah berucap lantang terlebih dahulu.
"Aku sudah lelah dengan pertengkaran seperti ini. Dan kau Sukma, untuk apa kau datang kemari?" sambung Mas Aldo.
"Aku nunggu kamu dari tadi di rumah Mas. Tapi kamu kenapa gak balik-balik sih. Ayo sekarang kita pulang," ucap Sukma sambil menarik tangan Mas Aldo.
"Baguslah. Bawa lelaki itu pergi dari sini. Dan kalau bisa, pasung sekalian agar dia tak datang lagi pada kami. Meski pun dia belum menjatuhkan talak pada Bundaku. Tapo bagiku lelaki itu sudah lama mati!" teriak Alan.
Dapat kulihat dada Alan naik turun. Sudah ku pastikan dia sedang menahan amarahnya. Sedangkan Clara, ia lebih memilih diam dan tak mau menanggapi keributan ini.
Setelah Sukma dan Mas Aldo pergi. Alan menutup pintu dengan sangat keras. Ku lihat air matanya kini sudah lolos dari matanya. Aku tau, bagaimana pun tak mudah menjadi Alan. Keadaan telah membuat dia dewasa sebelum waktunya.
Sebenci apa pun Alan pada Mas Aldo. Aku tau, di dalam lubuk hati Alan yang terdalam, ia masih begitu menyanyangi ayahnya.
Mas Aldo, lelaki yang sudah menikahi ku hampir 25 tahun lamanya. Kini memang sedang dalam pengaruh ilmu sihir yang sengaja di lakukan oleh Sukma. Dari mana aku tau jika Mas Aldo terkena pelet?
Tentu saja dari Kiyai, dimana dulu aku belajar ilmu agama padanya. Namanya Kiyai Ahmad. Dulu, ketika aku pertama kali sakit dan tak kunjung sembuh, Kiyai Ahmad lah yang membantu meruqyah ku. Alhamdulillah berkat bantuan beliau aku bisa sembuh.
Namun lagi-lagi itu tak bertahan lama. Setiap aku kembali sakit, Kiyai Ahmad lah yang selalu membantuku. Namun sayang, lima tahun lalu, Kiyai Ahmad meninggal karena sakit yang ia derita.
Sebelum meninggal, Kiyai Ahmad memberitahukan semuanya padaku. Jika Sukma ternyata memakai sihir untuk memikat Mas Aldo. Namun ketika aku bertanya padanya, apakah sakit ku juga merupakan ulah Sukma, Kiyai Ahmad hanya menjawab, jika suatu saat nanti aku akan mengetahuinya. Lambat laun, Allah akan tunjukkan siapa orang tersebut.
Awalnya aku juga heran, bagaimana bisa Mas Aldo terkena ilmu hitam seperti itu. Padahal Mas Aldo tak pernah meninggalkan shalat sama sekali. Ia pun rajin shalat berjamaah di masjid bersama bapak-bapak yang lain.
Ternyata, dari Kiyai Ahmad aku tau. Orang yang rajin ibadah juga ternyata masih bisa terkena ilmu hitam, itu dikarenakan karena shalatnya semata-mata hanya untuk memenuhi kewajiban saja. Bukan karena Allah SWT.
Berkali juga Kiyai Ahmad berusaha untuk membantuku untuk bisa melepaskan Mas Aldo dari belenggu Sukma. Namun hasilnya sia-sia saja. Karena pengaruh pelet yang dikirim Sukma begitu kuat.
"Bun, apa sebaiknya kita pergi jauh saja dari sini," ucap Alan lirih.
"Mau pergi kemana Lan?"
"Kemana saja Bu. Asal kita pergi jauh dari sini. Alan sudah tidak kuat dengan semua ini Bun,"
Huufftt
Ku hembuskan nafas berat.
"Alan, percuma saja kita pergi jauh dari sini. Apa Alan lupa, Kiyai Ahmad pernah bilang kan. Jika kemana pun kita pergi, percuma saja. Karena orang itu, akan terus mengirimkan ilmu hitamnya pada Bunda, meski pun Bunda pergi ke ujung dunia sekali pun," ujarku pada Alan.
"Alan tau, jika saja boleh memilih, lebih baik orang itu langsung mengahabisi nyawa Bunda saja. Agar Bunda tak selalu merasakan sakit. Kalian juga tidak akan terus di repotkan oleh Bunda," paparku.
"Astagfirullah, bunda jangan bilang seperti itu. Kalau pun yang harusnya mati, itu si lelaki brengsek dan wanita murahan itu Bun," ucap Alan.
"Astagfirullah, kamu jangan bilang seperti itu Lan. Gak baik. Berkatalah yang bagus-bagus nak," ucapku mengingatkan.
"Untuk orang seperti mereka, tak perlu lah kita berkata yang bagus-bagus Bun,"
Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar mendengar jawaban Alan. Aku tau, tak mudah baginya menerima semua ini. Kepahitan hidup yang ia rasakan dari kecil, malah menumbuhkan sosok Alan yang pendendam kepada ayah kandungnya sendiri.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments