"Maaf kan kami. Kami bukan tidak ingin melihatmu bahagia. Namun, kami tidak ingin melihat kamu terus dibohongi oleh suamimu."
Bu Mia menyerahkan kotak tisu yang ada di bagian dasbord mobilnya. --sruuugghhh-- Aku keluarkan ingus yang sedari tadi mememuhi hidungku. Hatiku terasa hancur, menerima dua kenyataan sekaligus. Pertama dia seorang pria bayaran oleh wanita yang butuh cinta. Kedua, diam-diam menikah dengan wanita kaya nan cantik jelita, dan seksi. Sementara, aku hanya wanita kurus kering yang semuanya rata.
Apa karena itu, dia tidak pernah lagi menganggap diriku sebagai istrinya. Bukan kepadaku lagi dia melepaskan has rat dan ga i rah-nya. Aku, hanya bagai mesin untuk membersihkan dirinya yang telah berbuat kotor di belakangku.
Sesampai di rumah, aku letakan Elena yang sedari tadi terjepit di dalam gendongan. Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah harus bertahan? Apa harus memikirkan Elena lagi?
Aku segera mengambil wudhu. Kutunaikan kewajiban Isya yang sudah sangat terlambat karena masalah ini. Hanya bisa menangis, memohon kepada Yang Maha Cinta memberikanku petunjuk atas segala hal yang akan dipilih.
Satu jam duduk bersimpuh di atas sajadah. Air mata seakan kering kehabisan tabungan hingga tidak mampu lagi untuk menetes.
"Maafkan Hamba ya Tuhanku. Hamba tahu, Engkau tak akan menyukai sebuah perpisahan. Namun, Hamba tidak bisa lagi bersama dengannya. Maka, ridhoi lah setiap langkah hamba dalam menentukan pilihan. Hamba yakin, Engkau tak akan pernah menguji makhluk ciptaan-Mu melebihi kemampuannya. Kuat kan lah, hamba. Amin."
Hingga pagi menjelang, tak sepicing pun mata dan pikiran terlelap. Otak terus berpikir akan drama yang harus diputuskan secepatnya. Aku tak kuasa lagi bertahan bersamanya. Membayangkan semua yang dilakukannya bersama wanita lain. Bukan hanya satu, melainkan banyak wanita.
"Huweeeek ..."
"Huweeeek ..."
Aku kembali merasa mual mengingat semua makanan yang masuk ke dalam perut adalah hasil perselingkuhan yang dikomersilkannya. Selain kehilangan selera, aku juga merasa jijik mengingat tubuh ini sudah dijamah dan dicum bu olehnya.
Meskipun dia sudah tidak pernah menyentuhku lagi setelah tiga bulan, tetap saja aku merasa ikut menjadi kotor. Aku menyesal ... menyesal akan semuanya. Menyesal terlahir di dusun yang membuatku bodoh. Menyesali diri ini yang gampang terbuai.
Pagi pun menjelang dan langit pun berubah terang. Namun, dia belum pulang. Apakah dia benar-benar sudah memutuskan untuk meninggalkanku?
Tubuhku terasang mengambang, ringan tidak lagi berpijak pada bumi. Semenjak usai dua rakaat tadi, aku hanya duduk meringkut menyandarkan diri pada dinding di atas kasur yang tidak memiliki dipan ini.
Aku pandangi gadis kecil yang telah lelap dalam mimpinya. "Kamu jangan khawatir, Nak. Ibuk akan selalu menjagamu. Mulai hari ini, Ibuk akan menjadi ibu sekaligus ayah bagimu."
Langkah kaki ini serasa melebihi ringannya kapas. Aku bagai lepas dari satu beban berat yang waktu itu membuatku benar-benar terus berpijak pada bumi. Aku harus kuat, hidup tidak akan berakhir sampai di sini. Aku harus merencanakan masa depan setelah ini.
Aku bergerak mencuci pakaian para pelanggan antara semangat dan amarah. Sehingga, pekerjaanku pun selesai dengan sangat cepat. Setelah menjemur pakaian tersebut, aku segera mengecek keuanganku. Sementara uang yang diberikan Bang Alan kemarin, aku sisihkan.
Aku buka sebuah kotak yang sangat berharga. Uang pemberian Bapak. Uang hasil keringat Bapak saat ke sawah dan berkebun kopi. Aku peluk uang itu.
"Apakah aku kembali ke dusun saja? Menjalani hidup sebagai petani dan berkebun kopi juga?"
Beberapa menit kulewati untuk merenung. "Jangan! Aku tak boleh kembali dengan keadaan seperti ini. Mak dan Bapak pasti akan sangat sedih jika aku pulang dengan status janda."
Aku hitung jumlah uang yang berhasil kukumpulkan. Aku tak menyangka hasilnya sungguh di luar dugaan. Aku bisa membeli mesin cuci yang cukup besar dengan uang ini. Aku bisa membuka jasa laundry kecil-kecilan dengan ini.
Setelah Elena bangun, kami segera bersiap. Aku akan mengantarkan pakaian bersih dan seperti biasa membawa pakaian kotor yang baru. Meski tidak berencana memasak, aku akan singgah menemui pasukan berbaju hitam yang telah membangunkanku dari mimpi buruk itu.
"Nesya, bagaimana keadaanmu?" tanya Bu Mia.
"Kamu tidak tidur ya?" tambah Bu Wulan.
"Anak muda zaman sekarang sungguh sangat keterlaluan. Aku jadi khawatir jika anakku seperti dia. Putraku seumuran dengan Alan. Kelakuannya sungguh meresahkan." cuap Bu Retno.
"Kamu yang sabar ya, Nesya. Lebih baik kamu akhiri semuanya dari pada terkungkung bersama suami toxic macam Alan." Bu Mia kembali menyampaikan aspirasinya.
"Terima kasih ya Mba Mia, Mba Retno, Mba Wulan ... jika tanpa kalian, sampai saat ini aku akan terus dibodohi olehnya."
Semua mata yang berbelanja di warung menatapku prihatin. Aku tidak butuh itu. Yang aku butuhkan hanya sebuah dukungan dan dorongan.
"Lalu rencanamu selanjutnya bagaimana?" tanya Bu Retno.
"Balik aja ke dusun!" ucap Bu Wulan.
Aku menggelengkan kepala. "Aku akan bertahan di sini. Aku akan mencoba membuka bisnis laundry kecil-kecilan."
Kaum ibu tersebut saling bertatapan. Beberapa detik kemudian mereka tersenyum kepadaku. "Setuju," ucap mereka serempak.
"Jika aku sibuk, aku pastikan akan pakai jasa laundry kamu." ucap Bu Retno.
"Nanti anak-anak kos, akan kusuruh mencuci pakaian di tempatmu," ucap Bu Mia.
"Jika aku kerja, aku akan menitip cucian di tempatmu," ucap Bu Wulan.
Air mataku jatuh tak terbendung. Aku sungguh sangat terharu. "Terima kasih semua. Meskipun aku bukan siapa-siapa, kalian semua sudah sangat baik kepadaku."
Satu lagi anggota yang tadi malam tidak terlihat. Bu Jeni adalah seorang direktur bagian tertentu di bidang perbankan. Bu Jeni memiliki putra yang berprofesi sebagai dosen. Namun, aku tidak pernah melihat anaknya itu. Mereka keluarga yang sangat sibuk. Demi aku, Bu Jeni ikut dalam misi penyergapan tadi malam. Tidak main-main profesi mereka memang.
Aku segera menuju toko barang elektronik. Aku membeli mesin cuci yang sesuai dengan keadaan keuangan. Sementara, uang Bang Alan aku masukan ke kotak amal di masjid. Semoga Allah masih menerimanya, amin.
Aku kembali sebelum mesin cuci itu diantarkan. Ternyata, Bang Alan sudah meringkuk di depan pintu. Dia langsung mendekat, tetapi diri ini sungguh enggan melihat wajahnya.
"Kau boleh mengambil segala benda yang kau miliki." Pintu segera dibuka dan kubiarkan dia ikut masuk bersamaku.
"Kuberi waktu setengah jam untuk menyusun semua ini." Aku segera masuk ke kamar meletakan Elena duduk di atas kasur.
Pakaian milik Bang Alan segera dikeluarkan dari lemari pakaian. Dia mendekat menahan tangan ini yang terus melempar pakaian ke wajahnya.
"Jangan, aku tidak ingin kita berpisah!"
Apa? Katanya tidak ingin berpisah? Apa dia tidak tahu, hati ini sudah tidak sudi melihat wajah itu? Namun, Bang Alan mencoba menggenggam tanganku.
Seluruh bulu roma seakan berdiri mendapat sentuhan dari tangannya. "Lepaskan!" Tangannya aku sibak dan tubuhnya kudorong kasar.
"Jangan sentuh aku!" Ku usap tangan yang dia pegang tadi dengan pakaianku.
"Segitu jijik kah kamu kepadaku?"
❤
❤
❤
Hay-Hay ... terima kasih sudah mampir pada karya terbaru aku yaaa ... Kali ini aku ingin mengajak kaka semua untuk mampir juga pada karya sahabatku yang kece badai.
Napen Author: Kaka Shan
Judul karya: Bukan Dijodohkan
Blurb:
Awalnya Alea hanya ingin memberikan kesan baik agar dapat memenangkan hati dua calon investor bagi proyek yang dia tangani. Mereka adalah CEO muda dari dua perusahaan berbeda. Namun, siap sangka jika lewat rencana itu Alea malah membuat kedua CEO itu tertarik padanya.
Alih-alih mengutamakan masalah kerja sama, kedua CEO tampan itu malah berlomba-lomba mendapatkan hati Alea. Lantas, siapakah yang akan memenangkan hati Alea? CEO Anderson yang terkenal sebagai Don Juan sejati Atau CEO Arga's Air yang pembawaannya begitu sholeh dan manley?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
👑Ajudan Tante Lele💣
kwkwkw rata😆
2022-08-28
0
Anonymous
bgusss
2022-08-25
0
FieAme
okem
2022-08-13
0