Yuna menimbang berat badannya saat baru bangun tidur. 70 kg. Lumayan. Berat badannya sudah turun lima belas kilogram sejak ia memulai dietnya dua bulan yang lalu. Tidak terlalu ekstrem sebenarnya, hanya mengatur pola makan dengan menyeimbangkan karbohidrat, protein, dan lemak yang masuk ke tubuh. Yuna juga melakukan beberapa olah raga sederhana di rumahnya. Ya, ia menikmati gaya hidupnya yang baru sekarang. Ia merasa lebih segar dibanding dulu. Hanya satu yang tidak berubah. Sikap Adit padanya. Adit masih begitu-begitu saja. Melakukan hubungan suami istri pun dirasa hanya karena kewajiban, seperti semalam. Tidak ada keintiman apapun.
Yuna melihat suaminya yang masih tertidur. Ia teringat saat awal mereka dikenalkan. Tidak sulit bagi Yuna untuk mulai menyukai dan mencintai Adit. Ia pria yang tampan dan mapan. Adit sopan dan manis padanya. Adit juga menyatakan cinta padanya. Enam bulan setelah berkenalan, mereka menikah. Hubungan mereka perlahan mulai merenggang dimulai satu tahun lalu. Yuna juga tidak tahu kapan pastinya. Hanya berjalan perlahan hingga mereka tidak menyadari perubahan itu terjadi. Yuna bertanya-tanya apakah karena ia mulai sibuk dengan bimbelnya atau karena bobot tubuhnya yang meningkat. Kegiatannya yang sibuk bukannya membuat berat badannya turun, tapi bertambah naik karena banyaknya pedagang keliling di sekitar bimbelnya. Ya sudahlah, itu hanya masa lalu. Yuna bertekad untuk mengubah semua itu. Demi dirinya dan mempertahankan rumah tangganya. Yang mereka butuhkan sekarang hanyalah seorang anak untuk memperbaiki semuanya.
Yuna membereskan pakaian suaminya untuk diletakkan di keranjang laundry dan memeriksa kantongnya. Ia mengeluarkan beberapa uang logam, ada tissue basah bekas, dan juga struk parkir. Yuna membacanya. "Ario Hotel". Jam masuk 14.30. Keluar 16.45.
'Bukannya Ario Hotel tidak jauh dari bimbelnya berada?' tanya Yuna dalam hati. Itu bukan tempat yang pantas jika Adit bertemu dengan klien kerjanya di sana. Yuna membuang pikirannya yang tidak penting itu. Ia memang tidak pernah mencurigai Adit, apalagi masalah wanita lain. Toh suaminya selalu pulang tepat waktu. Kemeja kerjanya juga tidak berbau parfum wanita lain seperti yang sering ada di film-film.
Hari ini Yuna ke bimbel lebih pagi karena ada orang yang mau les privat bahasa Jepang dengannya. Saat masuk ke ke Friendly, ia melihat seorang ibu paruh baya berbicara dengan Nita, bagian administrasi mereka.
"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya Yuna setelah melihat ekspresi sedih dari ibu itu.
"Begini Mba Yuna. Ibu ini ingin anaknya les di sini, tapi...ia hanya bisa membayar setengah dari biaya per bulannya." jelas Nita. Yuna melihat ibu itu tertunduk malu. Untung saja saat itu hanya ada seorang wanita yang sedang bermain ponselnya di ruang tunggu orang tua.
"Oh. Saya akan bantu. Ibu hanya perlu membayar setengah dari biaya yang kami tentukan. Tapi ada syaratnya. Nilai anak ibu juga harus naik. Jika tidak naik, saya tidak bisa memberi bantuan lagi." kata Yuna. Ibu itu tersenyum senang. Ia yakin anaknya bisa karena anaknya rajin dan pintar. Hanya saja ia kasihan melihat hanya anaknya saja yang tidak mengikuti bimbel di kelasnya. Terkadang kebutuhan yang tidak terlalu penting, bisa menjadi sangat penting hanya demi pergaulan dalam suatu komunitas.
Yuna masuk ke ruangan khusus untuk privat. Ternyata wanita muda di ruang tunggu tadi yang ingin belajar bahasa Jepang.
"Mengapa Mba ingin belajar bahasa Jepang dengan cepat?" tanya Yuna. Ternyata ia mengambil kursus belajar setiap hari Senin hingga Jumat untuk dua minggu.
"Saya melamar kerja di PT Global Bisnis Indonesia. Dua minggu lagi ada interview Mba. Nah, saya dengar pimpinan di sana lebih suka jika kita bisa bahasa Jepang. Jadi saya mau belajar dulu, biar bisa diterima." ia tertawa. Yuna senang jika melihat anak muda yang semangat belajar untuk masa depannya. Mereka memulai bahasa Jepang dengan skill dasar dan akan lebih fokus untuk percakapan di dalam dunia kerja untuk pelajaran esoknya.
*****
Seorang pria mengetuk penanya di meja panjang yang dihadiri dua belas peserta rapat.
"Tidak ada ide lain?" tanyanya. Mereka semua terdiam.
"Ok. Kalian boleh berpikir di meja kerja kalian masing-masing. Saya kasih waktu satu jam untuk berpikir. Silahkan email ke saya ide yang terpikir untuk menyelesaikan masalah import barang kita." kata si pria yang duduk di paling depan. Ia berdiri dan diikuti oleh seorang wanita di belakangnya. Semua orang ikut bubar setelah pria itu menghilang di balik pintu.
"Pak Joshua menyeramkan. Sepertinya mood dia sedang jelek." kata seorang pria setengah botak.
"Bukannya jelek terus kalau di kantor? Aku tidak pernah melihatnya tersenyum." balas seorang wanita dengan dandanannya yang menor. Padahal ia memakai make up agar bisa dilirik sedikit oleh pimpinannya yang tampan itu. Tapi sedikitpun ia tidak dilirik.
Joshua melempar buku agendanya ke atas meja kerjanya. Ia memang sedang sangat kesal. Hanya karena kesalahan penulisan tanggal oleh pegawainya, bahan baku yang ia import untuk pembuatan tas dan sepatu tertahan di pelabuhan. Belum lagi karena foto perempuan yang dikirim oleh ibunya. Kencan buta ketiga yang sudah ia lakukan dengan terpaksa. Sebenarnya usianya baru 26 tahun. Tapi orang tuanya sudah sangat tua. Ibunya 60 tahun, dan sang ayah berusia 64 tahun. Mereka menikah di usia tiga puluhan. Dan untungnya masih bisa memiliki seorang putra tunggal, Joshua Austin William. Shua membuka pesan yang baru dikirim oleh ibunya setelah foto tadi.
'Jangan lupa ya jam 12 di Cafe La Vie. Dia anak teman mama yang punya Golden Castle.' Shua tahu perusahaan itu yang menjual perhiasan terutama berlian. Ia tidak membalasnya. Ibunya tahu Shua pasti menurutinya. Shua memang jarang sekali membantah kedua orang tuanya dan mereka juga tidak pernah memaksa Shua jika ia tidak menyukainya.
Shua datang jam 11.55 ke Cafe La Vie. Ia sangat tepat waktu, didikan ayahnya. Jika kamu tidak menghargai waktumu, setidaknya hargailah waktu orang lain. Ia selalu menanamkan hal itu dalam hidupnya. Namun yang ditunggu belum juga datang hingga 12.20. Akhirnya wanita berambut sebahu itu muncul. Posturnya sempurna seperti yang sudah-sudah. Ibunya tidak mungkin mengenalkan seseorang yang tidak sempurna di matanya.
"Maaf menunggu. Sudah lama? Tadi jalan biasa ditutup, jadi aku mutar." jelasnya sambil menarik kursinya.
"Joshua." Shua mengulurkan tangannya.
"Aku Prilly." Ia tersenyum sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. Ia mengenakan gaun hijau selutut tanpa lengan.
"Mau minum apa?" Joshua memanggil pelayan. Mereka memesan beberapa minuman dan makan siang.
Shua mendengarkan cerita Prilly. Ia tipe gadis ceria yang sepertinya suka bercerita.
"Jadi kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Prilly setelah mereka menyelesaikan makan siangnya. Ia menyukai tipe pria seperti Joshua, tampan dan cool.
"Sepertinya nanti dulu jika harus direncanakan. Jujur aku belum mau terikat dengan siapapun. Maaf sudah menyita waktumu. Aku permisi." Shua lebih memilih untuk jujur dan tidak suka memberi harapan palsu kepada siapapun.
Ia berjalan keluar dari cafe itu sebelum matanya menangkap sosok seseorang yang dikenalnya. Rebecca Aulia. Ia merangkul lengan seorang pria yang sepertinya pacar atau suaminya. Mereka berjalan di depan Shua dan masuk ke sebuah mobil hitam. Sebenarnya banyak yang ingin ditanyakan Shua kepadanya, namun ia tidak enak dengan pasangan Becca jika mengganggu acara mereka.
*****
PS: Visual Rebecca Aulia
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments