Bab 7

Sejak hari dimana aku pertama kalinya menginjakkan kaki di masjid kawasan mantan kekasih ku. Aku seringkali datang ke sana. Ini adalah hari ke tiga dimana aku datang ke masjid yang setiap harinya ada wanita bercadar yang mengajar mengaji anak-anak.

Aku tak datang secara terang-terangan, aku hanya memperhatikan dari mobil. Jujur saja aku masih tak ada alasan untuk ke sana secara langsung. Aku hanya masuk masjid saat adzan maghrib berkumandang.

Semakin ke sini aku semakin mengagumi sosok wanita bercadar yang entah siapa namanya. Wanita itu sangat keibuan meskipun jika aku menebaknya dia masih berusia sedikit jauh di bawah ku.

Aku tahu dia keibuan karena jika aku perhatian anak-anak yang mengaji sangat dekat dengannya. Aku melirik jam di tangan mulus ku. Lima belas menit lagi adzan maghrib akan segera terdengar. Aku turun dari mobil dan akan bergabung dengan anak-anak.

Aku suka melihat mereka yang rajin seperti itu, melihat mereka sama seperti sedang nostalgia di masa lampau. Aku berniat akan berkenalan dengan meraka dan guru mereka juga tentunya.

Mereka semua membubarkan diri setelah aku melangkahkan kaki beberapa langkah. Aku mendekati wanita bercadar yang ku rasa dia selalu mengembalikan meja bekas anak-anak mengaji.

"Kenapa tidak suruh bantu anak-anak saja untuk membereskan? Biar mereka juga bisa belajar membantu sesama," ujarku seraya kembali membantunya untuk kedua kalinya.

"Biasakan salam terlebih dahulu akhi." Dia mengatakan itu dengan tak mengalihkan kegiatannya.

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam. Mereka masih terlalu kecil untuk saya mintai bantuan. Meja ini kan lumayan besar. Ini pasti berat untuk mereka. Terimakasih sudah membantu saya lagi ya."

"Sama-sama. Boleh aku tahu namamu?" tanyaku dengan hati-hati.

"Untuk apa tahu nama saya?"

"Kalau nggak tahu nama, itu artinya nggak kenal. Kalau nggak kenal nggak akan bisa sayang kan?"

"Maaf saya ini bukan wanita yang bisa kamu pacari. Jangan memberikan saya gombalan seperti kamu memberikan gombalan pada Diana atau wanita lainnya. Permisi, assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Luar biasa! Sepertinya aku salah langkah. Tak apa, hal ini justru membuat aku semakin penasaran dan semakin akan mengejarnya. Hati wanita seperti itu sepertinya sedikit sulit untuk di taklukan, harus ada sedikit perjuangan ekstra untuk mendapatkannya.

Aku belum tahu ini cinta atau bukan. Tapi berdasarkan apa yang aku tahu, ciri-ciri orang jatuh cinta sama dengan seperti yang aku rasakan. Bahkan perasaan yang muncul setiap kali aku menatap atau berdekatan dengannya semakin lama semakin terasa nyata.

Tapi logika ku masih saja tak mau menerima bahwa ini adalah sebuah rasa yang timbul karena adanya cinta. Baru kali ini terjadi, hati dan logika ku sudah tak berjalan beriringan. Dan itu membuat ku bingung harus bertindak bagaimana.

Aku berjalan menghampiri anak-anak yang sedang bermain. Akan aku dekati mereka untuk mencari tahu siapa guru mereka. Jujur saja aku sangat mengagumi dirinya yang memiliki profesi yang mulia. Ada yang bisa aku banggakan jika dia jadi istriku. Apa? Istri? Terlalu jauh Bari, kamu hanya mengagumi tidak mencintai. Tidak mungkin kamu jatuh cinta dengan wanita yang hanya matanya saja yang bisa kamu lihat. Logika ku mulai kembali berulah.

"Hai anak manis," sapaku pada seorang anak laki-laki yang berkulit putih.

"Iya om? Ada apa?" tanyanya

"Om boleh tahu nggak, nama guru ngaji kalian siapa sih?"

"Bu Arumi."

"Bu Arumi orangnya bagaimana? Maksudnya dia baik, suka bercanda, apa galak?"

"Baik, bu Arumi nggak pernah marah, tapi jarang bercanda juga. Lebih baik om tanyakan saja semuanya sama Caca. Itu anak yang pakai jilbab pink." Anak kecil itu memberi saran serta menunjukkan anak yang bernama Caca.

"Kenapa harus tanya dia? Kamu kan sama aja."

"Bedalah om. Caca kan...."

"Ikhsan, ambil wudhu ya. Sholat akan segera di mulai," ucap wanita bercadar itu yang entah sejak kapan berdiri di belakang kami.

"Iya bu. Om aku permisi dulu ya." Anak yang bernama ikhsan itu berlari setelah aku menganggukkan kepala.

"Arumi," panggil ku pada wanita bercadar itu saat ia kembali melangkah ke dalam masjid.

"Iya, ada yang bisa saya bantu akhi?"

Kenapa itu yang dia tanyakan? Kenapa tidak bertanya aku tahu namanya dari mana? Dan kenapa dia selalu saja memamggil aku akhi? Aku ingat betul aku pernah menyebutkan namaku saat pertama kali bertemu di masjid ini.

"Namaku Bari, Arumi. Panggil aku mas Bari."

Sengaja aku menggoda dirinya. Aku ingin tahu apakah Arumi akan tersipu malu dengan godaan ku seperti wanita lainnya. Meski aku tak melihat wajahnya, aku pasti bisa menemukan itu dari matanya yang menatap lantai. Pasti akan tergambar jelas juga dari gestur tubuhnya nanti.

"Jaga pandangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, akhi. Agar tak menambah dosa yang sudah banyak."

Jawabannya sangat tidak terduga. Untuk kedua kalinya aku gagal membuat dirinya terbang. Kenapa susah sekali mendekati dia, batinku yang sudah mulai kesal.

"Mas Bari, Arumi. Jangan panggil aku akhi," protes ku dengan penuh penekan.

"Baiklah. Sudah waktunya sholat. Permisi."

Dengan tanpa dosa dia membalikkan badan dan melangkah pergi. Sungguh aku tidak puas dengan obrolan kami barusan. Aku ingin sekali mengenal lebih jauh dengannya. Jangan tanyakan apa alasannya, karena tidak semua hal butuh alasan apalagi penjelasan.

Satu lagi fakta baru yang aku ketahui, ternyata lantunan ayat suci yang setiap habis maghrib aku dengar adalah suara Arumi. Aku baru mengetahuinya kemarin. Aku memberanikan diri untuk mengintip demi menghilangkan rasa penasaran ku. Sungguh Arumi patut diacungi jempol untuk membagi suaranya. Suaranya saat berbicara, bersholawat dan mengaji sangat berbeda meskipun dalam nada yang sama halus dan lembutnya.

Aku tak akan kemana mana setelah sholat maghrib. Sengaja aku berdiam diri duduk di dekat Arumi dan mendengarkan nada indahnya. Hari ini, sengaja aku berniat merekam suara merdunya. Entahlah, aku merasakan kenyamanan dan hatiku menghangat saat mendengar wanita itu mengaji.

Pukul 19.30

"Assalamu'alaikum Arumi," sapaku yang sudah mulai mengikuti kebiasaannya.

"Waalaikumsalam."

Wanita itu terus berjalan tanpa melihat ku barang sedikit pun. Tak apa, aku tahu sekarang apa alasannya mengapa dia seperti itu.

"Mau aku antar pulang?

"Tidak perlu Bari. Saya bisa pulang sendiri, terimakasih tawarannya."

Bari? Oh Tuhan, dia hanya memanggilku dengan nama Bari. Kenapa terdengar mesra di telinga ku? Aku sampai menghentikan langkah ku karena panggilan Arumi. Sepertinya otakku ini sudah muaki sedikit geser dari tempatnya. Sejak kapan namaku dipanggil dan itu terdengar mesra.

"Arumi tunggu," teriakku menyusul langkah cepatnya.

"Sudah malam. Tidak baik jika kita berjalan berduaan seperti ini."

"Berarti kalau siang boleh?"

"Tidak."

"Karena bukan mahramnya?"

"Iya."

"Kalau begitu biarkan aku menikahimu."

Deg deg deg

Dasar mulut sialan! Bisa-bisanya aku mengatakan itu dengan lancar dan tanpa dosa.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!