Dua jam perjalanan ditempuh dari kota *Dingin* ke kota *Kaktus*, yaitu kota dimana Aku tinggal. Aku terbangun ketika Mas Sakti menepuk bahuku pelan. Aku mengucek mataku pelan. Rupanya Aku tidur sangat nyenyak, sehingga perjalanan tidak terasa. Tiba-tiba sudah sampai saja.
Aku segera turun dari mobil mendahului niat Mas Sakti yang akan membukakan pintu mobil. Dan segera menuju pintu rumah. Untung suasana diluar tidak ramai dengan orang-orang yang nongkrong, mungkin karena masih siang mereka belum cuci mata sore. Aku bersyukur, artinya tidak ada yang akan mencemooh Aku sebagai pelakor.
"Assalamu'alaikum!" Salamku pada Wa Rasih yang langsung dijawab, dan Wa Rasih tergopoh menghampiriku. Kayaknya Wa Rasih saat Aku mengucap salam tadi, sedang tidur. Terlihat dari kedua matanya yang sayu khas orang bangun tidur.
"Uwa... minta maaf Neng. Tadi Uwa ngantuk dan ketiduran," Wa Rasih meminta maaf dengan wajah yang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa Wa, justru Nafa yang minta maaf sama Wa Rasih. Lagipula pekerjaan tidak banyak, Wa Rasih boleh tiduran jika sudah beres. Kan Nafa tidak pernah memberatkan Wa Rasih." Ucapku seraya beranjak ke dalam kamar.
Mas Sakti yang sejak tadi mengikutiku kini sampai juga di muka pintu kamar. Aku berusaha menghalanginya, namun tidak berhasil. Dia malah merengkuhku, membawaku terjatuh dan berbaring di atas kasur. Dia memelukku erat penuh kerinduan. Aku berusaha berontak, namun tidak bisa. Tenaga Mas Sakti begitu sulit Aku lemahkan.
"Biarkan begini sejenak saja, Mas ingin memelukmu dalam suasana yang terasa damai. Kamu tahu sayang, setiap Mas memelukmu dan berada di dekatmu, Mas merasa nyaman dan bahagia," ungkapnya seraya menatap langit-langit rumah. Aku tidak ingin menyahut, Aku hanya merasa nyaman saat pelukan erat itu merengkuh pinggangku erat, hangat dan nyaman. Suasana yang nyaman ini membuat kami tertidur bersama dalam pelukan hangat Mas Sakti. Mas Sakti begitu nampak letih sehingga dia dengan cepat tertidur, dan Aku menyusul setelah rasa kantuk juga menyerang.
Tepat Adzan Magrib berkumandang, kami bangun bersamaan. Mas Elang menggeliatkan tubuhnya, lalu melihat ke arahku dan tersenyum.
"Sayang... selamat petang menjelang malam. Ayo kita bangun. Kita bersih-bersih dulu dan melaksanakan kewajiban kita." Ajaknya membuat hati tersentuh.
Malam makin menanjak, Mas Sakti masih betah di rumah ini belum ada tanda-tanda akan keluar kota seperti yang biasa dia sampaikan. Aku bangkit dan menuju pintu.
"Mau kemana?" Mas Sakti menghentikan langkahku dengan pertanyaannya.
"Ke dapur, mau makan malam. Apakah Mas Sakti tidak lapar?" Tanyaku heran.
"Oh... Ok. Mas juga sudah lapar. Ayo, kita ke dapur!" Ajaknya sambil menggandeng lenganku. Wa Rasih yang sudah menyiapkan makan malam, menyambut kami sumringah.
"Silahkan Den, Neng....!" Wa Rasih mempersilahkan lalu beranjak kembali ke dapur belakang.
"Iya Wa, terimakasih!" Ucapku.
Kami makan dalam diam, hanya dentingan sendok yang sesekali menyela diantara kebisuan kami. Sesekali Mas Sakti menatapku lalu bermaksud menyuapku. Namun Aku menolak, Mas Sakti nampak kecewa.
Makan malam dalam diam kamipun selesai. Aku membereskan meja makan dan mengelapnya, padahal Wa Rasih sudah siap mengerjakannya. Membereskan meja dan lain sebagainya. Aku melihat Mas Sakti sudah kembali menuju kamar.
Aku menyusul menuju kamar lalu menutup pintu. Mas Sakti yang sedang merokok di balkon dan menelpon seseorang seakan merasa terganggu. Aku segera ke kamar mandi untuk menghindari Mas Sakti dan berniat gosok gigi dan membersihkan diri sebelum tidur.
Saat keluar dari kamar mandi, Mas Sakti masih di balkon. Dia masih berbicara di telepon. Lalu tanpa menutup telpon dia menghampiriku di ranjang. Percakapan antara Mas Sakti dan seseorang di telpon sana jelas terdengar. Suara anak kecil yang sangat menggemaskan terdengar nyaring.
"Papa, kapan pulang? Rafa sudah kangen!" Celotehnya bertanya pada Mas Sakti kapan pulang.
"Nanti ya sayang, besok Papa pulang." Jawab Mas Sakti.
"Mama ada datang menemui Rafa, tidak?"
"Tidak Papa, Mama tidak pernah mau datang temui Rafa." Jawabnya terdengar sedih sehingga menyayat hatiku.
"Papa, Nenek mau bicara sebentar katanya!" Ucapnya sangat pintar.
"Halo, Sakti...!" Terdengar suara seorang perempuan yang mengaku sebagai Nenek dari bocah yang bernama Rafa itu. Sebelum melanjutkan bicaranya, wanita itu terdengar sedang membujuk Rafa untuk segera pergi tidur.
Aku yang berada dekat Mas Sakti mencoba bangkit dan ingin menghindar dari Mas Sakti yang kini sedang berbicara di telpon dengan seorang perempuan yang disebutnya Mama, namun Mas Sakti menahannya.
"Iya halo Ma, Assalamu'alaikum!" Seru Mas Sakti.
"Iya Sakti, Waalaikumsalam! Kamu masih di mana Sak, Rafa sudah kangen sama kamu?"
"Iya, Ma. Sakti tahu. Insya Allah besok Sakti pulang sambil bawa seseorang." Ujar Mas Sakti.
"Seseorang siapa?"
"Nanti saja Ma, Mama pasti akan tahu juga."
"Oh iya Sak, tadi siang istrimu Meta datang kesini ngamuk-ngamuk. Untung Rafa sedang dibawa bermain oleh Bi Nia ke taman. Dia ngamuk dan memarahi Mama tiba-tiba, dia bilang Mama sekongkol menyembunyikan pernikahanmu. Mama tidak tahu apa-apa, sehingga Mama tersentak. Apa benar kamu menikah lagi Sak?"
"Nanti Sakti jelaskan di rumah Ma, Sakti janji akan jujur sama Mama apa yang sebenarnya terjadi."
"Mama, sudah tidak peduli kamu mau menikah lagi dengan perempuan manapun asal dia baik buat kamu dan anak kamu. Mama sudah tidak sanggup dengan ulah Meta, diapun saat ngamuk sengaja berteriak-teriak supaya tetangga tahu. Mama malu dengan tingkahnya. Tolong Sakti, kali ini pikirkan yang terbaik buat Rafa, kalau Meta terus-terusan begitu, kasihan Rafa jika mengetahui kelakuan Ibunya. Kenapa kamu begitu takut dengan ancamannya. Jika dia mengancam akan bunuh diri lagi, hadirkan saat itu juga Polisi, biar Polisi mengetahui bahwa dia yang ingin mencelakai dirinya sendiri." Ucap perempuan yang disebut Mama itu sambil berurai air mata. Terdengar dari bunyi isak tangisnya di sebrang sana.
"Mama, sabar ya, Sakti besok datang sambil membawa seseorang." Ucap Mas Sakti berjanji.
"Siapa yang akan kamu bawa, apakah istri barumu?"
"Besok, Mama akan tahu." Janji Mas Sakti.
"Ya sudah, Mama tunggu kedatangan kamu dan seseorang yang akan kamu kenalkan itu." Pungkas perempuan itu mengakhiri telponnya.
Mas Sakti menyimpan HPnya di meja rias, lalu dengan cepat dia melangkah menuju pintu dan mengunci pintu itu dua kali, dan mematikan lampu. Aku sedikit tersentak melihat gelagatnya. Saat Mas Sakti kembali ke ranjang, Aku sudah menaiki ranjang dan berselimut.
Namun tiba-tiba Mas Sakti ikut masuk merangsek kedalam selimut lalu memelukku erat.
"Barusan yang ditelpon Mama Mas Sakti, besok kita akan kesana. Mas akan perkenalkan kamu pada Mama dan Rafa," jelas Mas Sakti membuat Aku terkejut.
"Untuk apa Mas, Nafa tidak mau. Lagipula Nafa yakin kita akan bercerai kok," sangkalku sedikit meninggi.
"Jangan bicarakan perceraian lagi. Lagipula di dalam perut ini pasti sudah ada adiknya Rafa. Mas tidak akan biarkan kita terpisah. Kalau kamu meminta pisah terus, maka malam ini kamu harus Mas hukum," ancamnya seraya bergerak cepat mencium dan menguasai tubuhku.
Dengan kekuatan yang tidak seberapa, untuk yang kesekian kalinya Aku kalah oleh Mas Sakti. Aku malah semakin terbuai dan sangat sedih ketika mengingat sebuah perceraian. Sebab sesungguhnya Aku sangat mencintainya.
Mas Sakti mencium seluruh wajahku sesaat setelah kami melakukan pertautan itu.
"Aku mencintaimu, Nafa Naufara. Selalu mencintaimu. Di rahim ini sebentar lagi akan tumbuh janin. Kita akan memiliki anak." Ucapnya seraya menciumku kembali dan memeluk erat tubuhku. Setelah itu kamipun terbuai kedalam mimpi indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
mom mimu
meta udh gak punya urat malu kayanya, masa ngamuk d rumah mertua, udh gak punya sopan santun banget sama orng yg lebih tua... 😒
2022-11-15
0
Syhr Syhr
Hati wanita itu memang sangat lembut.
2022-10-28
1
@Kristin
semangat ya Thor 🥰💪
2022-10-25
1