“Layanan 112.”
“Anak saya kejang-kejang.” kata Reksa dengan suara tertahan dan tegang.
Operatornya tidak basa-basi dan langsung ke poin. “Baik. Alamat bapak dimana?”
Reksa melaporkan alamatnya tanpa jeda dan sambungan berbunyi tut sebentar sebelum tersambung lagi.
“Layanan darurat, Ada..”
“Anak saya kejang-kejang.” Urat biru tercetak di dahi Reksa.
“Baik, posisikan anak bapak sesuai instruksi saya sambil menyalakan timer.”
“Ngga ada timer!”
“Baik.” orang di seberang tidak banyak berkata dan langsung memberi instruksi. Setelah selesai dia kembali bertanya.
“Sudah berapa lama kejangnya?”
“Sekitar empat menit.”
“Apakah anak bapak muntah atau lehernya kaku?”
“Anak saya ngga muntah, dan lehernya ngga kaku,”
“Baik. Ambulan terdekat berjarak 10 menit perjalanan,” operator belum sempat menenangkan sebelum Reksa berseru.
“Sepuluh menit?! Sepuluh menit anak saya gimana!!” Reksa berteriak. Untungnya operator itu sudah berpengalaman. Headsetnya sudah diturunkan sejak Reksa membuka dengan kalimat ‘Se–’
“Iya, bapak coba diperiksa apakah anaknya demam atau tidak.”
Reksa langsung memeriksa dahi anaknya. “Demam,”
Operator di seberang nampak telah terlatih menghadapi situasi ini dan langsung mengambil alih kendali.
“Bapak sekarang ambil termometer untuk mengukur demamnya, siapkan juga handuk basah untuk menurunkan panas badannya.
“Bapak tidak perlu khawatir, kejang saat demam pada anak bukan hal yang langka dan sejauh ini tidak membahayakan.”
Artinya keadaan bisa sampai membahayakan?
Reksa menghamburkan isi kotak P3K dan mengambil termometer sebelum membawa handuk basah. Sera di atas ranjang masih kejang meskipun sudah dalam posisi miring. Mata Reksa memerah menyaksikannya. Bahkan saat demikian pun, Sera tidak mengeluarkan sedikit pun suara. Bagaimana kalau dia tidak memeriksa kamera? Dia mungkin tidak akan pernah tahu.
“Obatnya apa, saya harus kasih apa!” kata Reksa mengeritkan gigi.
“Selama kejang bapak jangan kasih obat apapun karena takutnya lidah anak tergigit.” Kata operator cepat saat mendengar nada Reksa mulai sedikit pecah. Untunglah hal itu tidak bertahan lama. “Baik bapak, ambulans-nya tinggal seratus meter lagi dari tempat bapak. Apakah kejangnya masih berlangsung?”
“Kejangnya. Masih.”
“Selain panas, sebelumnya apakah ada batuk atau gejala lainnya?” meskipun Reksa merasa kesal dengan rentetan pertanyaan ini, dia tahu dia tidak bisa apa-apa saat ini selain menjawab.
“Tidak ada.” kata Reksa cepat. “Anak saya lagi tidur waktu kejang dan dia tidak bangun.”
“Baik. Apakah ini kejang pertama yang anak bapak alami?”
“Saya…” Reksa mengerutkan kening, greget ingin meledak. Dia tidak tahu. “Biar saya tanya dulu.”
“....” ini kan anakmu, masa tidak tahu?
Reksa mengambil ponsel keduanya dan menelepon Chacha. Untungnya mendekati tengah malam. Chacha sedang istirahat shift sehingga telponnya langsung di angkat. Setelah bertanya cepat dia langsung menutup telepon dan kembali ke operator. “Anak saya pernah kejang waktu usia satu tahun.”
“Baik. Apakah sebelum ini dia ada sakit flu atau lainnya?”
“Anak saya sehat.” kata Reksa. “Anak saya sudah berhenti kejang!” lanjutnya cepat.
Operator di seberang tidak kehilangan kesabaran sama sekali. “Baik pak, kejangnya hampir sepuluh menit saya sarankan untuk di periksakan ke dokter. Bagaimana dengan vaksin, apakah anak bapak ikut vaksin beberapa waktu dekat ini?”
Reksa kembali menelepon Chacha untuk menjawabnya sebelum dia mendapatkan jawaban. “Anak saya ngga habis di vaksin.”
“Baik, Bapak tenang saja, kejang-kejang ini tidak mengancam. Ambulansnya sudah sampai. Laporannya akan saya berikan pada dokter, ya, Pak. Kalau kejangnya sudah berhenti dan badan anaknya sudah tidak kaku lagi, bapak bisa gendong anaknya,”
Mendengar itu, Reksa langsung menggendong Sera setelah memastikan kejangnya berhenti dan bergegas ke lift untuk menjemput ambulan di bawah. Melupakan ponselnya di atas ranjang.
Operator: “.....Semoga anak bapak segera sehat lagi ya, Pak.”
**
Reksa duduk di depan dokter, sementara Sera sedang terbaring di infus di kamar lain. Wajahnya yang suram semakin gelap mendengarkan diagnosis dokter, meskipun dia tidak menyela sama sekali dan serius mendengarkan.
Alisnya tertaut dan matanya seperti siap menerjang. Si Dokter dengan sadar diri berucap perlahan, membuang kalimat yang kemungkinan memprovokasi orang di depannya.
“Anak bapak sehat, dan demamnya sudah mulai turun. Dalam dua-tiga jam sudah boleh pulang.”
“Kenapa anak saya kejang-kejang begitu, Dok?” pertanyaan ini sudah ditanyakan lebih dari lima kali. Dokter mengambil napas sekali lagi.
“Iya, kejang anak bapak dalam kasus ini terjadi karena demam tinggi yang diderita.” Dokter berhenti sampai sana. Dia sudah menjelaskan sebab-sebab demam sebelumnya.
“Kalau anak saya demam lagi masa dia akan terus-terusan kejang?”
“Tentu saja tidak bapak. Demam itu tandanya sistem imun sedang berusaha mengusir virus. Jadi selama demamnya berhasil turun, anak akan baik-baik saja. Anak biasanya kejang satu kali…,” melihat Reksa yang melotot, dokter langsung menyambung kalimatnya. “Dua kali pun masih ternilai aman dan tidak beresiko memiliki penyakit mematikan.” selama syaratnya terpenuhi, tambah dokter dalam hati.
Mendengar itu barulah Reksa berhenti duduk tegak dan bersandar di kursi. Dia mengangguk-angguk, lalu tiba-tiba dia terpikir. “Kalau kejangnya terlalu sering, bagaimana Dok?”
“.....” Dokter itu berkedip sekali sebelum cepat berkata. “Meskipun kali ini anak bapak kejangnya kompleks tapi tidak apa-apa.” entah berapa kali dokter sudah mengulang kalimat ini. Si Dokter merasa kalau dia langsung terjun ke topik 'bahaya', dia akan terancam. Jadi dia berusaha menambah wawasan Reksa lebih dulu. “Adapun kalau anak bapak kejang tanpa demam baru itu berbahaya. Selain itu demam-kejang terjadi antara 2-4 persen anak…”
“Ya, ya, ya 2-4 persen anak yang kurang dari lima tahun. Saya tahu. Dokter sudah mengulangnya empat kali, saya dengar. Ini kali kedua anak saya kejang-demam, itu kenapa?”
“Ada banyak kemungkinan, bisa jadi waktu demam-kejang pertama kali, anaknya demam kurang dari satu jam di bawah 40 derajat. Atau bisa juga saat yang pertama kali kejangnya kompleks atau ada penyakit turunan…”
Reksa menghabiskan waktu satu jam sebelum dia kembali ke ruangan anaknya.
Sera tengah tertidur pulas dan suhu badannya kini sudah normal. Reksa menghela nafas lega. Dia tidak hadir waktu demam-kejang yang pertama, tahu soal eksistensinya pun tidak, jadi dia berencana untuk menelepon Chacha. Reksa merogoh celananya dan sadar kalau dia masih pakai piyama dan sandal rumah. Ponselnya tertinggal.
“....” !@#$%^
Reksa bersandar ke resepsionis sambil menunggu panggilan tersambung ke Joe. Para suster yang berjaga seketika hilang kantuknya malam itu begitu melihat Reksa berdiri di depan meja. Bahkan piyamanya tak tanggung-tanggung, memberi asupan tidak langsung. Dada kotak Reksa diumbar sembarang.
Reksa yang sadar langsung merapatkan piyamanya. “....” tunggu, kenapa dia harus menyembunyikannya?!
Meski begitu dia tidak melonggarkan tangannya.
“Halo Bo–Pak?” Ini jam set dua belas, apakah bos-nya tidak lihat jam?
“Saya ada di Rumah Sakit sekarang, minta nomor Chacha.”
“Pak? Anda di rumah sakit? Apakah anda baik-baik saja!?” kenapa minta nomor Chacha? Mungkin kah dia mau menyampaikan wasiat terkait anaknya? Kalau begitu bagaimana nasibnya? Dan perusahaannya???
“Sera kejang. Sekarang sudah baikan. Cepat sedikit.”
Mendengar itu, Joe langsung bernapas lega namun segera menahannya, takut terdengar yaksha di seberang. Dia lega bukan karena Nona kecil-nya kena kejang, sumpah!
“Nanti jangan lupa bayar.” kata Reksa sebelum menutup sambungan.
Joe:...
Setelah menerima dari Chacha bahwa tidak ada sejarah penyakit epilepsi di keluarga Lily dan memastikan bahwa demam-kejang Sera yang pertama itu normal, barulah Reksa bisa menenangkan otot dan sarafnya yang tegang.
“...Syukurlah.” dia juga sangat bersyukur karena Chacha adalah sahabat Lily, sampai mengetahui semua ini.
Reksa tidak tahu berapa kali dia merasakan jantungnya copot. Pertama kali waktu melihat Sera kejang, dia hampir stres dan ingin berteriak memanggil untuk menyadarkan Sera. Untung saja dia tidak gegabah.
Reksa memutuskan untuk melakukan pemeriksaan total pada Sera setelah dia konsultasi pada dokter nanti.
Malam itu Reksa duduk di samping ranjang Sera, menunggu infusan habis.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk dan langsung dibuka; Chacha dengan seragam pelayannya berdiri terengah di depan pintu dengan dokumen di tangannya.
“Sorry, aku sedang shift malam dan baru sempat kemari sekar—,” melihat Sera yang tertidur pulas, Chacha langsung menutup mulutnya dan memberikan dokumen kesehatan milik Sera. Meskipun Sera bisa di bilang anak yang tidak begitu diperhatikan, Lily tidak pernah melewatkan imunisasi untuknya. Setelah kejang pertama juga Chacha menemaninya untuk diperiksa.
Setelah memberikan dokumen, Chacha langsung pamit dan kembali ke tempat kerjanya.
Reksa memeriksa dokumen dengan seksama. Kegelisahannya yang tadi 30% kini tinggal 10%. Dia hanya tidak tahu kalau kejadian dia di rumah sakit akan tertangkap kamera.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments