Sore harinya, ibu sudah di perbolehkan pulang. Ibu harus tetap banyak istirahat dan tak boleh terlalu mendapat tekanan dari luar. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berubah. Jujur saja tangisan ibu yang terakhir masih terngiang di telingaku. Aku bertekad akan mengabulkan keinginan ibu yang seperti teman-temannya. Tak apa aku menikah terlambat, aku akan memberi ibu cucu dua sekaligus nantinya. Ah jauh sekali pikiran ku ini. Bagaimana bisa aku berpikir sejauh itu sedangkan calon istriku saja masih di ujung jalan yang susah sekali aku gapai.
Jodoh memang tak kemana. Di rumah sakit ini, entah berapa kali aku dan Arumi bertemu. Kini kami kembali di pertemukan di lorong rumah sakit. Jika dilihat dari luar, sepertinya wanita ku ini juga akan pulang.
"Udah boleh pulang bu?" tanya Arumi.
"Iya Rum, alhamdulillah ibu bisa pulang sore ini juga. Kamu juga mau pulang?"
"Iya bu. Jaga kesehatan ya bu, mudah-mudahan tidak perlu kembali ke sini."
"Aaminn. Terimakasih sudah bantu dan menemani ibu di sini ya."
"Iya sama-sama bu."
Sengaja aku diam saja, aku ingin terlihat tidak begajulan lagi di depan wanita ku. Aku ingin dia melihat bahwa aku sudah berubah. Aku juga ingin menunjukkan pada ibu bahwa Bari bisa berubah dan bisa membuatnya bahagia.
"Bu, tahu nggak yang bikin aku keluar rumah tiap sore dan pulang setelah isya?" tanyaku saat mobil melaju di jalan raya.
"Apa memang? Penting banget kamu ngasih tahu ibu?"
"Iya dong. Aku melakukan itu karena aku mendekatinya bu. Ibu tahu nggak kalau Arumi juga jadi guru ngaji di masjid yang nggak jauh dari rumah teman ibu yang terakhir kali aku antar ibu arisan. Inget nggak?"
"Iya kenapa?"
"Ya aku nggak sengaja ketemu Arumi di situ bu. Setalah itu aku jadi sering ke masjid itu buat lihat dia. Ya meskipun dia nggak pernah natap aku, yang penting aku bisa lihat dia udah seneng rasanya. Semakin lama aku semakin kecanduan ke masjid karena Arumi."
"Kamu kalau mau ibadah ya niatnya karena Allah Bari. Bukan karena manusia. Takutnya kalau kamu berubah karena manusia, jika suatu hari nanti dia mengecewakan kamu dan menyakiti kamu, maka kamu akan meninggalkan perubahan baik itu. Benahi dulu niat kamu ibadah. Ibu nggak suka dengernya."
"Salah lagi kan aku," gumamku pelan.
"Bukan nyalahin Bar. Ya cobalah kamu pikir-pikir apa kata ibu tadi. Dikasih tahu juga. Oh ya ngomong-ngomong, rumah yang ibu datangi terakhir kali pas arisan itu ya rumah orang tua Arumi."
Saking terkejutnya aku tanpa sadar menginjak rem dengan kuat. Dahi kami sampai terbentur kaca depan. Satu pukulan kembali mampir di lenganku. Ibu menatap ku dengan tatapan beringas nya. Bak sesorang yang akan bsrperang dengan musuh tanpa senjata.
"Jadi itu rumah orang tua Arumi?" Tanyaku masih dengan rasa terkejut yang berlebihan.
"Kenapa? Mau apa?" tanya ibuku galak.
"Mau main ke sana lah."
"Ada keperluan apa? Jangan macem-macem ya. Ibu keluarin dari KK, jadi gembel kamu," ancam ibu dengan menggunakan jari telunjuknya.
"Main doang apa salahnya?"
"Kalau kamu suka beneran sama Arumi, jangan kejar dia dengan cara yang sama seperti kamu mengejar wanita lain. Arumi beda," tukas ibu yang sudah menurunkan nada bicaranya satu oktaf.
"Caranya?"
"Pikir sendiri. Udah buruan jalan, ibu mau istirahat."
Astaga, apa lagi ini. Ibuku sudah tahu banyak tentang Arumi dan beliau sama sekali tak memberitahu ku bagaimana cara mendekatinya.
"Arumi memang susah di dekati apa gimana sih bu? Kenapa dia kayak menutup diri dengan laki-laki?"
"Cari tahu sendiri. Kalau cinta mah, harusnya cari informasi sendiri. Nggak nanya-nanya sama orang."
"Ibu pelit banget sama anak sendiri."
"Belajar berjuang sendiri Bari. Tidak semua apa yang kamu dapatkan harus dari bantuan orang lain. Kamu cari tahu dulu latar belakang Arumi bagaimana? Apa statusnya? Bagaimana karakter dia? Semuanya harus kamu cari tahu. Jangan hanya dekati saja, lalu kamu tahu latar belakang dia, kamunya mundur pelan-pelan."
"Lah, kan ibu tahu Arumi luar dalam. Kenapa aku harus cari tahu lagi, kalau ibu suka aku juga pasti suka."
"Bukannya kamu pernah bilang selera ibu bukan berarti selera kamu?"
Ah sudahlah, lebih baik aku diam saja. Akan aku cari tahu sendiri tentang Arumi. Akan aku dekati dia dengan caraku sendiri. Percuma debat dengan ibu pasti akan berujung pada kesalahanku.
"Jadi gamis pink yang ada di kamar kamu itu rencananya buat Arumi?"
"Iya, kira-kira dia mau terima nggak ya bu?"
"Ibu kan tadi udah bilang. Jangan dekati Arumi sama seperti wanita lain. Ibu bilang dia beda. Udahlah kamu cari tahu sendiri sendiri apa bedanya. Pusing ibu lama-lama sama kamu. Susah memang jelasin sesuatu sama laki-laki yang memukul rata semua wanita."
Aku hanya garuk-garuk kepala ku. Beliau yang bertanya kenapa beliau juga yang harus ngomel. Tak terasa kami sudah sampai di rumah. Aku langsung ijin keluar lagi begitu mengantarkan ibu ke kamarnya dan memastikan bahwa beliau istirahat.
Sudah setengah lima, pasti anak-anak sudah ada di masjid untuk mengaji. Itu artinya, Arumi juga pasti di sana. Ah rasanya semakin ke sini aku semakin tak mau berpisah dengan Arumi. Nampaknya aku memang benar-benar jatuh cinta dengan Arumi. Sungguh aku tak menyangka, aku yang beberapa bulan lalu masih mencari wanita dengan body seksi dan wajahnya cantik, justru aku jatuhkan hatiku pada wanita yang begitu tertutup dalam hal apapun, bahkan bentuk wajahnya juga tak ku ketahui. Hingga detik ini pun rasanya aku tak percaya bisa jatuh hati dengan Arumi.
Sebentar lagi masuk kawasan masjid, aku melihat Arumi berjalan dengan menggandeng seorang anak kecil perempuan. Aku ingat betul, baju yang dikenakan oleh anak itu adalah baju yang di bawa Arumi saat bertemu denganku di mall.
Sengaja aku tak menepikan mobil, tinggal beberapa meter saja sudah sampai di masjid. Lebih baik aku tunggu saja meraka di sana. Toh jika aku memberi tumpangan pada mereka belum tentu Arumi mau.
Aku menunggu dari dalam mobil saja, akan kentara sekali jika aku menunggu di luar. Aku harus sedikit meningkatkan harga diriku di depan Arumi yang sudah beberapa kali dia turunkan.
Saat aku tak sengaja melihat spion, hatiku bagiaikan di tikam dengn senjata yang paling tajam. Arumi tak hanya dengan anak kecil itu, yang ternyata adalah Caca. Kini Arumi sedang melebarkan tawanya di balik cadar dengan seorang pria. Pria yang datang menyapaku dengan ramah saat pertama kali aku datang ke sini. Aku hanya ingat dengan wajahnya, namun aku tak tahu siapa nama pria itu.
Tiba-tiba saja rasa kecewa menjalar di tubuh ku. Arumi tak pernah bersikap sebaik itu padaku. Tapi, kenapa dia bersikap baik pada pria lain? Apa itu artinya, dia memang tak suka denganku? Apa karena aku pernah menyakiti saudaranya sehingga dia juga ikut membenciku atau bagaimana? Aku mengira bahwa dia akan bersikap pada semua pria sama seperti dia memperlakukan aku.
Ibu bilang Arumi berbeda dari wanita lain. Aku pun harus mendekatinya dengan cara yang berbeda dari wanita lain. Apa bedanya jika dia bersikap begitu? Dia sama saja seperti wanita lain yang bergaul dengan pria lain juga. Tapi kenapa dia pernah mengatakan padaku bahwa dia tidak ingin berteman dengan pria mana pun? Apa jangan-jangan?
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments