Beberapa waktu kemudian, Bang Alan menengadahkan tangannya. "Minta uang!"
"Buat apa?"
"Buat beli rokok."
"Tidak ada!" ucapku berlalu meninggalkan dia.
Ternyata dia mengejar dan menarik tanganku. "Cepat berikan! Aku mau merokok dulu."
"Cari uang sendiri sanah! Sudah tiga bulan kamu begini terus. Harusnya Abang sadar, saat ini kita tinggal di kota! Bukan di dusun yang bisa saja makan dengan gratis tanpa menguarkan biaya!"
braaakk
Bang Alan menggebrak meja yang kebetulan ada di dekatnya. Aku sudah tidak kaget lagi. Aku menatapnya panjang melipat kedua tangan di dada.
"Kamu sudah berani menantangku ya?"
"Bang, sampai kapan harus begini? Pliiss, sadar lah! Kehidupan kita ini tidak bisa dikatakan pas-pasan lagi ... Jadi, jika kamu tidak bisa mencari uang sendiri, lebih baik kamu berhenti merokok!"
Bang Alan sejenak menatapku panjang. "Kamu mau aku ce---" Dia kembali menatapku dengan wajah mengancam.
Aku kuatkan diri membalas tatapannya. Entah sejak kapan aku mulai memiliki keberanian dan tidak takut lagi jika dia mengancam seperti itu. Dia tidak melanjutkan ucapannya.
"Haaah ...."
braaaak
Dia memukul pintu dan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Saat dia pergi, tubuhku langsung merasa layu. Energiku terasa terkuras.
"Buk ... Buk ...."
Aku seperti mendengar sesuatu yang tidak pernah terdengar sebelumnya. Aku lihat Elena, anakku sedang berjalan sambil memanggilku dengan, 'Buk.'
"Coba ulangi, Nak?"
"Buk ... Buk ... Buk ...." Dia menepuk kedua tangan mungilnya.
"Waaah, anak Ibuk udah bisa bicara?" Elena langsung ku peluk. Setidaknya kali Elena menjadi obat kegelisahan pada hatiku.
Tanpa terasa, waktu terus beringsut menuju malam. Sudah pukul sebelas malam, Bang Alan belum juga pulang. Aku pun tidak bisa tidur memikirkan ke mana dia pergi.
Apakah tadi itu, aku terlalu berlebihan? Aku bangkit dari tempat tidur, menutup dadaku yang telah dilepas oleh Elena yang masih kuat minum ASI. Aku intip ke arah luar, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
Semalaman aku tidak bisa tidur, aku terus menanti dia yang tak kunjung pulang. Tepat di saat azan Subuh bergema, terdengar suara ketukan pintu. Aku yang tidak bisa tidur sama sekali langsung terlonjak bangkit sedikit berlari menuju pintu.
Aku buka pintu, dan langsung memeluk Bang Alan yang baru saja pulang. "Maafkan aku, Bang. Aku tidak akan marah-marah lagi sama Abang," isakku memeluknya.
Indera penciumanku mengendus aroma yang berbeda muncul dari tubuhnya. Aku lepaskan pelukan baru menyadari bahwa Bang Alan menggunakan pakaian berbeda di saat dia pergi tadi. Aroma tubuhnya pun sangat wangi, tetapi wajah dan rambutnya terlihat acak-acakan.
"Bang, semalam dari mana saja? Aku sangat khawatir. Aku takut jika terjadi sesuatu yang tidak-tidak dengan Abang."
Bang Alan melepaskan diri dari pelukanku. Dia masuk ke dalam rumah melepas sepatu pantofel mengkilap yang melekat di kakinya. Aku perhatikan kembali Bang Alan terlihat sangat berbeda.
"Kenapa? Bukan kah kamu yang menyuruhku mencari pekerjaan?"
Dia melepaskan pakaiannya dan langsung bergerak menuju kamar merebahkan diri. Dalam hitungan menit, dia sudah terlelap dengan dengkuran. Ini untuk pertama kali aku mendengar dia tidur mendengkur. Padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini.
"Bang, bangun dulu! Sholat Subuh dulu!" ucapku. Namun, tak ada sahutan lagi darinya.
Aku segera berwudhu, lalu melaksanakan kewajiban dua rakaat. Aku berdoa, semoga Allah memaafkan suamiku yang telah melalaikan waktu sholatnya.
Siang hari Bang Alan bangun dari tidurnya. Dia langsung membersihkan diri dan mencari makanan. Dia seperti tak berselera melihat menu yang aku masak tadi. Makanan yang ada di bawah tudung saji hanyalah tahu, tempe, dan terong goreng.
Padahal, biasanya menu makanan kami seperti ini. Dia tidak pernah mengeluh sama sekali. Namun, kenapa hari ini berbeda?
Dia merogoh kantong celana, menyerahkan dua lembar uang merah. "Segini, cukup untuk masak ayam nggak?" tanyanya.
Aku yang tidak tahu asal uang itu, dengan penuh suka cita langsung menerimanya dan menganggukan kepala. "Bisa, Bang. Bisa banget malahan." Bahkan lebihnya banyak, sambungku dalam hati.
"Ya udah, beli bahan untuk masak ayam goreng. Biar aku yang jaga Elena."
Aku langsung mengangguk dan bergerak cepat keluar rumah menuju penjual ayam potong. Setelah sampai kembali di rumah, aku langsung menyiapkan untuk di masak.
Aku mulai berpikir. Kenapa Bang Alan tiba-tiba memiliki uang? Aku perhatikan dia makan dengan sangat lahap. Tumben sekali dia tidak memegang ponselnya? Biasanya benda itu tak pernah lepas dari tangannya.
"Hapenya mana, Bang?"
"Sudah kujual," ucapnya di sela menyuap makanan.
"Jadi tadi itu uang hasil penjualan hape?"
Dia menggelengkan kepala. "Itu uang hasil kerjaku tadi malam."
Aku langsung bersemangat mendengar kabar Bang Alan yang sudah memiliki pekerjaan. "Emang, Abang dapat kerja apa malam-malam begitu?"
"Abang bekerja di sebuah klub malam," jelasnya.
"Jadi uang pembelian hape nya ke mana? Sayang sekali dijual, padahal udah punya pekerjaan." sesalku. Jadi, tak bisa lagi keluarga menghubungi kami.
Dusun kami memang tidak ada jaringan. Namun, jika naik menuju puncak bukit, nanti bisa menemukan titik yang ada signalnya. Mulai sekarang, aku sudah tidak bisa menghubungi keluarga yang ada di dusun, begitu juga sebaliknya.
"Uang penjualan hapenya, Abang kasih ke kawan yang nolongin mencarikan pekerjaan ini. Pekerjaannya enak banget, tetapi hasilnya cukup memuaskan. Abang dapat upah harian. Segitu cukup nggak, buat sehari?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
FieAme
okeee
2022-08-13
0
Mak Aul
alan jualan terong ya tor🤣🤣
2022-08-11
0
AdindaRa
Aku sawer iklan kaaak. Meskipun ngeselin, SiAlan masih mikir ngasih duit 🤣
2022-07-18
3