Bab 5

Bukankah dia sepupu diana, ternyata dia seorang dokter kandungan? Oh astaga, bisakah aku memiliki dia sebagai kekasih ku berikutnya? Tapi tunggu kenaoa aku jadi memikirkan dia untuk jadi kekasih ku? Aku memukul kepala ku pelan memikirkan hal yang bodoh barusan. Aku tidak tertarik dengan wanita seperti itu, aku tak tahu bagaimana bentuk wajahnya, cantikkah dia, atau jangan-jangan malah banyak jerawatnya. Aku bergidik membayangkan apa yang ada dalam pikiran ku.

Tak sengaja aku melihat dirinya lagi. Wanita bercadar yang bekerja sebagai dokter itu nampak mempersiapkan segala sesuatu yang di butuhkan dengan dibantu satu orang suster.

Aku mendengar kata-kata perintahnya yang sangat sopan dan terdengar menyejukkan. Sangat berbeda dengan wanita yang saat ini masih mencengkram erat kemeja ku. Kata-kata dan suaranya membuat orang ingin bunuh diri saja.

"Maaf ibu, ibu yang tenang ya. Ibu harus menghemat tenaga untuk nanti. Untuk suaminya mohon diberikan sentuhan di punggungnya istrinya ya pak, supaya sedikit nyaman."

Dokter tersebut mengatakan tersebut tanpa menoleh padaku. Penglihatannya dia fokus kan pada wanita yang sedang meraung-raung dan sesekali ke bawah. Aku tak tahu ada masalah apa wanita ini dengan ku, kenapa dari awal bertemu sama sekali tak pernah menatapku. Jika tak sengaja menatappun seketika menundukkan kepala. Apa dia seperti ini pada semua laki-laki?

"Maaf dok, dia bukan istri saya. Kebetulan saya hanya menolongnya saja tadi. Mbak nya kesakitan di pinggir jalan dan saya bawa ke sini. Tapi mbak nya nggak mau melepas baju saya. Padahal saya harus kembali bekerja, tolonglah dok. Tolong beri pengertian pada mbak nya." Sengaja aku berbicara panjang lebar agar wanita bercadar itu bersedia membantuku membujuk wanita ini.

Aku berbicara dengan tak melepas pandangan ke arahnya sama sekali. Memperhatikan lekat-lekat mata indah yang sedang menunduk. Tiba-tiba saja darahku berdersir. Suhu tubuh mendadak naik. Jantung yang berdetak dengan riuh dan bertalu talu. Aku mendadak linglung sejenak dan seakan aku dihipnotis oleh matanya. Kedua mata yang tak ku lihat dengan jelas itu seakan membuat isyarat untuk tidak berpaling darinya.

Aku tersadar dari lamuanan saat tubuh ku terasa ringan. Tak ada lagi tarikan-tarikan yang kuat. Aku menundukkan kepala melihat diriku sendiri. Entah sejak kapan tangan wanita itu sudah tak lagi di kemejaku.

"Sudah kan pak? Bapak bisa keluar sekarang," ucap dokter itu yang membuat aku kembali menoleh padanya. Sungguh suaranya membuat aku ingin tidur di pangkuannya. Aku jadi membayangkan jika aku tidur di pangkuannya lalu di belai rambutku dengan lembut dan dinyanyikan sebuah lagu pengantar tidur pasti akan membuat aku nyenyak.

"Buruan sana keluar. Udah di suruh keluar juga." Bentakan dari wanita yang berperut buncit itu membuat ku tersadar dari khayalan.

"Iya iya. Makasih udah di tolong dan di bawa ke rumah sakit," ucapku kesal menyindir wanita yang tak tahu terimakasih itu. Sejenak aku kembali menatap dokter yang masih menatap lantai. Dag dig dug jantungku kembali berirama dengan merdu, semerdu suara sang dokter bercadar itu. Ah kenapa aku mendadak jadi gesrek begini.

Aku kembali membayangkan wanita bercadar tadi, tidak tahu kenapa isi kepala ku tak mau beralih darinya. Dan itu berdampak pada jantungku yang kembali berdetak cepat.

Sedang asyik memikirkan wanita bercadar, dering ponselku menyadarkan ku dari kehaluan yang seharusnya hanya di miliki oleh wanita saja.

"Apa?" tanyaku sedikit ketus pada sekretaris andalan ku.

"Waktunya meeting tuan."

"Gue belum makan. Lu hendel aja," jawabku enteng.

"Kebiasaan."

"Heh gue masih denger. Gaji banyak harus kerja keras. Jangan makan gaji buta," sungut ku memutuskan sambungan telepon.

Entahlah, bagaimana bisa Firdaus ini menjadi sekretaris ku selama lima tahun ini. Dia sering membuat ku kesal, tapi seimbang dengan cara kerjanya yang bagus.

*

"Bar, antar ibu ke rumah teman ibu. Ada arisan di sana," pinta ibu sehabis ashar.

Tanpa ba bi bu aku mengikuti langkah ibuku, bak supir yang membuntuti majikannya. Apapun yang keluar dari mulut ini adalah sebuah perintahkan yang tak akan terbantahkan oleh siapapun.

Bahkan, kini aku hanya memiliki satu kekasih saja, yakni Mira. Bukannya tak ada niat untuk mencari lagi atau sumpah serapah Diana terkabul, bukan bukan. Itu tak mungkin terjadi.

Ini semua terjadi karena beberapa hari lalu ibu melihat ku dengan seorang Sinta yang memakai pakaian minim bahan. Auratnya di umbar kemana mana tapi aku suka, namun tidak dengan ibuku. Dan itu membuat ibu ku benar-benar murka. Ibu mengancam akan pergi dari rumah jika aku tak menurutinya. Jika sudah begini apa yang harus aku lakukan selain menurutinya? Se brengsek apapun aku, aku tetap masih butuh ibu.

"Ini rumah teman ibu?" tanyaku begitu sampai di depan rumah yang minimalis satu lantai namun terlihat apik.

"Iya, kenapa?"

"Ibu punya teman yang sederhana juga?" tanyaku masih dengan nada dan ekspresi heran.

"Apa salahnya? Teman ibu ini nggak sederhana sebenarnya, kaya juga kok. Anaknya jadi dokter, tapi memang dia nggak mau menunjukkan aja. Orangnya memang sederhana banget. Ibu turun ya, udah pada dateng temen ibu. Jemput ibu seperti biasa ya." Tanpa menunggu jawaban dari ku ibu langsung turun dan berjalan menuju ke dalam rumah sederhana itu.

Masih punya waktu dua jam untuk menunggu ibu, dari pada pulang lebih baik aku jalan-jalan menikmati udara sore yang hampir senja ini. Melihat sekeliling membuat aku ingat Diana. Ya, rumah teman ibu yang entah siapa namanya ternyata masih satu kawasan dengan mantan kekasih ku yang selalu membuat aku tertawa. Bahkan pertemuan terakhir pun aku dibuat tertawa olehnya meskipun aku tak menunjukkan.

Karena tak punya tujuan akhirnya aku melajukan mobil ku dengan kecepatan lambat. Semakin jauh aku melaju dari rumah teman ibu, samar samar aku mendengar lantunan sholawat anak-anak kecil yang mungkin saja mereka sedang mengaji.

Aku menajamkan telinga demi mencari sumber suara. Rupanya di masjid dekat restoran cabe-cabe an lah yang ramai akan suara anak-anak itu. Sengaja aku berhenti di dekat halaman masjid untuk mendengar sholawat merdu dari guru mereka.

Entahlah, suaranya seperti aku kenal dan beberapa hari ini aku dengar. berusaha mengingat ingat namun tak kunjung ingat membuat ku mengarahkan pandangan ke arah masjid. Aku perhatian dengan seksama dan

Deg deg deg

Jantungku kembali bergemuruh hebat. Wanita bercadar itu lagi! Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Kenapa aku jadi sering bertemu dengannya? Kan aku jadi senang.

Ya Tuhan kenapa aku selalu saja deg deg an saat melihat wanita itu. Kenapa darahku juga berdesir saat menatap wajahnya yang bahkan tak terlihat. Apa ini yang aku cari? Hanya wanita bercadar itu yang mampu membuat aku jadi tak karuan. Tapi bagaimana bisa? Seorang Bari tak pernah jatuh cinta dengan seseorang tanpa melihat parasnya. Tapi bukan kah selama ini aku tak benar-benar jatuh cinta dengan para kekasih ku? ****! Apa lagi ini, aku mulai berperang dengan pikiran ku sendiri. Ah sudahlah, mau ini cinta atau bukan, persetan dengan semuaya. Akan aku lakukan apa yang aku inginkan.

Sebelum aku turun, aku benarkan letak rambut dan juga sedikit membahasahi bibirku agar terlihat seksi, meskipun aku tahu mungkin saja dia tak menatap ku lagi. Tapi kali ini aku harus berhasil membuat dia menatap ku. Entah kenapa aku sangat penasaran dengan wanita ini.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!