Pada awalnya, aku tak keberatan. Namun, semakin lama tingkahnya itu membuatku menjadi semakin kesal dan pertengkaran pun terjadi.
"Sampai kapan mau malas-malasan gini, Bang? Upah cuci yang aku terima itu tidak banyak. Ini belum buat biaya sewa, biaya makan sehari-hari, dan beli perlengkapan cuci. Semua itu berasal dari sini! Namun, kamu dengan enaknya membakar jerih payah yang kucari. Jika kamu malas-malasan begini, lebih baik kita kembali ke dusun saja!"
Mata Bang Alan nyalang menolak ajakan kembali ke dusun. Kepalanya digelengkan meninju pintu rumah yang kami sewa ini. Aku sudah tidak terkejut lagi akan tingkahnya yang begitu. Bagaimana pun juga, kami sudah hampir tiga tahun berumah tangga.
"Aku tidak mau kembali ke dusun! Titik!" ucapnya lebih tegas dari pada aku yang tengah merasa kesal padanya.
"Kalau begitu cari kerja dong! Aku tak kuat lagi hidup seperti ini! Kita ini butuh uang, Bang! Biaya hidup di sini sangat besar! Jika kita di dusun, paling tidak kita bisa makan dengan hasil kebun dan sawah sendiri. Bagaimana kalau kita coba menanam padi dan kembali saja?"
Bang Alan terlihat mendengkus. Dia seperti tidak rela untuk melakukan pekerjaan itu. Sebelumnya kami sudah mencoba beberapa kali menanam padi di sawah. Bahkan kami sengaja tinggal di pondok yang dibuat untuk menunggu padi tumbuh dengan baik hingga panen.
Namun, Bang Alan yang tidak tahu apa-apa tentang bercocok tanam, memilih menyibukan diri bermain game meski tak ada jaringan sama sekali.
"Katanya dulu kamu mencintaiku? Jadi, harusnya kamu harus bisa bahagiain aku, dong?" Ucapan itu keluar dengan lancar dari mulutnya. Lalu, dia kembali melanjutkan permainan game pada ponselnya.
Namun, jujur aku mengakuinya. Bahwa, aku lah yang tergila-gila padanya. Aku lah yang duluan mengejarnya. Setelah tamat SMP, aku tidak bisa melanjutkan ke tingkat SMA. Lantaran, masuk SMA membutuhkan biaya yang sangat tinggi karena kami yang orang dusun terisolir ini, harus menyewa rumah untuk tinggal di sekitar lokasi sekolah. Orang tuaku tidak memiliki dana untuk semua itu.
Kebetulan sekali dia baru kembali ke dusun kami lantaran baru saja menamatkan SMA. Awalnya, dia mendekati temanku yang sedang melanjutkan pendidikan di kota. Akan tetapi, dengan gencar aku berusaha mencuri perhatian Bang Alan.
Sedikit bercerita tentang dusun tempatku berasal. Di sana hanya memiliki sekolah tingkat SD dan SMP. Bahkan, PAUD dan TK pun tidak ada. Jadi, kami semua benar-benar mulai belajar dari tingkat SD yang masih satu atap dengan SMP tempat terakhirku menimba ilmu.
Aku tertarik padanya karena dia memiliki wajah yang sangat tampan. Dia bagai fatamorgana yang tidak ditemui di antara lelaki dusun lainnya. Akhirnya, aku berhasil merebut hatinya. Dia pun mengatakan cinta padaku, hingga kami berdua langsung memutuskan untuk menikah.
Setelah menikah, aku baru mengetahui bagaimana watak dia yang sebenarnya. Seperti kata orang, nasi sudah menjadi bubur. Aku baru menyadari bahwa aku ini telah salah memilih. Dia itu sangat pemalas dan hanya sibuk dengan game yang ada di ponselnya.
"Abang itu kan suamiku, kepala rumah tangga. Seharusnya Abang yang bekerja. Aku ini sedang mengandung anak kamu."
Bang Alan menatapku sejenak, lalu beralih kembali pada ponsel android di tangannya. "Kalau kamu sudah tidak mau menuruti permintaanku, yaa ... aku bisa---"
"Baik lah. Kamu main saja! Biar aku yang bekerja!" Ucapannya langsung ku potong. Entah kenapa, hatiku merasa gentar jika dia melanjutkan ucapannya. Aku takut kehilangan dia.
Pertengkaran pun berakhir setelah aku mengalah. Dalam keadaan hamil ini harus mengerjakan semuanya sendirian. Melihatku yang bekerja sendirian, membuat orang tuaku ikut turun tangan membantu menyiangi sawah keluarga suamiku. Itu adalah kali pertamaku menangis setelah menikah dengannya. Aku merasa malu karena masih saja menyusahkan orang tua.
Saat musim panen datang dan uang sudah berada di tanganku, dengan wajah tanpa dosa dia merebut uang tersebut dari tanganku. "Ini adalah hasil dari sawah orang tuaku!"
Dia tampak mengambil beberapa lembar, lalu menyerahkan kepadaku. "Ini buat kebutuhan sehari-hari!"
Dia meninggalkanku dengan jumlah uang yang sangat sedikit. Air mataku kembali mengalir dengan deras membasahi pipi. Namun, aku tegarkan hati teringat bahwa aku sedang mengandung.
Tak lama lagi aku akan melahirkan. Aku duduk di samping Bang Alan yang sibuk dengan ponselnya. "Bang, mana uang hasil panen sawah kita kemarin?"
"Buat apa?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Buat tabungan lahiranku nanti," ucapku dengan sedikit rengekan.
"Lahiran murah dan gampang kok. Nanti ke bidan Sri aja. Biayanya murah. Kalau dia tidak ada, masih banyak dukun beranak yang akan bantu proses lahiran kamu!"
Bahkan, dia tidak memedulikan bagaimana keadaan anak kami. Air mataku kembali terjatuh menyadari betapa tidak pedulinya dia terhadapku. Padahal bidan mengindikasikan kehamilanku bermasalah. Keadaanku masuk ke dalam pantauan medis karena anakku dalam keadaan terlilit tali pusar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Nirwana Asri
dasar suami laknat
2022-08-13
0
FieAme
oke
2022-08-13
0
Mak Aul
bg alan mampir yuk kerumah eneng. Nanti tak buatin kopi susu sianida. mauuu??
2022-08-11
0