SIHIR MADUKU
"Bun, makan dulu ya. Clara suapin," ucap si bungsu dengan menyodorkan satu sendok penuh bubur ayam.
Ku buka mulut sedikit untuk memasukkan bubur itu pada mulutku. Hambar, rasanya benar-benar hambar. Ingin rasanya ku muntahkan lagi bubur ini, namun Clara pasti akan sangat sedih.
"Bun, makannya harus banyak ya. Clara pengen Bunda cepet sembuh. Rumah ini rasanya seperti kuburan saja, semenjak Bunda sakit rumah ini bertambah sepi. Aku, a-aku rindu suasa rumah yang dulu Bun," ucap Clara sambil terisak.
Ku ulurkan tanganku untuk menyentuh pipinya. Ya Allah, sakit rasanya melihat anakku menangis seperti itu. Andai saja aku tak sakit seperti ini, ingin ku rengkuh tubuhnya kedalam dekapan ku. Anak seusianya yang seharusnya dihabiskan untuk bermain bersama teman-temannya sepulanh sekolah, malah ia habiskan untuk mengurus diriku yang tak berguna ini.
"Clara sayang, maafkan Bunda ya. Bunda sebagai orang tua belum mampu membahagiakan mu. Kamu anak yang baik, cantik. Doakan Bunda ya, agar Bunda cepat sembuh," ucapku lirih.
"Clara sudah bahagia memiliki orang tua seperti Bunda. Bagi Clara, Bunda adalah segalanya. Clara hanya ingin Bunda cepat sembuh. Di dalam setiap sujud Clara selalu melangitkan doa untuk kesembuhan Bunda."
Dengan tenaga yang tak seberapa, ku peluk tubuh Clara dengan erat. Pada akhirnya, air mata yang tadi ku tahan akhirnya lolos juga keluar dari mataku. Aku dan Clara pun tergugu bersama.
Ya Allah, aku mohon. Jagalah kedua anakku, biarkan aku saja yang menanggung sakit atas semua ini. Jangan biarkan anak-anakku merasakan sakit yang aku rasakan ini. Ku mohon, berikanlah kesembuhan padaku Ya Allah, agar aku bisa terus membersamai anak-anakku. Do'aku dalam hati.
Ku lepas pelukan Clara ditubuhku, menghapus sisa-sisa air mata yang masih terlihat di pipinya yang mulai tirus. Ku beri kekuatan dan pengertian pada Clara, meski sebenarnya hatiku juga begitu rapuh.
Clara mulai kembali menyuapkan bubur ayam di dalam mamgkuk. Setelah sisa sedikit, ku minta Clara menyudahinya. Kemudian dia memberikan beberapa obat padaku, dan tak berselang lama aku pun tertidur dengan pulas efek dari meminum obat.
🌼🌼🌼
"Aku benci ayah!"
"Dasar anak kurang ajar! Begini kah didikan Bunda mu hah?"
"Jangan bawa-bawa Bunda Yah, disini kau lah yang salah. Aku malu memiliki Ayah seperti mu!"
Teriakkan dari luar membuat tidurku terganggu. Aku yakin, itu adalah suara Mas Aldo dan juga anak-anakku.
"Dasar anak-anak tak tahu diuntung kalian itu. Ku biayai kalian bukannya hormat padaku, malah kalian durhaka padaku," teriak Mas Aldo.
Karena mendengar suara teriakkan itu, aku takut malah terjadi sesuatu yang tak di inginkan terjadi kepada kedua anakku. Dengan tertatih, ku paksakan diriku beranjak dari kamar.
"Kau yang kurang! Kau yang durhaka! Kau yang telah mendzalimi kami Yah. Aku yakin, cepat atau lambat kau akan mendapatkan karma," teriak Alan anak pertamaku.
Saat membuka pintu, ku lihat Mas Aldo sudah mengangkat tangannya hendak menampar Alan.
"Mas, sudah cukup Mas," ucapku dengan berjalan menuju ke arah Radit meski dengan tertatih.
"Heh Ratih! Lihatlah kelakuan anak-anakmu ini. Mereka begitu kurang ajar padaku. Ajarkan pada anak-anakmu ini tentang tata krama! Dasar wanita penyakitan." teriak Mas Aldo padaku.
Deg!
Mendengar kata-kata Mas Aldo, hatiku kembali sakit. Meski kata-kata itu telah sering aku dengar keluar dari mulutnya, tetap saja rasanya sakit sekali.
"Cukup Yah! Jangan pernah hina Bunda lagi. Atau kau akan merasakan akibatnya! Tak peduli kau adalah ayahku, jika sudah berani menyakiti Bundaku, ku habisi kau," kini, Alan yang berteriak dihadapan Mas Aldo.
Sedangkan Clara, hanya bisa terus menangis di dekat Abangnya itu. Ku elus tangan Claraku, rasanya dingin sekali dan bergetar tangan Clara. Aku yakin, sekarang Clara dalam keadaan takut karena melihat pertengkaran Ayah dan juga Abangnya.
"Cih, sok jagoan! Sudahlah, aku pulang kesini ingin istirahat. Bukan ingin berdebat dengan manusia-manusia macam kalian!" ucap Mas Aldo sambil berlalu meninggalkan kami menunu kamar tamu.
Sedangkan Alan, ku lihat ia sudah ingin pergi menyusul Mas Aldo. Namun, segera ku tahan tangannya agar tak mengganggu Ayahnya tersebut.
"Sudah Bang sudah. Kendalikan dirimu, istigfar," ucapku pada Alan.
"Astagfirullah," terdengar Alan mengucap Istigfar dengan lirih.
"Bunda kenapa keluar kamar? Bunda harus banyak istiraha. Ayo, Alan antar ke kamar,"
"Tidak Bang, Bunda ingin bicara sama kalian. Bantu Bunda saja duduk di sofa," jawabku kepada Alan.
Alan Dan Clara pun memapah tubuhku menuju sofa ruang tamu. Clara Dan Alan duduk di sebelahku. Ku ciumi pipi kedua anakku itu.
"Abang, lain kali tidak boleh seperti itu ya pada Ayah. Bagaimana pun Ayah adalah orang tua Abang," ucapku lembut pada Alan.
"Tapi Bun, Alan gak suka kalau Ayah terus seperti itu pada Bunda. Sumpah Demi Allah, Alan gak rela Dan gak ridho Ayah selalu dzalim pada kita Bun,"
"Iya Bunda tau, tapi Bunda mohon. Jangan kotori hati Abang dengan perasaan dendam ini, kita harusnya mendoakan Yang terbaik buat Ayah,"
"Alan juga setiap hari selalu mendoakan ayah, bukannya berubah tapi makin hari kelakuan Ayah semakin menjadi saja Bun," ucap Alan lagi.
"Clara benci Ayah Bun," kini giliran Clara Yang bersuara.
"Hus, jelek. Gak boleh gitu, sudah jangan terlalu memupuk rasa benci di hati kalian. Kita pasrahkan saja semuanya pada Allah," ucapku menenangkan Clara.
"Andai saja, wanita iblis itu tak datang. Mungkin keluarga kita tidak akan porak poranda seperti ini Bun," ucap Alan lirih.
Mendengar ucapan Alan, seketika aku merasa seperti mati kutu. Tak dapat ku salahkan ucapan Alan ini, apa Yang diucapkan Alan memang benar adanya. Andai saja, dia tak datang. Mungkin rumah tangga Dan keluargaku tak akan hancur seperti ini.
Andai saja wanita ular itu tak masuk dalam istana kami, mungkin keluarga ku masih menjadi keluarga yang rukun dan harmonis. Mungkin, jika wanita itu tak menjadi orang ketiga, saat ini pasti anak-anakku masih merasakan kasih sayang dan Cinta yang tulus dari sang Ayah.
Tes
Tes
Air mata mengalir mengiringi sakit yang aku rasakan saat ini. Aku kalah, aku lemah, aku tak berdaya untuk mempertahankan apa yang aku miliki. Aku harus merelakan kebahagian ku diambil alih oleh orang lain. Aku harus mengorbankan perasaan anak-anakku. Ya Allah, betapa lemah dan bodohnha hamba tak bisa mempertahankan dan memberi kebahagian pada anak-anakku. Jika saja, dulu aki sedikit lebih tegas, mungkin semuanya tak akan seperti ini.
Allah, Allah...
Betapa sakit hati ini, betapa nikmat sekali unjian yang kau berikan kepada wanita lemah ini. Ingin rasanya aku menyerah saja akan takdir mu ini ya Allah, pergi dengan membawa rasa sakit ini.
Tapi, bagaimana dengan anak-anakku? Jika aku pergi, tak ada lagi yang akan menyayangi mereka, melindungi mereka dan merawat mereka.
Ya Allah, ku mohon kuatkanlah diriku dalam menjalani takdir mu ini. Aku yakin, akan ada hikmah dari semua ini, akan ada pelangi setelah badai datang. Ya Allah, aku hanya meminta kesembuhan untuk diri ini. Agar aku bisa merebut hak anak-anakku yang telah diambil oleh wanita iblis itu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments