Usai shalat, ku paksakan diri untuk membuat sarapan. Hanya menu sederhana saja, yaitu nasi goreng kampung. Aku tak berselera untuk memasak yang lainnya. Dan nasi goreng ini pun entah enak atau tidak. Karena saat aku cicipi rasanya seperti hambar.
Rasanya aku sangat malas sekali melakukan kegiatan hari ini. Bayangan kejadian semalam masih membekas di ingatanku.
Lihatlah Mas, bahkan sampai sekarang pun kau tak pulang dan berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sebegitu tak berharganya kah sekarang aku untukmu mas?
"Bun, Abang sudah selesai sarapan. Abang pamit sekolah dulu ya" ucap Alan sambil berdiri dari kursi.
Akun hanya mengangguk, setelah itu Alan mencium tanganku takzim. Sedangkan Clara akan berangkat sekolah sebentar lagi. Di umurnya yang memasuki 5 tahun, kami sepakat memasukkannya ke sekolah PAUD.
🌼🌼🌼
Usai mengantar Clara ke sekolah, aku melihat kakak iparku sudah berada diteras rumah bersama Ibu mertua. Melihat mereka datang kesini, membuat hatiku kembali sakit berkali-kali lipat. Tak dapat ku pungkiri, sakit hati ini terasa menusuk hingga tulang sumsum ku.
"Nduk, cah Ayu" ucap Ibu ketika melihatku datang.
Dengan sigap, Ibu dan juga Mbak Wening langsung memeluk tubuhku dengan erat. Kami bertiga menangis tergugu bersama. Berkali Ibu mertua membelai rambutku yang tertutup hijab.
"Ibu, sakit Bu" ucapku lirih.
"Kita masuk dulu ya La, biar enak ngobrolnya" ucap Mbak Ning padaku.
Akhirnya, kami bertiga pun masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang tamu, isak tangis aku dan Ibu masih terdengar.
"La, maafkan Ibu. Maaf Ibu sudah gagal mendidik anak lelaki Ibu" kini, Ibu kembali menangis sambil berbicara padaku.
"Ibu tidak salah Bu, mungkin Mas Aldo belum merasa puas dengan bakti ku selama ini" jawabku terisak.
"Kau tak salah La, memang Aldo saja yang kurang ajar! Sudah memiliki istri cantik dan shalihah, ia malah mencari serpihan kaca diluaran sana" ucap Mbak Wening dengan emosi.
Saat akan menjawab ucapan Mbak Ning, tiba-tiba saja sebuah salam terdengar di rumahku.
"Assalamualaikum"
Deg!
Mendengar suara itu, suara lelaki yang telah menghancurkan hidupku. Ya, itu adalah suara Mas Aldo. Mendengar salam diucapkan, akhirnya kami bertiga menoleh ke ambang pintu yang sengaja tak ditutup.
Nyesss
Hatiku kembali sakit saat melihat Mas Aldo datang dengan menggandeng tangan Sukma. Sekarang, malah tak nampak raut penyesalan dari mereka berdua. Berbeda sekali dengan Mas Aldo tadi malam, yang kulihat masih mengguratkan rasa penyesalan.
"Heh adik tak tahu diri. Untuk apa kau datang kesini hah?" hardik Mbak Ning pada Mas Aldo.
"Apaan sih Mbak, ini tuh masih rumahku. Mbak gak berhak ya melarang aku pulang kesini" jawab Mas Aldo.
"Dasar bocah edan! Punya otak kok gak dipake" desis Mbak Ning.
"Le, kenapa kamu jadi seperti ini le? Ibu itu malu! Malu karena telah gagal mendidik kamu sebagai lelaki" kini Ibu mertua ikut berbicara.
"Apaan sih Bu. Gak usah lebay deh. Lagian laki-laki itu boleh beristri lebih dari satu. Mending Ibu gak usah ikut campur masalah ini, lebih baik Ibu pikirkan saja hidup Ibu itu. Sudah tua, bau tanah"
Plak!
Tanganku terasa panas, tamparan di pipi Mas aldo membuat semuanya terkejut. Mungkin, mereka tak menyangka bahwa aku akan seberani ini menampar suamiku sendiri.
"Cukup Mas! Jaga ucapanmu itu, bagaimana pun dia adalah Ibu. Ibu yang seharusnya kau hormati, bukan kau katai seperti ini. Sekarang, kau benar-benar bukan Mas Aldo yang ku kenal lagi" ucapku penuh penekanan.
"Dasar istri kurang ajar!" ucap Mas Aldo dengan tangan sudah terangkat ke udara.
"Cukup Do, berani kau sentuh Laila. Tanganmu Mbak patahkan. Kau belum lupa kan jika Mbak ini jago karate?"
Dengan tatapan nyalang padaku, akhirnya Mas aldo menurunkan tangannya.
"Persetan dengan kalian semua. Dan kau Laila, ingat sekarang Sukma sudah menjadi istriku. Suka tidak suka sekarang ku bawakan madu untukmu, dan kau awas saja jika berani menyentuh Sukma dan menyakitinya. Ku pastikan hidupmu akan hancur" ucap Mas Aldo lagi.
Duaaaar!
Bagai disambar petir, kata-kata Mas Aldo begitu menyakitkan untukku. Seketika aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahku seakan kelu, tak bisa mengolah kata, sedangkan di dalam otakku ingin sekali aku memaki mereka berdua.
"Cih, sudah punya istri cantik dan shalihah. Malah milih pecahan kaca di pinggir jalan" ucap Mbak Ning sambil melirik ke arah Sukma.
"Heh Mbak jaga ya mulut kamu. Sekarang aku ini juga istri Mas Aldo" bentak Sukma pada Mbak Ning.
"Kau lihat Aldo, belum apa-apa dia sudah berani membentak Mbak. Perempuan macam apa dia ini"
"Cukup Mbak cukup! Jangan kau hina lagi Sukma. Yang dikatakan Sukma itu benar. Sekarang Mbak juga harus menghargai Sukma seperti Laila"
"Najis!" jawab Mbak Ning lagi.
Saat akan menjawab ucapan Mbak Ning, Ibu mertua memberikan isyarat pada Mas Aldo untuk diam.
"Cukup Aldo. Dengarkan Ibu baik-baik, sampai kapan pun Ibu tidak Ridho dan tidak ikhlas kau menyakiti Laila seperti ini. Dan asal kau tau, bagi Ibu menantu Ibu hanya Laila saja, tak ada yang lain. Kau paham?"
"Terserah! Aku tak peduli. Sekarang lebih baik Ibu dan Mbak Ning pergi saja dari sini. Aku ingin istirahat bersama Sukma. Dan kau Laila, sekali lagi ku tegaskan, jangan berani menyentuh Sukma walau seujung kuku pun" ucap Mas Aldo lagi penuh penekanan.
"Yang sabar ya kakak madu, bye. Kami mau istirahat dulu" ucap Sukma padaku sebelum ia berlalu bersama Mas Aldo.
🌼🌼🌼
Sore hari, Ibu dan Mbak Ning pamit pulang kepadaku. Clara tadi masih bisa bertemu denga nenek dan budenya itu. Sedangkan Alan tak sempat bertemu mereka karena kegiatan sekolah dan ekskul yang dilaksanakan sampai sore hari.
Sedangkan Mas Aldo dan juga Sukma, masih belum menampakkan lagi Batang hidung mereka setelah pertengkaran pagi tadi.
Ketika waktu hampir memasuki waktu maghrib, Alan baru sampai dirumah. Setelah membersihkan diri, Alan ikut bergabung bersamaku dan juga Clara di dapur. Alan memang selalu bisa aku andalkan untuk menjaga adiknya itu, jadi aku tak khawatir menitipkan Clara padanya.
Untuk makan malam, aku hanya memasak sedikit saja. Hanya untuk kami bertiga, untuk Sukma dan juga Mas Aldo? Ah terserah mereka saja. Lagian sekarang Mas Aldo sudah punya istri baru, jadi Sukma juga harus bisa melayani Mas Aldo. Bukan jagonya melayani diatas ranjang saja.
"Hi hi hi, Mas ih nakal" terdengar suara Sukma yang begitu manja.
Seketika hatiku menjadi getir melihat ke arah Alan. Anak itu, kini sudah diam dan mengarahkan pandangannya ke arah ruang keluarga. Ya Allah, apa yang harus aku katakan pada Alan tentang semua ini.
Seketika keringat membasahi dahiku, sungguh aku belum siap untuk menjelaskan pada Alan apa yang sebenarnya sedang terjadi sekarang.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments