15. Tidak Sesuai Yang Diinginkan

Bell pulang sekolah berbunyi, semua siswa satu persatu mulai pergi meninggalkan area sekolah. Begitu juga dengan Shabira yang kini memilih menunggu jemputan nya di halte, karena sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup. Tampaknya, Renita juga sudah pulang bersama teman sekelasnya tadi.

Langit di sore hari ini mulai mendung, gemuruh mulai terdengar dari kejauhan. Shabira menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Akan tetapi, supir yang biasa mengantar jemput dirinya belum juga sampai hingga detik ini.

Duh lama banget sih!

Shabira mulai gusar, melihat langit sudah semakin mendung. Biasanya supir akan menghubunginya jika tidak bisa menjemput, tapi sampai sekarang ia tidak mendapatkan kabar apapun. Shabira menghela nafasnya, mengedarkan pandangan menatap jalan yang sudah mulai menyepi.

Dari kejauhan, tampak Austin sedang duduk di atas motornya. Pandangannya menangkap sosok Shabira masih duduk di halte bus. Cukup lama Austin memperhatikannya. Hingga akhirnya, cowok itu melajukan motornya dan pergi meninggalkan area sekolah ketika Shabira menyadari keberadaannya.

Ish bukannya dianterin malah kabur. Nggak ada care-nya banget lo sama calon tunangan sendiri!

Shabira menggerutu kesal, melihat Austin justru memilih pergi meninggalkan dirinya. Shabira mengelus dada, mencoba sabar dengan sikap cuek Austin padanya hingga detik ini. Tanpa gadis itu sadari, seorang cowok kini sudah berdiri di belakangnya.

"Ekhem, lagi nunggu jemputan ya neng?"

Mendengar suara itu, seketika Shabira menoleh. Terlihat Dion sudah berdiri di sampingnya seraya tersenyum manis. "Dion? Ya elah gue pikir siapa?" ucap Shabira.

"Emang lo ngarepin siapa? Jangan-jangan bukan gue lagi?" ucap Dion seraya bertanya.

Shabira menyengir lebar. "Bukan gitu juga, gue pikir orang jahat tadi!" ucapnya.

"Mana ada orang jahat seganteng gue?" Dion menaik turunkan alisnya, memasang wajah penuh sombong. Melihat hal itu membuat Shabira seketika tertawa, tidak habis pikir.

"Eh btw udah mau ujan nih, biar gue anterin pulang aja gimana? Lagian supir lo belum jelas juga kan kapan sampainya?" tawar Dion, merasa tidak tega jika meninggalkan Shabira di saat mendung seperti ini.

"Emang nggak papa? Maksudnya, nggak ngerepotin?" tanya Shabira.

"Ya nggak papa lah, orang cuma nganterin doang juga!" Dion terkekeh mendengar pertanyaan kaku Shabira. "Ayok gue anterin!"

Shabira mengangguk, kemudian beranjak mengikuti ke mana langkah Dion pergi. Tampak mobil cowok itu masih terparkir di area depan sekolah, Shabira dan Dion berjalan beriringan hingga sampai tujuan. Di dalam mobil, tanpa menunggu lama Dion langsung tancap gas menuju rumah Shabira.

*********

"Mah, biar Ren bantu potongin sayurnya ya!"

Senyum ceria masih terukir di bibir Renita, gadis cantik itu berniat ingin membantu Mama-nya yang sedang memasak di dapur. Entah mengapa, hari ini hatinya tengah begitu bahagia. Seolah dewi kebahagiaan dan keberuntungan sedang berpihak padanya.

"Emang kamu bisa?" tanya Mama Shinta.

Selama ini, kedua putrinya memang sangat jarang sekali membantu dirinya di dapur. Kesibukan Renita dan Shabira untuk belajar membuat mereka tidak bisa melakukan aktivitas dengan santai, termasuk dalam masak memasak. Mama Shinta bahkan ragu dengan kemampuan memasak kedua putrinya saat ini.

"Bisa dong Mah, bisa ngerusakin!" canda Renita kemudian tertawa. "Makanya Mama kasih tau dulu caranya, biar Ren nggak bingung."

"Ya udah, Mama bantuin gimana caranya nanti!" jawab Mama Shinta seraya memotong bawang merah.

Tidak berselang lama, terlihat Papa Antonio berjalan memasuki dapur. Melihat istri dan anaknya sedang bercanda gurau bersama membuatnya menyunggingkan senyum bahagia. Antonio berjalan mendekati keduanya.

"Lho Papa udah pulang kok Mama nggak tau?" ucap Mama Shinta terkejut melihat kehadiran suaminya.

"Udah pulang dari tadi kok Ma, Mama aja yang dari tadi sibuk di dapur!" jawab Renita.

"Hari ini Papa emang pulang lebih awal, Ma!" jawab Papa Antonio tersenyum seraya mengelus puncak kepala Renita. "Oh iya, Shabira di mana?"

Senyum yang tadinya terukir di bibir Renita seketika menghilang. Selalu saja Papa Antonio mencari keberadaan Shabira di saat-saat kebahagiaan dirinya. Bagaimanapun juga, Renita hanya ingin Papa memperhatikan dirinya dan Mama Shinta saat ini. Ia ingin Papa Antonio sejenak melupakan kehadiran Shabira di keluarganya. Egois memang, tapi itulah yang kerap kali diinginkan Renita ketika sedang bersama Mama dan Papa.

"Shabira masih di kamar Pa, kayaknya lagi mandi!" jawab Mama Shinta sambil memotong sayuran.

Papa Antonio mengangguk mengerti. "Ya udah Ma, kalo gitu Papa ke kamar Shabira dulu ya!" pamitnya.

Mama Shinta mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali memotong sayuran ketika melihat suaminya sudah pergi meninggalkan dapur. "Kamu kenapa, sayang?" tanyanya pada Renita.

"Hah?" Renita menatap Mama dengan bingung. "Kenapa apanya? Ren nggak papa kok Ma!" jawabnya.

"Oh nggak papa, Mama pikir kamu marah tadi." Sebenarnya Mama Shinta sempat melihat adanya perubahan di raut wajah Renita ketika Papa Antonio bertanya soal keberadaan Shabira tadi.

"Marah? Memangnya kenapa aku harus marah?" Renita mengelak, mana mungkin ia berani mengungkapkan keinginannya itu dihadapan sang Mama.

"Mama cuma mau berpesan sama kamu, jangan pernah marah ketika Papa menanyakan Shabira padamu. Meskipun kalian bertiga lahir di rahim yang berbeda, kalian tetap anak Mama dan Papa. Sampai kapanpun, Mama dan Papa akan tetap menyayangi kalian berdua. Jadi, jangan pernah mengecewakan kami ya." Mama Shinta memegang kedua bahu Renita, mencoba memberikan nasihat kepada putrinya. Ia tidak ingin ada kata iri di hati anak-anaknya, karena itu hanya akan merusak keharmonisan di dalam rumah tangganya.

*********

Sementara di sisi lain, Papa Antonio kini sudah berada di dalam kamar Shabira. Pria itu sedang menatap nilai hasil ulangan milik Shabira dengan wajah datar. Lagi dan lagi, Shabira selalu mendapatkan nilai yang tidak cukup memuaskan baginya. Kali ini nilai ulangan Shabira memang termasuk lebih tinggi dari biasanya. Akan tetapi, Antonio justru marah setelah melihat hasilnya.

Brakk

Bunyi benturan keras terdengar ketika tiba-tiba saja Antonio melempar buku tersebut dengan asal. Pandangannya menatap tajam pada Shabira, kemudian mendekat dan mencengkeram kedua bahu gadis itu. Antonio marah, merasa sangat kecewa dengan kemampuan putrinya.

"Mau sampai kapan nilaimu akan serendah itu terus hah?! Mau sampai kapan?!" bentak Antonio bertanya.

"Maksud Papa apa?" Shabira meringis merasakan sakit di kedua bahunya. "Bukannya itu udah jauh di atas nilaiku sebelumya?"

"Dasar anak bodoh, sampai kapan kamu akan seperti ini terus! Papa sudah bilang, kamu harus rajin belajar biar bisa mengerjakan soal. Tapi kenapa kamu tidak mau mendengarkan Papa?!" bentak Antonio lagi.

"Kata siapa aku nggak dengerin ucapan Papa?!" Karena kesal dengan sikap Papanya, Shabira kini ikut meninggikan suaranya.

"Lalu apa itu? Kenapa kamu selalu mendapatkan nilai jauh di bawah Renita?!" Antonio menunjuk ke arah buku yang sudah teronggok di lantai, mata tajamnya kembali menatap pada Shabira. Sebelumnya, pria itu memang sudah memeriksa nilai hasil ulangan Renita yang begitu sempurna jauh di atas nilai Shabira.

"Renita lagi, kenapa Papa selalu membandingkan aku dengan Renita. Kita berdua orang yang berbeda kalo Papa lupa!" Shabira balik menatap tajam Papa Antonio, tidak peduli jika hal itu justru semakin membuat Antonio marah besar. "Papa selalu marah meski berapa pun nilai yang aku dapet, sepenting itukah nilai sekolah bagi Papa. Bahkan sekali pun Papa nggak pernah menghargai hasil kerja kerasku selama ini. Yang ada Papa selalu marah, marah dan hanya bisa marah hanya karena nilaiku jauh di bawah Renita!" teriak Shabira.

Plakk

Shabira memejamkan matanya, tamparan keras baru saja mendarat di pipinya. Rasa panas dan perih menjalar di permukaan wajahnya. Tanpa merasa kasihan, Antonio masih menatap tajam putrinya. Baru kali ini ia melihat Shabira berani meninggikan suaranya. Namun, Antonio justru tidak menyukai hal itu, meski yang Shabira lakukan hanya untuk membela dirinya sendiri.

"Kerja keras katamu, lalu apa ini?" Antonio menunjukkan sebuah foto, dimana tampak ada Shabira dan Dion sedang berada di taman beberapa hari yang lalu. "Ini yang kamu bilang kerja keras hah?" bentaknya.

Shabira balik menatap Papanya dengan penasaran. "Papa dapat dari mana foto itu? Dari Renita?" tebaknya.

"Apa pentingnya Papa dapat foto ini dari mana! Ingat Shabira, sebentar lagi kamu akan bertunangan dengan Austin. Jadi mulai sekarang jauhi anak ini sebelum Tuan Ray tahu!" ucap Papa Antonio memperingatkan.

"Jadi bener, Papa dapet foto itu dari Renita?" Shabira tersenyum miris, masih memegangi pipinya yang baru saja ditampar oleh Papa kandungnya sendiri. Antonio tidak menjawab sama sekali, karena tebakan Shabira memang benar adanya. "Kalo Papa nggak tau apa-apa, sebaiknya Papa cari tau dulu akar permasalahannya. Jangan hanya karena Renita putri kesayangan Papa, Papa jadi bisa dengan gampangnya percaya sama dia!"

Antonio terdiam menatap wajah penuh amarah milik putrinya. Shabira yang dulunya hanya seorang gadis penurut, kini berubah menjadi gadis yang sangat pemberani. Gadis itu bahkan tidak menangis sama sekali setelah mendapat tamparan keras darinya, sangat jauh berbeda dari Shabira yang dulu.

"Shabira! Mau ke mana kamu? Berhenti!"

Antonio berteriak, ketika melihat putrinya berlari meninggalkan kamar. Gadis itu bahkan tidak peduli lagi dengan ucapan dan perintah Papanya. Pandangan Antonio beralih menatap pada tangan kanan yang sebelumnya ia gunakan untuk menampar pipi putrinya. Kini Antonio baru menyadari, dirinya sudah bersikap sangat keterlaluan pada Shabira.

🎀🎀🎀

Sambil menunggu HTKS up, mampir dulu yuk ke karya keren di bawah ini.

Judul : Tiba-tiba Istriku Berubah

Napen : kisss

"Kalau bukan karena bakti ku pada kedua orang tua. Sudah dari dulu aku tinggalkan Hanna!" ujar Reza jujur.

Pria itu tak memiliki perasaan apapun pada Hanna. Tidak ada perasaan berdebar-debar dan gugup saat berdampingan dengan istrinya itu.

Rasanya hambar, bahkan ada dan tiada Hanna, dia merasa akan baik-baik saja.

Degg.

Hanna memeluk erat kotak bekal yang ia bawakan untuk Reza. Mata wanita itu menganak sungai, tak pernah ia sangka akan mendengar kata-kata menyakitkan dari lisan suaminya sendiri.

Ternyata selama ini dia tak lebih hina dari noda hitam yang menempel di pakaian suaminya.

Apa salahnya? Apa kekurangannya?

Sehingga, suaminya tega berkata seperti itu pada temannya sendiri.

"Baiklah, Mas. Cukup sampai detik ini aku berusaha menjadi istri yang baik untukmu. Percuma aku berusaha mendapatkan hatimu, kalau aku tak lebih dari noda hitam di matamu!"

"Akan aku tunjukkan apa noda hitam itu sebenarnya! Jangan salahkan aku berubah. Karena kamu sendiri yang telah membuat aku berubah!" gumam Hanna seraya menghapus air matanya yang mengalir di pipi.

...Sampai bertemu di cerita HTKS selanjutnya 👋🏻...

Terpopuler

Comments

Mpok Nana

Mpok Nana

Kok papa jahat ya,, malah percaya sma anak tiri, juga lbih membanggakan anak tiri.

bagus shabira minggat aja yg jauh buat si papa kejam itu menyesal, & tersiksa krn sikapnya sndiri.
kok aku jengkel ya ama si Renita, huffth

2022-05-24

1

Ratna Komalasari

Ratna Komalasari

lanjut lg yg buanyak oke😉💪

2022-05-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!