"Miris ya, masih muda tapi hidupnya hanya bisa menyakiti sesama perempuan. Tidak punya akhlak, pantas saja... sebab dia terlahir dari kalangan bawah yang bisanya cuma menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu dengan mudah!" caci perempuan paruh baya dengan nada bicara yang kencang yang mampu didengar tetangga perumahan.
Sontak tetangga dekat perumahanku yang kebetulan mendengarnya berdatangan dan melihat kami sebagai tontonan. Ada yang mulai berbisik-bisik dan ada pula yang mencibir. Aku benar-benar terhenyak, seperti mendapat serangan fajar yang tiba-tiba, Aku hanya bisa diam mengatur nafasku. Rasa marah dan kecewa kini bergolak di dalam dada.
"Pergi kalian... kalian pembohong, saya bukan pelakor. Saya menikah dengan laki-laki singel. Dan saya tidak pernah merasa merebut suami orang! Pergi... pergi...!" tegasku menggebu-gebu.
"Dasar tidak tahu malu, sudah merebut masih tidak mau mengaku!" ujar perempuan muda sambil melemparku dengan sebuah batu, namun Aku menepisnya.
"Nih lihat Ibu-ibu muka pelakor, masih muda tapi kelakuan mirip wanita \*\*\*\*\*\*. Lihat saja ya akan aku laporkan perbuatan kamu pada polisi, karena telah merusak rumah tangga orang. Lihat saja apa yang bisa aku perbuat, dasar pelakor." Hardiknya mengancam sambil meludah.
"Ayo Bu... kita tinggalkan pelakor ini, heyy Ibu-ibu hati-hati dengan pelakor ini. Bisa-bisa suami kalian direbutnya juga!" pekiknya diakhiri sebuah kalimat peringatan pada orang-orang yang menonton adegan kami. Aku cukup kaget dan tubuhku terasa lemas, sementara sorot mata tetanggaku seakan menghakimiku bahwa Aku adalah benar-benar pelakor.
Wa Rasih menghampiriku dan berusaha memapahku ke dalam.
"Huhhhh... dasar pelakor!" ejek salah satu tetangga.
"Cantik-cantik... ehh... malah jadi pelakor." Timpal yang lain membuat telinga dan otakku panas.
Aku berlari menuju kamar membawa luka hati yang tiba-tiba menyala, tubuhku ambruk diatas kasur dan meraung-raung menangis. Hinaan dua orang wanita tadi masih terngiang-ngiang jelas ditelinga ini, dan cemoohan tetanggapun berseliweran di kepala. Kemarin baru saja mendapat kabar bahagia mengenai desainku yang diterima dengan baik oleh pemilik butik dan mengangkatku sebagai Asisten Desainer. Tapi kini secepat kilat seperti dihantamkan ke dasar jurang oleh pengakuan dua orang wanita tadi.
Hampir satu jam Aku menghabiskan waktu menangisi hinaan dua wanita tadi yang tiba-tiba datang tanpa disangka. Aku lelah, mataku bengkak dan dadaku bergemuruh. Aku tidak tahu kemana Aku harus mengadu, pulang ke rumah Ibu takut membuatnya shock dan sedih. Sebisa mungkin Aku harus menutup rapat dulu masalah ini dari Ibu dan adikku Nadi.
Nara, sahabatku. Sebaiknya Aku bercerita padanya. Siapa tahu rasa sesak di dada ini bisa sedikit lega jika bercerita padanya. Ku hubungi Nara via pesan WA.
["Nar, jika kamu senggang, datang ke rumah Aku, sekarang!"]. Pesan WA terkirim dan Aku kembali menenggelamkan diri di kasur.
Wa Rasih terus membujukku supaya makan dan berusaha menenangkan Aku, karena sejak siang tadi Aku memang belum makan. Ada rasa sedih dan prihatin di mata Wa Rasih melihat Aku terpuruk seperti ini. Namun dia tidak bisa apa-apa selain menenangkan Aku.
"Wa, percaya kan Nafa bukan pelakor? Nafa menikah dengan pria singel dan bukan pria beristri seperti yang dikatakan dua wanita tadi, mereka pasti berbohong. Iya kan, Wa?" Aku menatap dalam Wa Rasih, melontarkan pertanyaan yang tentu sulit dijawab. Sebab jawabannya tentu Aku sudah tahu sendiri dari apa Aku lihat tadi. Dari buku nikah yang diperlihatkan wanita yang lebih muda tadi.
"Neng, tenangkan dulu pikiran Neng Nafa. Sebaiknya Neng Nafa makan dulu, dari tadi belum makan. Uwa, khawatir dengan kesehatan Eneng," bujuk Wa Rasih sedih.
"Nafa tidak lapar Wa. Dan tolong Wa Rasih jaga rahasia ini dari Ibu dan adik Nafa di kampung, jika sewaktu-waktu mereka tiba-tiba menghubungi Wa Rasih. Tolong Wa Rasih jangan keceplosan," ucapku mewanti-wanti. Wa Rasih mengangguk seraya ngeloyor keluar kamar.
"Neng, minumlah dulu teh jahe untuk menghangatkan tubuh Neng Nafa. Supaya tidak masuk angin juga, sebab sejak siang tadi Neng Nafa belum makan." Sodor Wa Rasih menyodorkan secangkir teh jahe hangat.
"Letak di meja Wa. Makasih Wa!" ucapku masih lesu.
"Assalamu'alaikum....!" terdengar ucapan salam begitu lantang di depan pintu, tidak salah lagi ini pasti Nara sahabatku. Aku menunggu di kamar, membiarkan Nara dipersilahkan Wa Rasih masuk.
"Assalamu'alaikum... Nafa....!" ulangnya saat sudah berada di dalam rumah. Derap langkahnya semakin mendekat ke kamar, dan Nara membuka pintu kamar seraya celingukan mencari Aku.
"Nafa....!" Nara menghampiri dan merangkulku saat tatapannya menemukanku.
"Naf... kenapa dengan matamu?" Nara keheranan. Aku tidak menjawab, Aku hanya bisa menangis dan merangkul Nara. Bahuku bergetar saat tangisan itu tumpah. Nara mencoba menenangkanku dan mengusap bahuku.
Setelah Aku sedikit tenang, Nara mengurai rangkulanku perlahan. Dia tatap wajahku, dan berusaha menguatkan Aku dengan empatinya, diapun terlihat sedih padahal Aku belum cerita.
"Coba Naf, cerita perlahan sama Gue. Apa yang Lo rasakan. Dan kenapa Lo menangis sampai bengkak begini?" Nara mencoba mengorek dengan nada lembut.
Aku menarik nafas dalam, sebelum memulai bercerita. Aku tidak yakin Aku akan sukses menceritakan semua pada Nara, sementara dadaku masih terasa sesak dan rasanya masih belum percaya.
"Mas Sakti..., dia... , rupanya suami orang Nar....!" satu kalimat tersendat namun mampu meneteskan air mataku kembali. Bahuku bergetar hebat. Rasanya Aku tidak kuat untuk bercerita, namun Aku harus cerita sebab rasanya tidak kuat untuk Aku pendam.
"Apa..., apa maksud Lo Naf?" Nara kaget.
Aku menumpahkan tangisanku sebelum bicara kembali.
"Mas- Mas Sakti adalah suami orang Nar... hu u u u....!" tangisku kembali pecah. Tidak mudah bercerita sementara rasa kecewa dan sedih berkecamuk. Aku memang cengeng, namun baru kali ini Aku mengalami hal yang begitu mengecewakan sehingga air mataku mudah tumpah ruah.
"Tidak mungkin Naf... Gue tidak percaya. Coba pelan-pelan Elo cerita tapi tenangkan dulu hati Lo." bujuk Nara. Aku berusaha menarik nafasku dalam-dalam supaya Aku sedikit tenang dan kuat.
Akhirnya setelah Aku merasa tenang, Aku perlahan bercerita tentang kejadian siang tadi di depan rumah, dari mulai kedatangan kedua wanita beda usia, sampai caci maki dan ucapan kotor yang dilontarkan mereka, sampai tudingan **pelakor** diarahkan padaku. Semua Aku cerita tanpa terlewat secuilpun, tidak dikurang dan dilebihkan.
Aku sedikit lega setelah bercerita pada Nara. Nara nampak mengusap dada, dia terlihat berkaca-kaca setelah mendengar semua curahanku.
"Gue bukan pelakor kan, Nar....? Gue tidak pernah merebut suami orang, Mas Sakti datang ke Gue dan mengaku masih singel. Apa Gue salah menerima Mas Sakti dengan semua pengakuannya?" Aku menangis lagi setelah mengungkapkan isi hatiku pada Nara.
"Tenangkan diri Lo Naf, kalau masalah itu Elo harus bisa bicara langsung dengan suami Lo, Mas Sakti harus berkata jujur sejujur-jujurnya. Bicarakan dengan kepala dingin. Apa alasan dia dan kemudian apa keputusan Elo dan keputusan dia."
"Jangan emosi dulu, saat dia datang kesini Elo harus dengar dulu penjelasan dia. Setelah itu, baru Elo ambil keputusan. Tapi pikirkan dulu matang-matang jangan asal ambil keputusan saat emosi," sambung Nara begitu tenang membujukku. Dan Aku sedikit tenang dengan bujukan Nara.
Tidak berapa lama setelah Aku merasa tenang, tiba-tiba di depan terdengar suara deru mobil. Aku yakin itu mobil Mas Sakti. Dan benar saja. Mas Sakti masuk dengan tergesa dan dengan wajah yang gusar, tentu saja sebab belangnya sudah Aku ketahui. Aku membiarkan Mas Sakti tanpa menyambutnya, Aku kadung marah dan kecewa.
"Assalamu'alaikum...., sayang....!" ucapnya seraya menuju kamar kami. Aku mendiamkannya, dengan segera Nara berdiri dan beranjak meninggalkan kami di kamar. Aku ingin menahannya, namun Nara keburu bangkit.
Mas Sakti menghampiriku dan memelukku erat, dia tiba-tiba menangis dan bersimpuh di pangkuanku. Aku menepisnya, namun Mas Sakti meremas jenariku erat.
"Kasih kesempatan Mas untuk bicara, sekali ini saja. Beri waktu untuk kali ini. Tolong sayang. Ini tidak seperti dugaan orang yang menganggap bahwa semua yang Mas lakukan salah. Tolong..., dengar penjelasan Mas dulu!" tekan Mas Sakti memohon dengan wajah yang memelas. Aku hanya sanggup meneteskan air mata.
"Tidak perlu penjelasan apa-apa Mas, semua sudah jelas. Semua bukti dan penjelasan dua wanita tadi sudah cukup jelas. Mas ternyata menipuku, menipu Nafa....!" pekikku penuh emosi.
"Sayang... dengar dulu penjelasan Mas... tolong!" Mas Sakti memohon penuh kesungguhan, tatapannya sendu dan nampak begitu sedih.
"Sekarang yang Nafa inginkan hanyalah berpisah dari Mas Sakti. Ceraikan Nafa....!" tekanku sedikit berteriak.
Mas Sakti nampak terkejut dan sepertinya tidak percaya dengan apa yang Aku ucapkan barusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
mom mimu
huaaaa 😭😭😭 bab ini berhasil bikin aku nangis Bombay kak Lin...
2022-11-07
2
Maya●●●
aku mampir lagi kak.
udah aku masukin favorite juga ya😊
semngattttt
2022-08-16
1
Rini Antika
Semangat terus biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu..😜
2022-08-12
1