Malam kian larut, bahkan sekarang telah menunjukkan waktu dini hari. Namun kegaduhan yang terdengar begitu mengusik tidur seorang lelaki yang baru terlelap beberapa jam yang lalu. Makian serta umpatan kasar masuk ke indra pendengarannya, membuat Kenzie mengusap wajahnya kasar.
"Keluar sialan?!"
Kenzie bangkit perlahan ia tidak ingin mengusik tidur gadis di sampingnya yang begitu pulas. Jika sampai Kayla terbangun, maka ia akan mencincang siapapun yang berteriak tidak jelas di luar sana. Kakinya menapak di lantai yang dingin, setelah mengecup kening Kayla lembut. Kenzie membuka pintunya perlahan yang seketika menampilkan wajah cemas tangan kanannya, Alan.
"Tuan diluar ad-"
"Aku tau." jawabnya singkat lalu berjalan melewati Alan yang masih berdiri dengan cemas.
Kenzie menuruni anak tangga dengan perlahan, sambil bersenandung ria. Kemudian ia terkekeh pelan ketika mengingat, ekspresi cemas Alan tadi. Ayolah, apa yang harus di khawatirkan? Alan yang melihat tuannya itu, hanya menghela nafas pelan sembari terus mengikuti dari belakang. Kenzie tersenyum miring menatap ke arah lelaki yang tengah meronta ketika di halangi oleh anak buahnya itu.
"Lepasakan aku?!"
Kenzie tersenyum kemudian, mendudukkan dirinya di single sofa dan menumpu kakinya di atas meja. "Lepaskan dia." ujarnya sambil menyalakan sebatang nikotin. Anak buahnya mengangguk patuh, kemudian melepaskan lelaki yang mereka tahan sedari tadi.
"Fuck! Dasar sialan, tubuhku menjadi ternoda di pegang orang rendahan!" ujar lelaki itu sambil mengusap seluruh tubuhnya, seakan ditempeli kotoran.
"Berhenti berkata tentang noda, jika noda itu sudah mengalir dalam darahmu." smirk Kenzie menatap wajah kesal lelaki itu, "Duduklah dulu, kau mau minum apa?" tanyanya sambil menghembuskan asap nikotin dari mulutnya.
Lelaki itu berjalan mendekati Kenzie dan menatapnya angkuh. "Jangan sok manis denganku! Berani-beraninya orang rendahan disini menahanku!"
"Berhentilah bicara tentang rendah dan noda. Kau lebih tahu definisi itu daripada aku." ujar Kenzie tersenyum simpul. "Dan jangan berteriak disini, atau aku sendiri yang menyeretmu keluar!" desis Kenzie tajam menatap datar pada lelaki yang terlihat angkuh itu.
Ancaman apapun tak mengusik pendengarannya sama sekali, lelaki itu bahkan menatap remeh Kenzie sambil bersedekap dada. "Tadi kau menawariku minum, lalu kenapa tidak ada?" tanya lelaki itu sambil mendudukkan dirinya di hadapan Kenzie dan menumpu kakinya di atas meja.
Hembusan terakhir keluar dari mulutnya, Kenzie mematikan sebatang nikotin itu sambil memanggil maid. "Buatkan bocah ini minum." perintahnya tanpa menatap para maid yang sudah berbaris rapi itu.
"Cih lebay! Gitu aja semua berkumpul." ujar lelaki itu berdecih menatap para maid yang memakai seragam hitam putih itu.
Kenzie tersenyum menatap remeh pada lelaki itu. "Katakan. Untuk apa kau kemari!"
"Untuk minum." jawab lelaki itu acuh, sambil meminum segelas air putih yang sudah di sajikan oleh pelayan. "Cih. Hanya air putih? Kau sudah miskin sekarang?" tanyanya angkuh sambil menatap gelas kosong ditangannya.
"Masih baik kau tidak kuberi racun!"
"Oh..aku takut." kekeh lelaki itu sambil beringsut mundur dan memeluk dirinya sendiri.
Kenzie hanya menatap lelaki itu datar, dan tidak menanggapinya. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja.
"Mau kemana? Kau tidak takut aku mencuri di rumahmu?"
"Silahkan." jawab Kenzie sambil terus menaiki anak tangga.
Namun ucapan terakhir lelaki itu berhasil menghentikan langkahnya.
"Dimana dia?"
Kenzie memutar tubuhnya, menatap datar pada lelaki yang juga menatapnya dengan pandangan yang sama. "Untuk apa kau menanyakannya?" tanya Kenzie datar.
"Untuk menjadikannya milikku."
Tiga kata yang mengalun santai itu seperti menusuk pendengarannya. Kenzie masih bergeming dengan tatapan datarnya yang tak terbaca. Kemudian ia berjalan menuruni anak tangga, dan kembali duduk di hadapan lelaki itu.
"Katakan sekali lagi."
"Kau tuli? Baiklah, lagi pula aku suka mengatakannya berkali-kali." Ujar lelaki itu menatap Kenzie dengan senyuman. "Aku ingin menja-" Lelaki itu menghentikan ucapannya ketika ia merasakan sebuah benda menempel di pelipisnya.
Bukannya terkejut, lelaki itu malah tertawa keras. " Kau takut?" tanya lelaki itu santai.
"Pergi dari sini, atau kepalamu yang aku hancurkan!" desis Kenzie tajam.
"Baiklah, mungkin aku kurang beruntung sekarang." ujar lelaki itu dan bangkit dari duduknya sambil menunjukkan senyum tampannya. "Tapi aku akan mengambilnya lagi nanti. Lagipula dia hanya menganggapmu kakak bukan?" tanya lelaki itu lagi sambil menaik turunkan alisnya, yang membuat amarah Kenzie semakin berkobar.
"Pergi?! Atau aku akan benar - benar melubangi kepalamu sekarang."
"Fine! Aku pergi."
Lelaki itu melenggang pergi dengan senyuman yang tak luntur sedikitpun. Meninggalkan Kenzie dengan amarah yang semakin berkobar. Kenzie mengacak rambutnya kasar, dan menendang semua benda di hadapannya. Inikah tujuan lelaki itu membangunkannya dini hari?
"Argh! Brengsek."
***
Dinginnya angin malam semakin menusuk kulit, namun seorang lelaki yang duduk meratapi rembulan itu tak beranjak sedikitpun. Matanya menatap lurus pada gelap malam yang begitu luas. Tenggelam pada lamunan yang menyayat hati. Meski telah berlalu, pikirannya tak bisa lepas pada kenangan yang telah sirna.
Memori indah yang harus ia kenang selalu, karna sulit untuk mewujudkannya kembali atau lebih tepatnya tidak mungkin. Segalanya telah sirna termakan masa, menyisakan dirinya yang merintih kelu. Namun ketegaran harus tertanam dalam dirinya, jika masih ingin bertahan.
Kenzie mengalihkan pandangannya sejenak, pada sebuah botol kosong yang ia genggam. Hatinya panas begitupun kepalanya. Hanya cairan beralkohol ini yang mampu mendinginkan kepalanya dan melupakan segalanya sejenak. Ia melempar botol kosong itu asal dan mengambil kembali yang baru. Tidak peduli berapapun ia menenggak cairan beralkohol itu hatinya masih saja gelisah.
Seorang lelaki berdiri disampingnya dengan perasaan cemas. "Tuan anda sudah mabuk, berhentilah minum." ujar Alan menatap Kenzie dengan penuh rasa khawatir.
"Mereka sudah mengambil segalanya dariku Alan, apa sekarang dia juga ingin mengambil milikku satu-satunya?" tanya kenzie lirih sambil menenggak kembali minuman beralkohol itu dari botolnya langsung.
Alan hanya menunduk dalam diam, ia tidak tahu harus mengatakan apa. "Ayo tuan kita masuk, udara sangat dingin disini." ujar Alan mendekat dan berusaha mengambil botol minuman itu dari tangan tuannya. Namun segera di tepis kasar oleh empunya.
"Aku tidak mabuk?! Aku sangat sadar untuk mengingat segalanya!" teriak Kenzie sambil melempar botol yang ia genggam dengan kasar.
Alan menghela nafas kasar lalu ikut mendudukkan dirinya di samping Kenzie. "Aku tau, tapi itu tidak baik untuk kesehatanmu."
"I don't care!"
"Baiklah. Tapi jika kau sakit, dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan darimu!"
Kenzie terdiam sejenak dan menatap Alan yang menyunggingkan senyumnya. Kemudian mengacak rambutnya kasar. Ia telah kehilangan begitu banyak, tapi kali ini itu tidak akan terjadi.
"Jangan terpuruk pada kenyataan tuan. Bangkitlah, jika tidak mereka akan semakin tertawa di belakangmu!" ujar Alan sambil menepuk bahu Kenzie pelan, kemudian bangkit dari duduknya dan melenggang pergi. Jika disaat seperti ini, ia akan menasehati tuannya itu sebagai seorang kakak.
Setelah kepergian Alan, Kenzie mencerna segalanya. Ia memang tidak boleh terlalu larut dalam kenyataan yang pahit, namun setiap detik keadaan selalu menikam hatinya perlahan. Semilir angin berhembus pelan, membuat hati serta pikirannya menjadi lebih tenang. Setelah kepergian manusia yang membuat hatinya terbakar tadi, ia tidak bisa tidur kembali. Pikirannya terbuai oleh bayangan buruk yang selalu menghantuinya.
Kenzie bangkit dan berjalan gontai, ternyata efek alkohol itu ada, meski ia tak merasakannya. Sudah dua jam ia duduk termenung di balkon kamarnya, menikmati semilir angin yang menyambut fajar. Kenzie memutar gagang pintu perlahan, tidak ingin mengganggu tidur seseorang di dalam tentu saja.
Senyumnya terbit, kala melihat Kayla masih begitu pulas yang tenggelam dalam mimpi indahnya. Namun hatinya teriris kala melihat tangan mungil itu terhiasi infus. Ia tau gadis kecilnya paling takut dengan benda itu. Namun apa boleh buat? Semuanya sudah terjadi, ia tidak bisa mengulang waktu. Kenzie merebahkan dirinya disamping Kayla, kepalanya berdenyut nyeri. Entah berapa banyak botol yang di habiskannya tadi, ia tidak bisa mengingatnya.
Kepalanya serasa berputar, tapi bibirnya menyunggingkan senyum melihat wajah damai Kayla. Kenzie mengambil tangan mungil itu perlahan dan menggenggamnya erat. Rasa pening semakin menjalar, membuat Kenzie kehilangan kesadarannya perlahan.
"Kay, jangan tinggalkan aku..." lirihnya sebelum kesadarannya terenggut.
...TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
꧁𝙉Ⓐノ𝙎ム꧂💋🅚🅙🅢👻ᴸᴷ
lanjut 📄
2022-08-02
1