Saat tiba di depan rumah, aku dan Wa Rasih segera turun. Setelah membayar ongkos, Grabcarpun segera melaju meninggalkan halaman depan rumahku. Tidak selang lama, mobil Mas Sakti juga tiba seakan susul menyusul. Aku hanya berdecak kesal, sebab rencanaku akan pergi ke luar kota ke butik yang di shareloc Bu Delia akan gagal total. Rencana yang kususun rapi nanti malam, rasanya akan berantakan.
Mas Sakti segera turun dan menyamai langkahku lalu menuntun lenganku. Ingin ku tepis, namun cengkraman Mas Sakti makin erat.
"Sayang... kenapa pulangnya tidak kasih tahu Mas?"
"Tidak apa-apa, Nafa... hanya tidak ingin merepotkan Mas Sakti," ucapku datar.
"Mas tidak merasa direpotkan, Mas kan suami kamu. Apalagi di dalam perut ini ada anak kita," ucap Mas Sakti seraya mengusap perutku yang masih rata.
"Aku dengar kamu diberhentikan dari butik Delia?" Aku diam, aku yakin Mas Sakti pasti dikasih tahu Kak Aldin tentang ini. "Ini semua karena ulah Meta kan?" yakinnya dan lagi-lagi tanpa jawaban dariku.
"Saat ini Mas sedang dalam proses perceraian dengan Meta. Sebentar lagi kamu bakal jadi satu-satunya istriku. Jadi bersabarlah, kita akan terus bersama," ocehnya.
"Mas... kenapa niat banget ingin menceraikan Mbak Meta. Apa Mas tidak ingin coba perbaiki hubungan Mas Sakti dengan Mbak Meta? Nafa tidak ingin dijadikan duri dalam daging di dalam pernikahan kalian!" ucapku meninggi.
"Hubungan pernikahan kami sudah rusak dua tahun terakhir ini, sayang. Jadi buat apa diteruskan? Meta sudah sering Mas kasih kesempatan untuk berubah bahkan sebelum kamu hadir dalam hidup Mas, apa salah akhirnya Mas menikah lagi?" Mas Sakti menjeda bicaranya sejenak, kemudian menarik nafasnya dalam.
Justru, pernikahan kita terjadi pada saat Mas sudah memegang surat ijin bermaterai dari dia, bahwa dia mengijinkan Mas menikah lagi asal dia tidak diceraikan," jelas Mas Sakti sambil matanya menerawang jauh.
"Harusnya Mas tidak usah ceraikan Mbak Meta, Nafalah yang harus Mas ceraikan. Sebab kemarahan Mbak Meta adalah karena dia tahu Nafa istri kedua Mas Sakti. Jadi, Nafa ingin Mas ceraikan Nafa saja, Nafa rela," debatku sambil menahan air mata.
"Tidak sayang... sampai kapanpun kamu tidak akan Mas ceraikan, jadi tolonglah jangan merasa diri bersalah. Yang salah itu adalah hubungan pernikahan Mas dengan Meta, dia hanya ingin mengambing hitamkan kamu. Jadi mulai sekarang kamu tidak usah pikirkan omongan orang atau Meta yang menyudutkan kamu sebagai pelakor. Dan nyatanya kamu bukan pelakor," tegas Mas Sakti seraya menghampiri dan merangkulku yang kini menangis.
Jujur saja, rangkulan Mas Sakti membuat aku merasa tenang dan nyaman, bahkan saat Mas Sakti mengusap perutku tadi, rasa nyaman itu langsung terasa. Entah magnet apa yang membuat aku bisa nyaman seperti itu, padahal aku mati-matian ingin diceraikannya karena merasa tidak tahan dengan cemoohan orang yang menyebut aku sebagai pelakor.
Untuk sementara aku harus bersikap biasa selama Mas Sakti berada disini. Entah kenapa Mas Sakti minggu ini tiap hari bisa datang dan menginap di sini. Rencana yang telah kususun untuk pergi tanpa sepengetahuan Mas Sakti, belum juga terlaksana. Aku mencari celah kosong saat Mas Sakti sibuk dan tidak datang.
Dan pada akhirnya rencana itu menemukan jalannya. Hari ini Mas Sakti memberitahu bahwa dia tidak bisa datang kesini berhubung ada masalah perihal surat gugatan cerainya dengan istri pertamanya. Sebetulnya ini kabar yang tidak ingin aku dengar sama sekali dan itu bukan urusanku.
Rencanaku malam ini untuk pergi harus berhasil. Kebetulan sudah ada kepastian dari Bu Delia tentang butiknya yang di luar kota itu. Untuk sementara Bu Delia memberikan Mess untuk tempat tinggal sementara selama aku belum menemukan rumah kontrakan. Aku tidak masalah, kesempatan ini akhirnya aku ambil dan aku nekad akan pergi nanti malam dengan Wa Rasih ke kota itu.
Malam itu sekitar jam 10 malam, aku dan Wa Rasih bersiap pergi, Grabcar yang aku pesan via aplikasi rupanya belum datang. Terpaksa aku menunggu dengan harap cemas. Cemas jika saat begini, tiba-tiba Mas Sakti datang dan mengetahui rencanaku. "*Ya Allah... kenapa Grabcarnya lama*?" batinku gelisah karena waktu sudah menunjukkan pukul 10 lewat 10 malam.
"Wa... bersiap-siaplah, Nafa takut tiba-tiba Mas Sakti datang, maka Wa Rasih cepat-cepat sembunyikan barang bawaan kita ke kamar Wa Rasih ya," titahku. Wa Rasih mengangguk wajahnya ikut cemas sepertiku.
"Wa... cepat sembunyikan barang bawaan kita!" titahku setengah panik setelah melihat penampakan mobilnya Mas Sakti sudah menuju depan rumah. Wa Rasih tidak menunggu lama lalu mematuhi perintahku.
Mobil Honda Mobilia itu semakin dekat, namun aku malah terkejut dibuatnya. Tepat di depan rumah, supir itu menghentikan mobilnya dan keluar seraya melihat layar HP yang sengaja dipegangnya. Aku kembali memanggil Wa Rasih supaya membawa kembali barang bawaan kami tadi.
"Mbak Nafa ya....?" Supir itu menyapaku yang sedang gelisah menunggu. "Iya betul Pak. Ini Grabcar yang tadi saya pesan itu, kan?" aku mencoba meyakinkan. Supir Grabcarpun tersenyum dan mengangguk. Dan benar juga, mobil ini cuma mirip warna dan merek doang dengan mobil milik Mas Sakti.
"Maaf Mbak, tadi bannya kurang angin. Terpaksa saya mutar-mutar mencari bengkel dan tidak menemukan bengkel yang buka, namun di ujung lapangan bola sana, rupanya masih ada yang buka," jelasnya sembari meminta maaf.
"Ya sudah Pak, tidak apa-apa. Yang penting sekarang bapak sudah sampai sini. Tolong dimasukkan barangnya ya Pak!" ucapku. Kemudian Pak Supir membantu Wa Rasih memasukkan koper dan tas bawaan kami.
Sebetulnya kami tidak membawa barang banyak, aku hanya membawa sedikit baju, buku tabungan serta surat-surat penting.
Grabcarpun kini melaju meninggalkan depan rumahku yang selama beberapa bulan
ini telah menemani hari-hariku dari suka maupun duka. Aku menatap nanar rumah pemberian Mas Sakti itu, rumah sebagai hadiah pernikahan kami.
Perjalanan menuju kota yang dimaksud rupanya memakan waktu lumayan lama, dua jam sudah. Dan akhirnya kami sampai. Di sana sudah ada seorang pria paruh baya yang menjemput kami.
"Mbak Nafa ya.... !" tegurnya mencoba meyakinkan seraya meraih tas bawaan kami. Aku mengangguk menjawab tanya pria paruh baya itu. Kemudian kami dibantu memasukkan barang ke dalam Mess oleh Pak Kadir yang tadi sempat memperkenalkan nama.
POV Author
Sakti terkejut mendapati rumah sudah tidak ada penghuninya, Nafa bahkan tidak bilang mau kemana. Semakin khawatirlah Sakti terutama pada kehamilan Nafa. Sakti nampak prustasi dan entah kemana dia harus mencari Nafa dan Wa Rasih.
"Sayang... kenapa kamu pergi? Kenapa kamu berani tinggalkan aku, sementara aku sangat mencintai dan mengkhawatirkanmu," batin Sakti sedih.
Sakti segera menghubungi Aldin asistennya untuk memberitahukan berita kepergian Nafa dari kota *Kaktus*. "Al, cari informasi kemana Nafa dan Wa Rasih pergi, aku sangat mengkhawatirkan keberadaannya," perintah Sakti kalut.
Kemanakah Nafa pergi? Tunggu jawabannya ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
mom mimu
mungkin emang dosa ya pergi ga bilang suami, tpi kalo posisinya kaya Nafa kayanya aku juga pilih minggat 😅😅 tpi bukan buat serong ya 😁
2022-11-22
2
Lina Zascia Amandia
Ya Allah, dari ordo malam baru di acc review siang ini..... Ntuh mah gitu....
2022-09-04
1