Setelah cukup lama menghabiskan waktu di depan kaca, Shabira kini merasa puas ketika mendapati hasilnya. Gadis itu berhasil merubah penampilannya menjadi jauh lebih cantik dari sebelumnya. Jika biasanya Shabira selalu menguncir bawah rambutnya, kini ia dengan berani menggerai rambut lurusnya yang sudah sedikit diperbaiki volumenya.
Merasa sudah siap untuk berangkat sekolah, Shabira langsung menyambar tasnya. Kemudian, dengan semangat gadis itu keluar menuju meja makan. Seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul untuk sarapan pagi. Dapat terlihat, kini semua anggota keluarga menatap Shabira dengan tanda tanya besar yang seolah muncul di atas kepala mereka.
"Pagi semua!" Shabira menyapa dengan senyum manis, kemudian mendudukkan diri ditempat yang masih kosong.
"Wow Shabira ini kamu?" tanya Justin yang kini duduk di samping gadis itu.
"Kalo bukan aku lalu siapa lagi?" jawab Shabira seraya mengambil makanannya.
"Aku pikir anak janda sebelah!" celetuk Justin lalu terkekeh melihat Mama Shinta melototi dirinya.
"Sembarangan kamu!" Bukan, bukan Mama Shinta yang menegur Justin. Melainkan Papa Antonio yang sejak tadi masih terkagum melihat perubahan putrinya yang terkesan sangat tiba-tiba. "Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu jadi secantik ini?"
Shabira mengerutkan keningnya melihat Papa yang seolah tidak menyukai perubahan penampilannya. "Papa nggak suka aku kayak gini?" tanya Shabira.
"Ah bukan-bukan, bukan seperti itu maksud Papa. Justru Papa sangat senang kamu seperti ini, jauh lebih cantik dari Shabira yang dulu." Papa tersenyum bangga, sambil mengusap puncak kepala putrinya.
"Makasih Pa, tapi apa bandana ini cocok untukku?" Shabira menunjuk bandana berwarna hijau di kepala, mencoba mengetes Papa akankah mau menjawabnya.
"Eum Papa rasa tidak perlu, Papa lebih suka kamu sedikit natural."
Tanpa diduga, Papa Antonio justru menanggapinya dengan antusias. Meski sejak dulu sering kali kedapatan memarahi putrinya, sebenarnya Papa Antonio selalu memperhatikan Shabira dengan caranya sendiri. Sekali lagi, Shabira dengan sengaja mengajak pria itu bicara. Hebatnya, lagi dan lagi Papa kembali menanggapinya, hingga cukup lama mereka berbincang mengabaikan yang lainnya.
"Ekhem, Pah. Udah jangan ngobrol terus, nanti keburu siang!" Melihat suami serta anaknya masih sibuk mengobrol, Mama Shinta akhirnya ikut angkat bicara. Bukan karena apa, Mama Shinta hanya tidak mau anak-anaknya terlambat datang ke sekolah, karena waktu sudah semakin siang.
"Astaga Papa lupa!" Tersadar, Papa Antonio hanya terkekeh kemudian mengambil lauk lalu diletakkannya di piring Shabira. "Makan yang banyak!" lirihnya pada Shabira.
"Makasih Pa!" Shabira tersenyum puas. Untuk pertama kalinya ia bisa mengobrol panjang lebar dengan Papanya tadi.
Diam-diam Shabira melirik ke arah Renita yang sejak tadi memasang wajah datar. Shabira sangat tahu apa yang membuat Renita bersikap demikian. Di depan semua orang, Renita memang selalu bersikap baik pada Shabira. Namun, kebaikan itu tidak berlaku di dalam hatinya.
Bukankah itu yang selalu tokoh antagonis lakukan? Renita memang selalu melancarkan aksinya dengan cara yang sangat halus, itulah mengapa Shabira harus lebih berhati-hati untuk kedepannya. Sudah dipastikan Renita akan kembali berulah, mencoba menghasut Papa Antonio secara halus, agar terus menyalahkan Shabira.
"Kalian berdua juga makanlah!" ucap Antonio pada Justin dan Renita. "Khusus hari ini biar Papa aja yang antar Shabira dan Renita ke sekolah."
Merasa hubungannya sudah cukup baik dengan putrinya, Antonio berinisiatif mengantarkan Shabira dan Renita ke sekolah. Kedua gadis itu memang bersekolah di tempat yang sama, yaitu SMA Trisatya. Tempat berkumpulnya orang-orang elite menyekolahkan anak-anak mereka. Keluarga Shabira memang masuk dalam kategori orang kaya, karena Antonio adalah seorang CEO di perusahaan properti, LRence Grup.
"Pah, hari ini aku berangkat sama Kak Justin aja ya," ucap Renita di sela makannya.
"Lho kenapa? Bukannya Justin naik motor ke kampus? Biasanya kamu lebih suka naik mobil?" tanya Papa Antonio heran.
"Aku mau beli buku dulu, kalo naik motor bisa lebih cepet ke sekolah nanti!" jawab Renita seraya tersenyum tipis.
"Oh begitu ya." Antonio menganggukkan kepalanya, cukup bangga dengan putrinya yang selalu mengutamakan belajar hingga nilainya selalu di atas sembilan puluh bahkan seratus. "Lihat Shabira, kamu cobalah mencontoh Renita. Dia selalu mengutamakan belajar, hingga nilainya selalu tinggi!" kata Antonio. Dalam diam Renita tersenyum penuh kemenangan.
"Aku pikir nilai bukanlah segalanya, masih ada kejujuran serta kepercayaan yang harus lebih diutamakan!" ucap Shabira setengah menyindir.
"Apa maksudmu?" tanya Papa Antonio.
"Papa percaya kan sama aku?" tanya Shabira. Papa Antonio menganggukkan kecil. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin!" ucapnya.
Antonio tersenyum senang. "Papa percaya kamu bisa!" ucapnya sambil mengusap puncak kepala Shabira.
Semua orang kembali melanjutkan makannya, dengan perasaan masing-masing. Dalam hati Renita menggerutu, melihat keakraban yang ditunjukkan Papa Antonio hanya untuk Shabira. Sementara Shabira dengan santai memakan sarapannya, merasa sudah menang dari Renita yang berusaha mengompori Papa secara halus.
**********
Mobil yang di kendarai Antonio baru saja memasuki area sekolah, setelah menempuh jarak yang cukup jauh. Setelah berpamitan dengan Papanya, Shabira langsung keluar dari mobil karena waktu sudah semakin siang. Bel pembukaan pelajaran pun sudah berbunyi, Shabira berjalan santai melewati koridor yang masih tampak beberapa gerombolan siswa di sana.
"Wih siapa tuh cantik banget?"
"Ada anak baru ya?"
"Bukannya itu Shabira, anak kelas XII IPA 1."
Terdengar ditelinga Shabira, beberapa cowok di sana mulai membicarakan dirinya. Gadis yang biasanya tidak pernah dianggap ada, kini menjadi pusat perhatian semua orang di sana. Shabira berjalan santai seraya menunjukkan pesonanya. Serentetan pujian yang dilontarkan para siswa terdengar begitu merdu di telinga. Shabira terus berjalan, hingga tiba-tiba seorang gadis berteriak memanggil namanya.
"Shabira!"
Shabira menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang. Terlihat seorang gadis cantik bermata bulat berjalan cepat ke arahnya, rambut coklatnya bergerak ke sana kemari seiring dengan langkahnya. Shabira tersenyum manis, menyambut kedatangan Shafana Lee, satu-satunya teman yang mau berdekatan dengannya di sekolah ini.
"Ra, ini benaran lo?" tanya Shafa setelah sampai di depan Shabira.
"Menurut lo siapa?" jawab Shabira bertanya.
Seketika Shafa membulatkan matanya, tangannya bergerak menutup mulutnya yang melongo lebar. "Oh my goodness, Shabira ini beneran lo?"
Shabira hanya terkekeh lalu menganggukkan kepalanya. "Gimana penampilan gue?" tanyanya.
"Lo ... perfect banget please, gue nggak nyangka lo bakal jadi secantik ini!" jawab Shafa heboh. "Dan bahasa lo udah nggak kaku lagi kayak dulu. Kenapa lo, abis kesurupan Nyi Rara Jongrang?"
"Hus sembarangan kalo ngomong," tegur Shabira tidak terima.
Shafa terkekeh kecil, kemudian berkata, "Abisnya lo beda banget, biasanya juga pake aku kamu kalo ngomong."
"Pengen coba hal baru aja gue," ucap Shabira sambil melangkahkan kakinya menuju kelas.
"Serius tapi lo cantik banget sumpah, biasanya rambut lo keliatan kusut lepek gitu. Tapi sekarang keliatan jadi bervolume banget, hitam lurus gitu!" ucap Shafa.
Shabira hanya menanggapinya dengan senyuman, meski dalam hati tengah berbunga-bunga. Baru kali ini ia mendapatkan pujian seperti ini, bahkan Papanya pun terus memuji dirinya saat di mobil tadi. Salah satu hal yang belum pernah Shabira dapatkan setelah kepergian ibunya. Sejak dulu gadis itu hanya mendapatkan cacian dari semua orang, lantaran tidak bisa menjaga penampilannya yang terkesan sangat tidak terurus.
Sesampainya di depan kelas, Shabira dan Shafa yang baru masuk langsung dihadang oleh tiga orang gadis cantik yang biasa nongkrong di depan kelas. Shabira masih bersikap santai, meski ia tahu jelas siapa orang yang ada di hadapannya itu. Berbeda dengan Shafa yang kini memilih diam di samping Shabira. Semua orang juga tahu, tiga gadis itu sangat hobi dalam membully siswa lemah. Dan sasaran utamanya jelas Shabira yang memang dulunya seorang gadis yang pendiam dan lemah.
"Masih idup juga lo, gue kira udah mati!" Ronna, salah satu diantara gadis itu tergelak melihat Shabira ternyata masih berdiri tegak di hadapannya.
"Mungkin dia kangen sama lo, Ron!" Milka, salah satu sahabat Ronna ikut menyahut kemudian terkekeh.
"Kali ini biar gue aja yang urus!" Bella melangkahkan kakinya mendekati Shabira, seraya menyeringai penuh arti.
"Pergi lo, ngapain masih di situ!" Melihat Shafa masih berdiri di tempatnya, Ronna langsung mengusirnya sambil mendelik. Shafa yang memang dasarnya gadis penakut memilih pergi sebelum dirinya terlibat masalah dengan geng Ronna.
"Mau apa lo?" Tanpa rasa takut, Shabira menatap datar Bella yang kini berdiri dekat di depannya.
Bella terkejut mendengar nada bicara Shabira yang sangat berbeda dari biasanya, namun sedetik kemudian ia terkekeh lalu menoleh ke arah dua sahabatnya berada. "Apa gue nggak salah denger tadi?" tanyanya semakin merasa tertarik.
"Lo nggak salah denger kok Bel, kayaknya anak pungut udah jadi ratu di rumahnya!"
Benar kata Ronna, seluruh siswa di sekolah juga tahu kalau Shabira hanyalah anak pungut dari keluarga Lawrence. Sejak masuk ke sekolah menengah atas, satu persatu kabar miring tentang Shabira selalu muncul di setiap tahunnya. Itulah mengapa gadis itu selalu dikucilkan oleh teman-temannya, mereka semua menganggap Shabira hanyalah parasit di keluarga Lawrence.
"Oh ya? Wah kayaknya harus ada perayaan besar nih!" kata Bella.
"Ya lo liat aja penampilannya? Sok kecakepan gitu," sahut Ronna tidak suka.
"Emang gue cakep! Kenapa? Lo iri ya?" Shabira dengan santai menatap ke arah Ronna. "Makeup lo luntur tuh, codetnya keliatan!" ucapnya.
Seketika Ronna membulatkan matanya, kemudian dengan cepat mengambil kaca di dalam sakunya. Memeriksa keadaan pipinya yang memang pada dasarnya terdapat bekas luka yang cukup besar. Dan ternyata struktur makeup yang digunakannya masih kokoh untuk membentengi kulit wajahnya. Shabira seketika tergelak penuh kemenangan.
"Kasian, cantik-cantik codetan!" cibir Shabira kemudian melangkahkan kakinya menuju mejanya. Sebenarnya Shabira tidak ingin menghina fisiknya, tapi apa salahnya membalas perbuatan mereka yang suka semena-mena.
"Sialan lo!" Tidak terima mendapat hinaan dari Shabira, Ronna melangkah mendekati gadis itu hendak menjambak rambutnya.
Sadar akan penyerangan itu, Shabira segera menghindar. Membalikkan badannya lalu menepis tangan Ronna dengan cepat. "Jangan pernah sentuh, rambut gue!" tekan Shabira.
"Gue nggak butuh izin dari lo!"
Ronna hendak kembali melancarkan aksinya, melayangkan tangannya hendak menampar Shabira. Tanda luka di pipinya memang sangat sensitif bagi Ronna. Semua rasa sakit itu akan terasa ketika ia melihat bekas luka menyayat itu. Dan itu menjadi alasan utama yang membuatnya menjadi gadis nakal seperti sekarang, selain dari pengaruh setiap orang dilingkungan hidupnya.
Shabira menatap tajam Ronna, setelah dengan mudahnya ia menangkap dan mencengkeram tangan gadis itu. "Udah gue bilang, jangan pernah ganggu gue lagi!" ucapnya menekan.
Ronna meringis merasakan sakit di pergelangan tangannya, namun hal itu tidak meredupkan tatapan tajamnya pada Shabira. "Semakin lo kayak gini, gue semakin tertarik buat hancurin hidup lo!" ucapnya.
"Coba aja kalo bisa!" Shabira menyeringai tepat di depan wajah Ronna, tangannya masih mencengkeram kuat pergelangan tangan gadis itu.
"Lepas!" kata Ronna sembari menarik tangannya.
Sesuai permintaan, Shabira melepaskan cengkraman tangannya. Namun karena terlalu tiba-tiba, hal itu justru membuat Ronna yang belum siap seketika terjatuh ke lantai. Wajah Shabira dibuat terkejut, walau kenyataannya itu adalah tujuan awal yang ingin ia lakukan.
"Ups sorry!" kata Shabira pura-pura tidak sengaja.
"Sialan, berani banget lo sama Ronna!"
Kini giliran Milka dan Bella yang bertindak, tentu mereka tidak terima melihat sahabatnya diperlakukan demikian oleh Shabira. Bagi Shabira melawan ketiga gadis itu tidak begitu sulit. Meski tidak memiliki pengalaman dalam dunia persilatan, namun kekuatan tangan Shabira cukup kuat untuk menghalau keduanya.
Hingga detik ini, gadis itu masih mampu mendominasi. Namun karena kelalaiannya, ia malah tidak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri yang tidak sengaja terlepas. Gadis itu seketika kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya...
Brukk
Shabira terjatuh, wajahnya tepat di depan sepasang sepatu berwana hitam yang tampak sangat mulus. Perlahan gadis itu mendongakkan kepalanya, tampak seorang cowok tampan tengah menunduk menatap datar ke arahnya. Austin, cowok dingin dan datar itu tampak diam saja melihat Shabira jatuh di hadapannya. Bukannya membantu, Austin justru melenggang pergi meninggalkannya yang masih mematung di tempat.
"Sial, bukanya bantuin malah ninggalin!" omel Shabira lirih.
Gadis itu beranjak berdiri kemudian memegangi dadanya yang tiba-tiba berdetak dengan kencangnya. Awalnya Shabira merasa aneh, namun sedetik kemudian barulah ia menyadari kalau sudah sejak lama hatinya memendam rasa untuk cowok dingin itu. Austin Lloyd, protagonis pria utama yang berperan sebagai cinta dalam diam Shabira. Dulu Shabira diam-diam selalu memperhatikan kegiatannya, namun tidak pernah berani untuk mengungkap perasaannya.
Aish kenapa juga aku harus menyukainya sekarang. Memang sih dia yang paling tampan, tapi tetap saja dia dingin dan ... merugikan!
Shabira membatin sembari menatap Austin yang tengah menuju mejanya, tangannya masih berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup dengan kencangnya. Tiba-tiba, segerombolan siswa masuk dengan terburu-buru ke dalam kelas. Menyadarkan Shabira dan menghentikan Ronna dan kedua sahabatnya yang hendak kembali mengganggu Shabira.
"Bu Rina dateng!" ucap salah satu siswa laki-laki.
Mau tidak mau Rona mengurungkan niatnya, kemudian kembali ke mejanya. Bagaimanapun juga ia tidak ingin perbuatannya ketahuan oleh guru, apalagi oleh Bu Rina yang terkenal sangat galak berbeda dengan guru-guru lainnya.
"Shabira, ngapain kamu masih berdiri di sini?" tegur Bu Rina yang baru memasuki kelas.
"Ah iya Bu, maaf!" ucap Shabira.
Gadis itu berjalan menuju mejanya, tampak seorang cowok berkacamata bulat sudah duduk di sana. Ya, sejak duduk di bangku kelas XII IPA 1, Shabira memang selalu duduk bersamanya, cowok nerd bernama Bobby itu. Bukan, bukan Shabira yang menginginkannya. Tapi teman-teman kelasnya yang sudah mengatur demikian. Saat itu Shabira yang penakut tidak mampu melakukan apa-apa, alhasil sikap ini semua yang ia dapatkan dari teman-temannya.
🎀🎀🎀
...Sampai bertemu di cerita HTKS selanjutnya 👋🏻...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Mpok Nana
Suka
2022-05-08
0
Mpok Nana
Makin suka.
2022-05-08
0
IG: @author_ryby
sedih banget votenya masih kosong 😭
2022-05-02
1