"Uuhhh ...." Perlahan Chelsea membuka mata, lalu mengerjap beberapa kali hingga pandangannya yang semula kabur menjadi jelas. Dia merasa bingung lantaran melihat langit-langit rumah yang asing.
"Di mana aku?" gumamnya dengan suara lemah. Kemudian dia mencoba untuk bangkit, serta menyingkirkan kain basah yang masih menempel di dahinya.
Saat Chelsea melihat sekeliling, dia heran karena berada di sebuah kamar yang sama sekali tidak tampak seperti ruangan rumah sakit.
TAP TAP TAP ...
Terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Dan muncullah seorang gadis remaja yang tampak membawa sebuah wadah berisi air. "Eh?! Kakak sudah bangun!"
Gadis itu melangkah masuk dan meletakkan wadah yang dia bawa di atas nakas. Chelsea yang melihat tingkah gadis itu langsung menarik kesimpulan jika dirinya telah ditolong oleh gadis tersebut. "Terima kasih," ucap Chelsea dengan senyum tipis.
"Ah, emm ... sama-sama. Tadinya aku mau mengganti air untuk mengompres Kakak," jawab gadis itu canggung sembari menggaruk tengkuknya. Sejurus kemudian dia kembali berkata, "Bagaimana perasaanmu, Kak?"
"Sudah lebih baik," jawab Chelsea dengan suara serak.
"M-minumlah dulu, Kak!" Gadis itu kelabakan saat mengambilkan segelas air putih yang sebelumnya telah ia siapkan di sana.
Di satu sisi setelah Chelsea meneguk air itu sampai habis, dia kembali berkata, "Bolehkah aku tahu siapa namamu? Agar aku bisa berterima kasih dengan benar."
"Namaku Liana, usiaku 15 tahun."
"Ah, kau masih begitu muda. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, pasti kau kesusahan saat merawatku."
"T-tidak kok, sebenarnya kakakku yang menolongmu. Aku cuma membantu sebisaku," ucap Liana dengan senyum canggung, dia tidak biasa menerima pujian dari seseorang.
"Ah, begitu ya. Namaku Mayra, dan tolong sampaikan rasa terima kasihku pada kakakmu. Aku harus pergi sekarang." Saat Chelsea hendak beranjak pergi seketika tangannya ditahan oleh Liana.
"Tunggu! Kenapa Kak Mayra buru-buru pergi? Kakak masih demam."
"Aku harus mencari putraku, dia menghilang."
"H-hilang?! Apa Kak Mayra sudah lapor pada polisi?" tanya Liana yang ikut merasa khawatir.
"Aku punya alasan sendiri untuk tidak melapor, intinya aku harus mencari putraku!" Chelsea bersikeras dan melepaskan tangannya dari Liana.
"Aku paham mengapa Kak Mayra khawatir, tapi memangnya Kakak mau mulai mencari dari mana? Apa Kakak sudah punya rencana? Setidaknya makanlah dulu untuk mengisi tenaga Kakak!" pinta Liana.
Chelsea membisu, dia tidak bisa membantah perkataan Liana jika dirinya memang tidak punya rencana. "Baiklah, maaf merepotkanmu sekali lagi."
Chelsea yang keras kepala pun setuju untuk menerima lagi kebaikan dari seseorang. Saat Liana mengajak Chelsea ke ruang makan, di meja makan sudah terdapat bermacam-macam hidangan yang tampak lezat.
"Oh, sudah sadar?" tanya seorang pemuda yang tiba-tiba muncul dari arah dapur sambil membawa secangkir kopi di tangannya.
"Iya, terima kasih sudah menolongku," ucap Chelsea dengan nada ramah.
"...." Pemuda itu hanya diam, lantas ikut duduk di sebelah adiknya dan menyeruput kopinya.
"Kakak ... bersikap ramahlah sedikit, jika Kakak begini terus bagaimana mau dapat pacar?" ucap Liana dengan nada pelan, namun dapat dipastikan jika Chelsea mendengarnya.
"Diam dan makanlah!" bentak pemuda itu.
"Huh!" Liana mendengus kesal. Kemudian kembali menatap Mayra dan berkata, "Ayo Kak Mayra, jangan sungkan-sungkan."
Mayra hanya membalas dengan senyuman. Dia mengambil nasi dan beberapa lauk yang tersaji, saat dia memakan sesuap, dia lalu berkata, "Lezat sekali, kemampuanmu hebat Liana!"
"Haha, terima kasih ... Tapi, sebenarnya kakakku yang memasak." Liana melirik ke arah kakaknya dan memasang senyum canggung.
"Ah, begitu ya. Aku tak mengira jika tuan penyelamat pandai memasak."
"Leon, itu namaku. Jangan panggil aku tuan penyelamat!" ucap pemuda itu penuh penekanan.
"Baiklah, terima kasih atas semua bantuanmu Leon. Aku berhutang budi padamu. Dan emm ..." Mendadak Chelsea menundukkan kepala, lalu dengan tatapan ragu dia pun berkata, "Sepertinya pakaian yang aku kenakan juga milikmu, terima kasih sudah banyak membantuku."
"...." Lagi-lagi Leon hanya diam, dia sama sekali tidak berminat untuk membalas ucapan terima kasih dari Chelsea.
Chelsea yang merasa canggung pun memikirkan topik pembicaraan lain agar mencairkan suasana. "Makanan yang dimasak banyak sekali, apa ini juga dimaksudkan untuk orang tua kalian?"
"Ah ... I-itu," Liana tiba-tiba memasang ekspresi gugup. Dia tidak tahu harus bicara apa.
"Aku masak banyak agar semua dihabiskan Liana," sahut Leon yang seketika mendapatkan balasan cubitan dari adiknya.
"Apa Kak Leon bermaksud membuatku jadi babi gemuk?!" tanya gadis itu dengan tampang cemberut.
"Ya, babi gemuk lebih disukai dan lebih laris terjual ketimbang babi kurus."
"Keterlaluan! Bisa-bisanya Kakak menyamakan aku dengan babi! Aku harus tetap kurus dan cantik agar orang yang aku sukai tidak lari!"
"Oh, jadi anak kecil sepertimu sudah memasuki masa puber?"
"K-kakak!" teriak Liana dengan wajah semerah tomat, dia tersipu malu lantaran tak sengaja mengatakan apa isi hatinya.
Sedangkan di sisi lain, Chelsea yang merupakan orang luar hanya memasang senyum ketika menyaksikan perdebatan adik kakak itu. Namun, perlahan senyuman itu menghilang. Tiba-tiba saja dia teringat masa lalu, saat-saat di mana dia menghabiskan waktu bersama adiknya yang sudah 6 tahun tidak bertemu, yaitu Natasha.
Terlebih lagi dia telah sadar jika pertanyaan yang dia ajukan tadi ternyata salah, sekarang dia tahu jika di rumah Leon dan Liana sama sekali tidak ada orang tua. Seakan-akan nasib kedua saudara itu adalah cerminan lain dari dirinya, yang meskipun memiliki orang tua namun kekurangan kasih sayang.
Pikiran Chelsea teringat pada keluarga yang telah lama ditinggalkan, hal itu tanpa sadar telah membuat setitik air mata terjatuh dari pelupuk mata.
"Kak Mayra kenapa menangis?!" tanya Liana yang seketika mengembalikan Chelsea dari lamunan.
"T-tidak apa-apa!" Chelsea langsung mengusap air matanya. Namun tetap saja dia tidak bisa mengelak jika telah menangis.
"Tidak bisa begini!" Tiba-tiba Liana meletakkan garpu dan sendoknya, lalu dengan cepat berpindah tempat duduk menjadi tepat di sebelah Chelsea. Dia juga menarik kedua tangan Chelsea dan menggenggamnya dengan erat.
"Kak Mayra! Aku memang tak tahu hal apa saja yang telah Kakak lewati. Tapi, setidaknya Kak Mayra bisa ceritakan padaku semua keluh kesah Kakak! Tenang saja, di sekolah pun aku juga terkenal jadi pendengar yang baik," bujuk Liana mencoba merayu Chelsea agar mau bercerita.
"...." Bibir Chelsea terasa kelu. Orang dewasa sepertinya merasa agak malu memperlihatkan sisi rapuhnya di hadapan gadis kecil seperti Liana. Namun, tidak dapat dipungkiri jika Chelsea sudah lelah. Selama 6 tahun pelarian yang telah dia habiskan, dia tak pernah menceritakan keluh kesahnya pada siapa pun. Apalagi saat ini dia seperti berada di titik terendah dalam hidup, kehilangan Luciel menjadi pukulan besar baginya.
"A-aku Lelah ..." ucap Chelsea lirih. Tampangnya saat ini terlihat menyedihkan, bahkan Leon yang semula acuh tak acuh kini juga memperhatikan dirinya.
"Aku telah melakukan segala cara demi mengubur masa laluku, dan yang tersisa dariku hanya putraku yang kini juga menghilang ... Jujur, aku ini seorang imigran ilegal, karena itu aku tidak bisa melapor pada polisi. Aku tak punya siapa-siapa yang bisa aku mintai tolong. Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa ...."
Liana hanya terperangah, masalah yang dihadapi oleh Mayra ternyata terlalu besar untuk dipikirkan oleh gadis berusia 15 tahun sepertinya. Yang bisa dia lakukan hanya mengambilkan tisu dan menunggu hingga Mayra puas menangis.
Setelah beberapa menit tangisan Chelsea berhenti, lalu memasang senyum tipis pada Liana. "Maaf telah membuatmu mendengar masalahku, dan terima kasih banyak telah mau mendengarkan."
"Tidak apa-apa, aku turut prihatin dengan masalah Kakak." Tiba-tiba saja Liana tertegun, sejurus kemudian dia menatap Leon lekat-lekat dan berkata, "Kak Leon bisa membantu Kak Mayra!"
"Hei, bicara apa kau, Liana?" tanya Leon dengan tatapan sinis.
"Aku serius, Kak Leon adalah seorang pengawal bayaran! Kak Leon bekerja untuk orang penting, jika Kak Leon mau mengenalkan Kak Mayra pada atasan, mungkin saja bisa membantu untuk mencari anak Kak Mayra yang hilang!"
"Apa itu benar?" tanya Chelsea pada Leon dengan tatapan berharap.
"Yaa ... atasanku memang orang penting, tapi aku tidak bisa mengenalkanmu padanya," jawab Leon dengan tampang datar.
"Kenapa? Kak Leon pelit sekali dimintai tolong!" cibir Liana.
"Aku bukannya pelit! Tapi pekerjaan itu tidak sesuai untuknya! Dia saja bisa pingsan cuma karena hujan, apa orang seperti itu cocok?" tanya Leon dengan tatapan merendahkan.
"Kau benar, aku memang lemah. Tapi aku pasti akan berusaha keras! Aku mohon, aku akan melakukan apa pun asalkan aku bisa mendapatkan peluang untuk menemukan putraku!" pinta Chelsea sambil menyatukan kedua tangannya, dia sangat berharap lebih dari apa pun agar Leon mempertimbangkan dirinya.
"...." Leon mengernyit. Mendadak bangkit dari kursi, mendekati Chelsea dan memegang tangannya untuk membawanya ke suatu tempat. "Ikut aku, ayo kita bicara empat mata!"
Chelsea hanya pasrah mengikuti ke mana Leon menyeretnya. Tempat yang dituju tidak lain adalah balkon, saat berada di sana Chelsea melihat ternyata matahari sudah hampir terbenam lagi, dia baru sadar jika ternyata dia pingsan cukup lama.
"Apa yang kau mau bicarakan?" tanya Chelsea tanpa basa-basi.
"Menyerahlah saja!" bentak Leon dengan tampang garang.
"Tidak akan! Aku tak akan menyerah! Aku mohon dengan sangat padamu! Aku akan menyetujui apa pun syaratmu, bahkan jika kau ingin aku berlutut pun, aku bersedia!" ucap Chelsea penuh kesungguhan.
Leon menghela napas dengan kasar. "Dengar ini baik-baik, aku memang bekerja untuk orang penting dan berkuasa. Tapi, aku bohong soal pekerjaanku pada Liana. Aku bukan pengawal bayaran, tapi aku seorang gangster!"
"G-gangster?!" tanya Chelsea seakan tidak percaya.
"Iya, gangster! Dan aku melakukan apa saja yang atasanku minta, entah itu melindungi ataupun membunuh orang sekali pun! Apa kau yakin masih ingin bergabung bersamaku?" tanya Leon dengan nada seolah menantang.
"A-aku ...." Chelsea tergagap. Dia tak tahu harus menjawab apa sekarang.
"Heh, aku izinkan kau menginap semalam lagi di rumahku! Pikirkan baik-baik, besok pagi silakan katakan apa keputusanmu!" ucap Leon sambil berjalan melewati Chelsea.
Chelsea masih berdiam diri di tempat, tentu saja dirinya saat ini di hadapkan dengan pilihan yang sulit. Bahkan ketika malam hari tiba, dia terus terjaga di kamar tamu. Memikirkan mana keputusan yang paling tepat untuk dia ambil.
Menjadi orang biasa saja dengan peluang menemukan Luciel yang teramat kecil, ataukah menjadi kriminal dan mendapat peluang yang lebih besar. Chelsea bingung setengah mati, membayangkan jika harus menjadi seorang penjahat, membunuh ayam saja tidak pernah, apalagi membunuh orang.
***
Pagi hari telah tiba. Seperti biasa Leon menyiapkan sarapan untuk Liana yang hari ini akan berangkat sekolah.
"Di mana wanita itu?" tanya Leon.
"Cieee ... Kak Leon tertarik pada Kak Mayra, ya? Tidak masalah kok suka pada seorang janda, aku mendukung asalkan Kak Leon tetap suka pada wanita!" ejek Liana.
"Bukan begitu! Kakak hanya tanya sekarang dia di mana?! Justru aku lebih senang jika dia benar-benar sudah pergi dari rumah ini!"
"Ohh ... kukira apa. Tadi Kak Mayra bertanya padaku di mana gereja terdekat. Jadi sekarang dia pasti ada di gereja!"
"Begitu ya," ucap Leon dengan nada malas.
Ke gereja, sepertinya orang suci sepertinya memang tidak cocok jadi gangster.
***
Di sisi lain, di dalam sebuah gereja. Gereja itu kini teramat sepi, hanya Chelsea seorang diri saja yang berdiri sambil merapatkan kedua tangannya, bahkan dia memejamkan kedua matanya seolah-olah begitu khusyuk berdoa.
Ketika Chelsea membuka mata, lantas berkata, "Kudus ... aku tidak berdoa kepadamu saja."
"Allah, Tuhan, Budha! Tidak ... bahkan iblis sekali pun aku tidak peduli!"
"Selama aku bisa menemukan putraku, dan membalas dendam atas kematian kakakku! Aku akan menyembah siapa pun yang menolongku melakukan itu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments