Don't Cry

...Jalan terjal terjungkal berulang kali, hati pun tercabik oleh aneka derita. Namun rasa bahagia adalah hak yang tercipta bagi para penderita....

..._________________...

Suasana mencekam begitu kentara di ruangan yang sunyi serta tertutup, jauh dari hingar bingar manusia. Bahkan matahari pun enggan menyinarinya, meski rembulan belum terlihat menggantikan tugasnya. Seorang laki-laki terlihat menduduki sebuah kursi dengan gaya angkuh khas nya yang berada di pojok ruangan dengan kaki terlipat di atas meja, namun tidak bisa dikatakan ruangan belaka karna desainnya yang megah seperti sebuah kerajaan hingga mampu membuat orang tak berkedip jika melihatnya. Tempat yang digunakan sebagai sandaran serta melepas penat pun, di desain begitu berkelas bak kursi seorang raja.

Tuk..

Tuk..

Tuk..

Ketukan jari di meja menggema di ruangan yang kedap suara tersebut hingga terdengar seperti lonceng kematian. Seorang laki-laki yang sudah berumur setengah abad tersebut menelan ludahnya susah payah. Sesekali ia membenarkan kaca mata tebalnya yang menghiasi wajah tegangnya. Laki-laki paruh baya itu hanya mampu menunduk dan menatap lantai dengan bentuk khas geometris tersebut. Ia semakin gemetar ketika melihat seorang yang tengah duduk di kursi kebesarannya tersebut, seperti tengah mencari sesuatu.

Laki-laki paruh baya tersebut hanya berharap bahwa tubuhnya tetap utuh ketika keluar dari ruangan megah ini, karena keluarganya masih membutuhkan nafkahnya untuk bertahan hidup. Kemegahan tersebut sepertinya hanya menyandang nama serta penampilan saja, namun kenyataannya jauh lebih mengerikan dari apa yang terlihat. Ia sedikit menghela nafas, ketika melihat seorang di depannya menyalakan sepuntung rokok, bisa ditebak jika ia tadi mencari pematiknya. Ia pikir laki-laki arrogant tersebut mencari barang nya yang akan menembak kepalanya hingga hancur. Jika sudah berhadapan dengannya maka pemikiran akan jauh dari kata positif.

Memikirkannya saja ia tidak sanggup rasanya. Tidak ada yang berniat memulai percakapan yang membuat suasana canggung sekaligus begitu mencekam. Laki-laki paruh baya yang tak lain adalah pak Robert yang juga mendapat julukan killer tersebut, sangat tau ada apa gerangan ia di panggil ke ruang sidang ini. Katakanlah ruang sidang, meski ini lebih mengerikan dari itu. Ia merasa seperti tersangka yang memiliki kasus  pelenyapan, yang akan dihukum berat oleh hakim.

Asap mengepul begitu laki-laki tersebut menghembuskan asap nikotin yang berada di antara sela jarinya. Ia mengadahkan kepalanya ke atas seperti tengah berpikir, namun juga seperti tengah menikmati. Hanya dia yang tau sebenarnya apa yang dinikmati, di tengah suasana yang bagaikan kuburan ini. Pak Robert tidak berkutik sekalipun, namun nafasnya bagaikan seorang yang seperti berlari dalam kejaran. Ia menyeka keringat di pelipisnya dengan punggung tangannya sendiri. Matanya masih menoleh lantai dan sesekali ia mendongak, mengintip pergerakan dari laki-laki yang masih menghisap nikotin tersebut.

"Apa ruangan ini panas?"

Suara bariton rendah dan dalam tersebut mampu membuat jantung pak Robert berpacu cepat. Dengan cepat ia menyingkirkan tangannya dari wajahnya yang sempat menyeka keringatnya tadi. Ia tidak tau harus menjawab apa, takut takut perkataanya salah di indra pendengaran sensitif laki-laki tersebut, yang tentu saja jauh lebih muda darinya. Namun mampu membuatnya tidak berkutik, seolah lumpuh dalam kuasanya.

"Tidak tuan." jawabnya nyaris seperti orang yang berbisik namun sebisa mungkin ia bicara tidak tergagap.

Kenzie berdecak sinis, ya seseorang dengan gaya angkuh serta arogant tersebut tak lain dan tak bukan adalah Kenzie Giovanni Danvers. Ia tersenyum miring, dan menurunkan kakinya perlahan hendak mendekat kepada seorang laki-laki paruh baya di depannya yang terlihat ketakutan setengah mati. Ketika sudah berhadapan ia semakin melirik sinis sambil menghisap rokok nya kuat yang masih menyala tersebut. Kenzie menghembuskan asap nikotin tersebut tepat di depan wajah pak Robert yang membuatnya semakin kelimpungan.

"Ada apa? Apa tenggorokanmu sakit?"

"Ti-tidak.." Pak Robert tergagap menjawab pertanyaan yang membuat bulu kuduknya berdiri, ia meremang bagaikan dibisiki oleh setan.

"Tidak? Tapi di kelas suaramu bak petir di siang bolong." kekeh Ken menatap pak Robert yang sudah seperti mati berdiri.

Pak Robert diam membisu, tidak tau apa yang harus ia jawab. Bibirnya nya hanya bisa mengatakan kata tidak dan maaf.

"Mendadak bisu? Heh!"

Kenzie berjalan menuju kursi kebesarannya dan mengambil sebuah berkas. Ia membaca sejenak dan terseyum miring setelahnya.

"Kau tahu apa kesalahanmu?"

"Tahu tuan dan saya minta maaf untuk itu."

"Bagus kalau tahu. Jika saja kau hampir mengusirnya....." Kenzie tersenyum penuh arti dan memiringkan kepalanya sambil menatap pak Robert dari atas sampai bawah. "Aku akan mencincang lidahmu! Ralat seluruh tubuhmu, maybe."

Pak Robert tersedak ludahnya sendiri saat mendengar lontaran tajam di penuhi ancaman tersebut. Ia tau itu tidak pernah main-main.

"Saya tidak akan mengulanginya lagi."

"Hmmm, sebenarnya aku berniat..." Kenzie menjeda perkataannya sejenak untuk melihat raut wajah sang guru killer tersebut. "Sudahlah berhubung kau menyadarinya tepat waktu, aku akan memaafkanmu." ujarnya dengan ekspresi seperti merasa bersalah.

"Terimakasih tuan." jawab Pak Robert sambil menundukkan kepalanya hormat.

Kenzie menyeringai ketika melihat raut wajah bahagia dari pak Robert.

"Niat awalku adalah membuangmu beserta seluruh keluargamu ke pulau terpencil."

Pak Robert menegang dan begitu terkejut mendengarnya.

"Ja-Jangan tuan, tolong ampuni saya."

"Namun aku urungkan karna istrimu yang sakit-sakitan. Aku baik bukan?" smirk Kenzie sambil tersenyum manis seolah ia yang memberikan kehidupan baru. Namun menyiratkan makna yang dalam.

"Te-terimakasih banyak tuan."

Kenzie berdecak kesal, sejak tadi telinganya hanya mendengar kata tidak, maaf, serta terimakasih. Ia membuka lacinya untuk mencari barang yang akan menjawab ucapan terimakasih dari sang guru killer.

"Pergilah!"

Mendengar hal tersebut pak Robert semakin menunduk hormat sebelum kakinya melangkah keluar. Tanpa ia sadari mautnya yang mendekat. Melihat itu Kenzie semakin tersenyum sumringah, matanya sudah tidak sabar melihat pemandangan mengesankan, ralat mengenaskan. Jari jemari yang tadinya diisi oleh sepuntung rokok, kini berisi barang yang akan mampu membuat seseorang terbebas dari dunia ini.

Kenzie duduk di kursinya dengan santai sambil memegang  desert eagle nya dengan gerakan memutar. Sambil menikmati raut wajah bahagia pak Robert untuk terakhir kalinya.

Dengan raut wajah bahagia pak Robert keluar dari ruangan mencekam tersebut. Dengan cepat tangannya meraih gagang pintu, namun belum sempat menyentuhnya takdir berkata lain.

Dorr!

Fiuh...

"Tidak pernah mengecewakan." seru Kenzie seraya tersenyum bangga sambil meniup ujung desert eagle nya. Ia berjalan mendekat ke arah mayat dari pak Robert dengan kepala yang sudah hancur tak tersisa.

"Aku baik bukan?" ujarnya dengan senyum manis dan melangkah keluar. Kenzie mengambil benda pipih nan pintar dari sakunya dan menekan nomor yang akan mengurus kekacauannya.

"Bersihkan, ruanganku."

Tut..

Setelah mengatakannya dengan cepat ia matikan, seperti kata pepatah waktu adalah uang. Dia sangat tidak suka berbasa basi. Setelah itu dengan cepat ia keluar dari ruangan tersebut, untuk menuju gadis kecilnya. Ahh mengingatnya saja, langsung membuat mood nya naik berkali lipat.

***

Suasana kantin pada saat jam istirahat begitu ramai. Semua siswa siswi berbondong-bondong untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebelum lonceng kembali berbunyi, yang membuat semuanya kembali terpanggil. Seorang gadis cantik yang duduk di pojokan terlihat begitu berbinar dan antusias ketika melihat sebuah camilan ditangannya. Dengan cepat jari jemari mungil nan lentik itu membuka bungkusannya, namun belum sempat menyentuh isinya seseorang sudah merampasnya dengan kasar.

Dengan amarah yang berkobar gadis tersebut berdiri dan berbalik untuk melihat sesiapa yang berani merampas makannya. Ketika ia berbalik dan melihat siapa yang mengusiknya, tiba-tiba mulut Kayla tertutup rapat, marah dan penasarannya bercampur menjadi satu.

"Ken?! Apa yang kau lakukan?!" teriak Kayla ketika melihat apa yang di lakukan sahabatnya itu. Menghiraukan tatapan penghuni kantin yang menatap kearahnya dengan pandangan heran, terkejut, serta mengagumkan. Karna hanya gadis mungil tersebut yang berani menatap mata seorang Kenzie dengan begitu berani serta berteriak nyaring.

Hening.

Suasana yang tadinya riuh sana sini mendadak hening, semua pasang mata mengarah pada dua insan tersebut. Melihat tidak ada jawaban ataupun pergerakan dari laki-laki yang ditakuti seantero sekolah tersebut, membuat suasana semakin mencekam dan dibuat merinding. Jennita yang tadi fokus pada makanannya berdiri sambil mengusap punggung Kayla.

"Kay tenanglah semuanya menatap kesini!" bisik Jennita pelan sambil mengusap punggung sahabatnya itu supaya lebih tenang.

"Tapi Jenn, dia tadi merampas maka--"

Belum sempat Kayla menyelesaikan kalimatnya tangannya sudah di tarik kuat oleh laki-laki yang sejak tadi menatapnya intens. Jennita hanya menghela nafas melihatnya, sudah bukan satu atau dua kali tingkah sahabat yang sudah bagaikan kakak beradik tersebut seperti ini. Setelah kepergian dua manusia yang tadi menjadi pusat perhatian serta membawa aura yang mencekam tersebut, suasana kantin kembali normal Jennita pun kembali melanjutkan makanannya yang tadi sempat tertunda akibat sebuah adegan drama singkat.

Kenzie menarik tangan Kayla menuju taman belakang sekolah, menghiraukan pertanyaan serta rontaan dari gadis kecilnya ini.

"Ken, apa-apaan sih?! Lepas, sakit tau!" gerutu Kayla sambil mensejajarkan langkah lebar Kenzie dengannya, yang membuat kaki kecilnya tersandung.

Laki-laki yang tak lain sahabatnya tersebut masih saja bungkam, dan terus menyeret Kayla dan entah akan membawanya kemana. Sampai pada sebuah bangku taman Kenzie mendudukkan Kayla dengan paksa, karna gadis tersebut tak henti-hentinya memberontak.

"Duduk Kayla!" seru Kenzie dengan nada yang meninggi karna geram melihat rontaan dari Kayla.

Kayla yang mendengar bentakan tersebut seketika bungkam dan matanya memanas. Katakanlah ia cengeng, namun siapa yang tahan jika dibentak? Terlebih itu dari orang yang kita sayang. Kayla menunduk dan menatap rumput hijau yang ada di taman tersebut sambil mengusap sudut matanya yang berair. Kenzie yang melihat itu, mengacak rambutnya frustasi. Ia pun duduk di samping Kayla dan menarik dagu gadis itu supaya menatapnya. Seketika hatinya mencelos, melihat air mata yang menghiasi wajah cantik gadisnya. Itulah kelemahan terbesarnya, sebuah tangisan dari orang yang paling di sayanginya. Sangat.

Kenzie mengusap air mata Kayla perlahan dan mendekap erat gadis kecilnya setelahnya.  Ia mengelus surai hitam nan panjang tersebut dengan penuh kelembutan.

"K-Kay don't cry!" bisiknya sambil menepuk pelan punggung kecil yang bergetar karna tangisan tersebut.

Kayla melepaskan pelukannya sambil menatap Kenzie dengan intens, yang ditatap hanya menaikkan alisnya sebelah.

"Kenapa?" tanya Kayla sambil membersihkan air mata serta ingusnya dengan sapu tangan yang diberikan oleh Kenzie

"Apanya?"

"Pertanyaan di jawab dengan jawaban, bukan pertanyaan." sanggah Kayla sambil berdecak sebal yang membuat Ken terkekeh melihatnya. Sungguh perubahan mood yang secepat roller coaster.

"Kau tau jawabannya apa Kay." jawab Kenzie sambil menatap mata Kayla serius.

"Tapi aku hanya makan sedikit." Kayla menunduk sambil memilin rok nya hingga kusut. Ken yang melihat itu menghela nafas, dan kembali mendekap Kayla ke pelukannya.

Kayla sejak kecil memang tidak bisa mencerna makanan ringan dengan kadar micin yang tinggi. Karna daya tahan tubuhnya tidak kuat yang mengharuskannya menjaga pola makannya.

"Tidak boleh Kay, nanti kau sakit."

"Aku hanya ingin mencicipinya." ujar Kayla sambil menduselkan wajahnya di dada bidang sahabat yang sudah seperti kakaknya itu.

"Tetap tidak boleh."

"Ken?" Kayla mendongak menatap mata Kenzie dengan ekspresi puppy eyes nya.

"Jangan pasang wajah seperti itu."

"Boleh ya?"

"Tidak."

"Sedikit saja."

"Tidak."

"Ken?"

Rengekan Kayla serta wajah puppy eyes nya membuat Ken geram sendiri.

"Hufft, baiklah!" Ken menyerah dengan segala rengekan serta tingkah Kayla yang membuatnya gemas sendiri.

"Yeay! Ayoo cepat."

Setelah mendengar persetujuan dari Kenzie, dengan cepat serta gembira ia menarik tangan sahabatnya itu menuju kantin. Kayla menghiraukan bahwa jam pelajaran sudah dimulai, lagi pula ia sudah telat dari tadi gara-gara insiden itu. Melihat wajah ceria dari Kayla membuat hati Kenzie menghangat. Hal kecil seperti ini pun mampu membuat keduanya dilanda rasa bahagia yang begitu besar.

...Tbc....

Terpopuler

Comments

Dina Yuwita

Dina Yuwita

akibat marahin Kayla 😂

2022-07-21

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!