Aku langsung mengangguk. Jika memang segitu sehari, aku bisa menabungkan uang sisa dan uang hasil mencuci pakaian. Nanti tabungan bisa aku gunakan untuk kebutuhan tidak terduga lainnya. Uang yang diberikan Bapak pun masih utuh ku simpan dengan baik. Aku yakin, uang tersebut akan sangat berguna bagiku suatu saat nanti.
Semenjak itu lah, Bang Alan berubah menjadi kalong. Bang Alan berangkat usai waktu magrib, dan pulang saat azan subuh mendayu dengan syahdunya, dia pun mengetuk pintu rumah.
Tersadar aku akan lamunan panjang tentang masa lalu bersama Bang Alan. Aku lihat dia telah kembali terlelap dengan dengkurannya. Sepertinya pekerjaan yang dilakukan malam hari sangat berat? Pekerjaan seperti apakah yang dilakoninya pada waktu malam hari?
Akhirnya aku bangkit karena ditinggal tidur olehnya. Pekerjaan yang tadinya tertinggal, aku lanjutkan kembali. Aku mendahulukan mencuci pakaian keluarga, setelah itu pakaian para pelanggan. Lalu menyetrika pakaian yang sudah kering dengan membiarkan Elena bermain di sekitar Bang Alan yang lelap dalam tidurnya.
Setelah semua selesai dikerjakan, aku mengantarkan pakaian para pelanggan meninggalkan Elena begitu saja. Aku kembali sambil membawa pakaian kotor yang baru. Setelah itu langsung mampir ke warung kelontong membeli bahan kebutuhan sehari-hari.
Namun, aku merasa aneh dengan tatapan ibu-ibu yang berbisik-bisik sembari melihat ke arahku. Apakah ada yang aneh denganku? Aku coba mengecek pakaian dan apa pun yang aku kenakan. Siapa tahu ada sesuatu yang janggal, hingga membuat mereka menatap aneh padaku.
Ternyata, tak ada yang aneh dengan pakaianku. Atau mungkin wajahku yang kemana-mana tanpa riasan? Aku memang tak pernah memakai riasan. Jika tidak jalan-jalan bersama suami dan anak, mukaku bisa dibilang tak pernah tersentuh bedak dan lipstik. Aku rasa bukan karena itu mereka menggosipkan aku.
Ah, sudah lah ... jika terus aku pikirkan, aku bisa semakin stress. Dulu awal-awal di sini mereka juga menggosipkan aku kok. Namun, seiring berjalannya waktu, semuanya berhenti. Aku yakin, nantinya akan seperti itu juga.
Lebih baik aku fokus mencari bahan makanan yang disuka Bang Alan dan Elena. Lalu segera pulang tanpa memedulikan apa yang mereka bisikan tentangku.
"Ayuk semuanya, aku pulang dulu," ucapku berlalu meninggalkan warung. Aku teringat meninggalkan Elena sendirian, padahal ayahnya sedang tidur karena lelah bekerja.
"Huuuaaaaa ... Ibuk ... Ibuk ...."
Semakin dekat rumah, semakin jelas terdengar suara tangisan anakku. Aku tergopoh mengejar sumber suara. Aku lihat Bang Alan menggendong Elena yang menangis dengan wajah gusar.
"Kau kemana aja?" hardiknya.
Bibir Elena tampak mengalirkan darah segar. Aku langsung mengambil alih Elena dan mencari tisu untuk membersihkan aliran darah pada bibirnya. Aku segera memberinya ASI untuk menenangkannya.
"Kenapa tidak membangunkanku?" bentaknya lagi.
"Aku lupa," sesalku.
"Haaah, mengasuh anak saja tak becus begitu," rutuknya berlalu masuk kembali ke kamar menambah kepedihan hatiku yang sudah menangis melihat anakku terluka.
Usai Elena tenang, aku segera membersihkan bekas darah pada bibirnya. "Tadi jatuh ya, Nak?" tanyaku pada Elena. Dia mengangguk dengan lucunya.
"Jatuh di mana?"
Elena bergerak menuju satu lokasi. Dia menunjuk meja yang ada di ruang tengah. "Duuh, kasiannya anak Ibuk?" Aku langsung memeluknya kembali. Untung saja meja itu tidak terlalu tinggi.
Aku segera memasang jarit, mengikat Elena dalam gendongan. Aku mulai aktifitas memasak, bersyukur Elena tidak rewel lagi. Sepertinya tidak perlu ke dokter, meski bibir Elena tampak sedikit bengkak.
"Maafkan Ibuk yaa ... sudah lalai membiarkanmu bermain sendirian?" Kucium pucuk kepala Elena. Berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama.
Keesokan harinya, setelah pulang kerja, Bang Alan langsung terlelap dalam tidurnya. Aku pun membereskan tas selempang mini yang selalu dipakainya untuk pergi bekerja. Saat mengangkat tas itu, ternyata isinya berceceran.
Secara refleks mataku membesar melihat benda-benda yang keluar dari tas kecil tersebut. Isinya beberapa kotak kon.. *dom yang masih utuh. Aku terhenyak duduk tak percaya menemukan benda-benda tersebut.
Sebenarnya, pekerjaan apakah yang dilakoni Bang Alan?
Aku kumpulkan kembali benda-benda tersebut dan aku bawa masuk ke dalam kamar. "Bang ..."
Namun, Bang Alan tidak bergerak sama sekali. "Baaang?" Volume suara sedikit kutingkatkan. Dia sedikit terkejut, tetapi masih belum bergerak.
"BANG?" Kali ini volume suara paling maksimal keluar dari mulutku, hingga membuat dia benar-benar terbangun dan langsung duduk.
Dia menggaruk kepala dan mengucek matanya. "Hmmm? Kenapa?" sungutnya.
"Ini buat apa? Kenapa banyak sekali?"
Bang Alan melihat benda yang ada di tanganku. Lalu matanya yang masih mengantuk, langsung terbuka lebar dan merebut kotak-kotak yang ada di tanganku tersebut. "Kamu jangan ikut campur dengan semua urusanku!"
"Katakan padaku! Kenapa semuanya ada di dalam tas mu?"
Beberapa waktu dia terdiam memandangi benda yang ada di tangannya. "Ini adalah jualanku."
"Maksudnya?"
"Aku menjual ini."
"Untuk?" Aku terus mendesaknya.
"Untuk orang-orang yang datang ke tempatku bekerja. Siapa tau mereka butuh."
Aku terus memandang dan terus membaca gelagatnya. Dia tampak gelisah saat aku menatap dengan sorot menyelidik. "Jadi di sekitar tempatmu bekerja banyak yang lakukan hubungan itu?"
Dia mengangguk tertunduk. "Aku bekerja di dunia malam. Namun, hanya di sana aku di terima untuk bekerja. Ijazahku tidak laku di mana pun. Di sana aku tidak memerlukan ijazah. Hanya membutuhkan skill yang aku punya."
"Skill seperti apa?"
Bola matanya tidak fokus menatapku yang menantang matanya. "Ada lah. Kamu belum pernah SMA sih, jadi kamu tidak akan mengerti."
Skill seperti apa yang hanya dipelajari di masa SMA? Apakah aku terlalu bodoh melewati masa SMA yang penting itu? Akhirnya aku terduduk lemas merasa lelah karena tiba-tiba da rah terasa naik ke otakku.
Dalam diam aku memandang Bang Alan yang menyimpan benda-benda tersebut ke dalam lemari. Dia menatapku lalu mengembangkan senyuman yang selalu membuatku terpesona.
"Kamu sepertinya terlalu stress. Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan?"
Mendengar ajakan tersebut, hatiku langsung melonjak girang. Sudah lama sekali kami bertiga tidak jalan-jalan. Aku langsung mengangguk.
"Tadi malam, Abang dapat uang yang cukup banyak. Hari ini kita jalan-jalan aja." Aku mendekat menggenggam tangan Bang Alan mengangguk cepat.
"Kalau begitu, biarkan Abang istirahat dulu."
Aku kembali mengangguk dan segera melanjutkan pekerjaan. Agar nanti saat Bang Alan bangun, semua beres dan kami tinggal berangkat saja.
***
Sore hari kami mengajak Elena bermain di arena permainan anak. Semua tampak sangat bagus. Aku tak pernah menemukan ini semasa kecil karena aku hanya berada di dalam dusun. Aku sedang sibuk mengedarkan pandangan mencari suamiku.
Bang Alan tidak terlihat semenjak tadi. Katanya mau membeli koin untuk menggerakan permainan tersebut. Aku gandeng Elena mencari Bang Alan. Namun, mataku langsung menangkap Bang Alan tengah asik bersenda gurau dengan Nina. Teman SMP-ku yang dulu diincarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Nirwana Asri
ceritaku sangat bagus kak Sofie sukses ya real life ini mah
2022-08-14
0
FieAme
okeeee
2022-08-13
1
Itarohmawati Rohmawati
si alan ..
2022-08-05
1