"Kamu jauh-jauh mengikuti ku hanya untuk ini Bari?" tanya Arumi yang mengagetkan lamunanku.
"Kamu sudah menikah?" tanyaku dengan bodohnya.
"Memang kamu siapa bertanya begitu? Menanyakan hal pribadi adalah satu tindakan yang tidak sopan."
"Baik. Aku permisi." Aku perlahan mundur dengan menatap lekat wajah Arumi yang sedikit tertunduk. Mataku yang memanas sudah tak sanggup lagi menahan lajunya air mata yang sudah diujung netra.
Aku membalikkan badan dan menghapus air mata yang jatuh dari sudut mataku. Aku sudah menduga hal ini, aku sudah mengira bahwa Caca adalah anak Arumi. Tapi kenapa pengakuan dari mulutnya membuat aku sakit?
Tidak-tidak. Aku harus sabar, aku tak boleh berspekulasi sendiri. Ibarat membaca buku, aku masih membacanya separuh. Tahu isinya buku masih setengah saja, tidak mungkin aku bisa menyimpulkan bagaimana endingnya. Jika aku ingin tahu bagaimana akhir dari buku yang aku baca, aku harus membacanya keseluruhan.
Aku mengatur nafas sebelum membawa mobil ku pegi dari sana. Sekilas aku melihat Arumi kembali. Nampak dari wajahnya yang sendu. Aku tak tahu apa yang membuatnya berekspresi begitu.
Setelah puas melihat Arumi, aku berangkat ke kantor dengan kuawali bismillah. Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa yang baru saja aku dengar. Aku masih belum tahu dari anak buahku mengenai jati diri Arumi. Dari mereka aku bahkan akan tahu segalanya. Ya, kenyataan ini masih setengah saja. Berkali-kali aku tekankan pada diriku sendiri, bahwa kebenaran ini belum utuh.
"Tuan Bari." Belum sempat aku menginjak teras kantor, ada seseorang yang memanggilku.
"Saya sudah dapat informasi mengenai wanita yang anda cari."
"Sepenuhnya? Tidak ada yang tertinggal?"
"Semuanya tuan."
"Baik, datang lagi ke sini jam dua belas siang!" titahku lalu melanjutkan langkah ke dalam kantor tanpa menunggu jawaban.
Sebenarnya dalam hatiku aku tak sabar ingin tahu informasi apa yang anak buahku dapat. Tapi aku takut kenyataan ini akan berimbas pada pekerjaan yang bahkan aku belum memulainya hari ini.
Aku masuk ke ruangan dan memfokuskan diri pada setumpuk berkas yang tertata di meja ku. Sengaja aku menenggelamkan diri di sana agar aku amnesia sesaat dengan apapun yang aku dengar dan lihat barusan.
Dan usahaku tak sia-sia. Aku tersadar dari kesibukan ku saat Firdaus memberiku makan siang.
"Lo di sini aja. Bentar lagi anak buah gue ke sini. Udah dapat info Arumi katanya."
"Tuan yakin ingin melibatkan saya dalam urusan pribadi tuan?"
"Kenapa nggak? Lo udah gue anggap kayak adik, teman, dan sahabat buat gue. Jadi nggak masalah kalau lo tahu kehidupan pribadi gue. Asal nggak lo jadikan bahan ghibah aja ntar."
"Alhamdulillah, apa itu artinya saya mendapat restu untuk jadi adik ipar?" tanyanya dengan percaya diri.
"Berjuang dulu. Gue sih nurut aja ama Farah ya. Kalau Farah suka kenapa nggak? Yang jalanin kalian berdua. Kalau gue pribadi, gue setuju. Secara gue udah kenal lo luar dalam, kita nggak hanya kenal lima tahun, tapi kita sering menghabiskan waktu bersama. Jadi sedikit banyak gue tahu kepribadian lo."
"Alhamdulillah, terimakasih sudah membuat saya lega tuan. Sekarang saya tidak perlu bersembunyi lagi dari tuan."
"Maksudnya?" tanyaku sediki terhenyak.
"Iya, jadi...."
Belum sempat Firdaus menyelesaikan kalimatnya, ucapannya berhenti karena ada ketukan di pintu.
"Masuk!"
Benar rupanya, anak buah kesayangan ku yang datang. Aku menyisihkaan makan siangku ke meja yang lain dengan menggantikannya sebotol air mineral untuk tamu ku.
"Minum dulu, lalu ceritakan apa yang lo dapat!"
Aku dan Firdaus menanti dengan debaran jantung yang bertalu-talu. Bahkan mungkin saja debaran tersebut terdengar dengan jelas.
"Jadi begini tuan...."
Dari cerita yang aku dengar dari anak buahku, Arumi adalah seorang janda beranak satu. Dia pernah menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Namun, Arumi mendapatkan perlakuan tidak baik dari suaminya, hingga suatu ketika Arumi ditinggalkan suaminya karena di tuduh selingkuh dan hamil anak pria lain. Dia di tinggal dalam keadaan hamil enam bulan.
Selain itu, Arumi juga kerap mendapatkan siksaan batin maupun fisik dari pria itu. Hingga suatu ketika suami Arumi menceraikan Arumi ketika anak mereka sudah lahir. Arumi sempat mengalami depresi selama satu tahun lamanya setalah melahirkan sang anak. Saking parahnya keadaannya, dia sampai di rawat di rumah rehabilitasi.
Lambat laun Arumi sembuh karena menyadari bahwa dirinya memiliki anak. Dia memiliki darah daging yang harus dia rawat. Satu tahun tak mengenal anaknya bukan perkara mudah bagi Arumi. Anaknya sempat tak mau ikut dan ketakutan ketika melihat Arumi. Butuh waktu berbulan bulan untuk Arumi bisa menggendong sang anak.
"Arumi bercadar sejak dulu?"
"Tidak tuan. Baru beberapa bulan belakangan, dia bercadar karena ada yang pria hidung belang yang ingin melecehkan dirinya."
"Apa hubungannya?" Jujur saja aku bingung apa hubungannya dengan akan dilecehkan dengan bercadar.
"Paras Arumi yang cantik membuat banyak laki-laki yang ingin memilikinya tuan. Selepas dia pulang dari rumah rehabilitasi, banyak laki-laki yang menawarkan dirinya untuk menjadi suami Arumi. Tapi dia menolak mereka semua karena masih trauma dengan laki-laki dan pernikahan.
"Lo punya foto pas nggak pakai cadar?"
"Tidak tuan. Saya sudah mencari melalui sosial media pribadi Arumi tapi tak saya temukan tuan."
Tak ku sangka Arumi mengalami ujian berat sebelum seperti sekarang. Tunggu-tunggu, Arumi mengalami kekerasan fisik dan batin saat sedang hamil. Apa jangan-jangan?
"Dimana suaminya sekarang?" Entah kenapa justru pertanyaan itu yang aku lontarkan.
"Maaf tuan, saya tidak mencari tahu informasi tentang suaminya. Akan saya carikan jika tuan mau."
"Tidak-tidak. Tidak perlu."
Suami Arumi tidak penting bagiku. Lebih baik aku fokus saja untuk mendapatkan hati Arumi. Dia memiliki trauma terhadap laki-laki dan pernikahan. Ini sedikit sulit bagiku. Ah aku jadi ingat sumpah serapah Diana yang menyumpahiku akan kesulitan mendapatkan wanita yang aku cinta. Dan sekarang aku mengalaminya.
Tapi tak apa, yang terpenting sekarang aku tahu status Arumi adalah seorang single parents. Aku tak mempermasalahkan hal itu, status tak lagi penting ketika seseorang sedang jatuh cinta, dan itu berlaku juga untuk ku.
"Iya iya, status memang tidak penting jika sudah jatuh cinta. Tuan benar," sahut Firdaus.
Aku mengerutkan dahi, bagaimana bisa manusia ini mengerti apa yang aku katakan dalam hati. Apa Firdaus ini manusia jadi-jadian atau bagaimana?
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments