Barra berjalan cepat menuju apartemennya. Semalaman tidak bisa tidur nyenyak karna terus memikirkan Cindy.
Setelah menyentuh Yuna, hatinya tidak tenang dan dihantui rasa bersalah terhadap Cindy.
Meski tidak berbuat zina karna adanya status pernikahan yang sah, tapi entah kenapa Barra merasa telah berbuat dosa.
Membuka pintu apartemen dengan akses card yang selalu dia bawa. Wajah Barra di hiasi senyum lebar. Tidak sabar untuk bertemu dengan istri tercintanya.
Barra sadar, dia tidak berlaku adil pada Yuna. Hanya menganggap Yuna sebagai wanita yang dia beli rahimnya untuk mengandung dan melahirkan darah dagingnya.
Sejujurnya, Barra tidak ingin melakukan hal ini. Dia tau perbuatannya akan sangat menyakiti Yuna suatu saat nanti.
Selama ini, dia selalu berusaha untuk menghindari hal itu. Bahkan tidak pernah berfikir untuk menyakiti hati seorang wanita.
Namun, keadaan membuatnya terpaksa melakukan semua ini demi mempertahankan Cindy.
Satu hal yang tidak di ketahui oleh Cindy, yaitu Barra membuat surat perjanjian pernikahan tanpa sepengetahuan Cindy.
Selama ini Cindy hanya tau kalau Barra akan menikah lagi dan artinya akan memiliki 2 istri untuk selamanya. Barra tidak mengatakan yang sebenarnya kalau dia hanya akan mengambil anak dari wanita yang dia nikahi, setelah itu akan menceraikannya.
Itu sebabnya Barra tidak mempertemukan Cindy dengan Yuna sebelum Yuna di pastikan hamil.
Dengan begitu, rencananya untuk memiliki anak dari Yuna tidak akan gagal.
Jahat memang, Barra bahkan mengakui itu. Namun dia akan bertanggungjawab penuh atas kehidupan Yuna selanjutnya sampai Yuna menemukan kebahagiaannya. Tentunya dengan laki-laki yang bisa mencintai Yuna setulus hati, tidak seperti dirinya. Karna sulit untuk membagi cinta dengan wanita lain, bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi.
Senyum Barra semakin mengembangkan. Dia memperhatikan Cindy yang sedang berada di dapur. Memakai dress pendek, selalu berpenampilan menggoda di dalam rumah.
"Sedang apa.?" Barra memeluk erat tubuh Cindy dari belakang. Meletakkan dagu di bahu Cindy.
Barra sangat merindukan wanitanya, meski baru semalaman tidak bertemu, tapi seolah sudah berhari-hari tidak bertemu dengannya.
"Kamu sudah datang,,," Ucap Cindy sembari berbalik badan. Bibirnya tersenyum tipis. Senyum yang Barra tau ada kesedihan di dalamnya meski Cindy tidak menunjukkannya terang-terangnya.
"Bukan datang, tapi pulang." Ucap Barra menegaskan. Dia menangkup kedua pipi Cindy, setelah itu mendaratkan kecupan di keningnya.
"Datang dan pulang sama saja kan." Kata Cindy, dia mengusap lembut pipi Barra dan menunjukan senyum termanisnya.
"Sekarang rumah kamu bukan hanya disini, jadi harus di ingat-ingat kapan waktunya datang ke sini dan pulang ke sana." Cindy semakin melebarkan senyuman. Senyum untuk menutupi rasa sesak di dada yang ternyata tidak mudah di kendalikan.
"Aku tau,,"
"Kamu sudah selesai membuat sarapan.?" Barra memilih mengalihkan pembicaraan. Selain tidak nyan membahas kehidupannya dengan istri kedua, Barra juga tidak mau membuat Cindy terluka.
"Sandwich seperti biasa." Cindy menyengir kuda. Dia tidak pandai memasak, tapi Barra tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia selalu memakan apapun yang dibuatkan oleh Cindy. Bahkan tidak menuntut Cindy untuk belajar memasak.
Dia lebih sering menyuruh Cindy membeli makan di restoran untuk mmakan siang dan alam.
"Itu kesukaanku." Tutur Barra.
"Tapi sebelum makan,," Tangan Barra mulai merayap ke bawah, berhenti di pan tat Cindy.
"Aku ingin,,,,"
"Aku baru saja haid, Maaf,," Cindy menunduk, merasa bersalah pada Barra karna tadi sudah menyetujui keinginan Barra saat bicara lewat telfon.
"Nggak masalah." Barra mengangkat dagu Cindy, keduanya saling menatap penuh cinta.
"Kita bisa melakukannya nanti." Untuk kedua kalinya Barra mendaratkan kecupan, kali ini bibir Cindy yang menjadi sasaran.
"I love you," Ucap Barra setelah melepaskan ciumannya.
"I love you too,," Cindy menghambur kepelukan Barra, memeluk erat seakan tak ingin melepaskannya.
Mungkin saat ini perhatian Barra masih fokus dan sepenuhnya untuk dirinya, tapi setelah madunya hamil dan mereka memiliki anak, Cindy tidak yakin Barra masih bisa seperti ini.
"Nanti malam aku akan pulang kesini." Kata Barra sembari mengunyah sandwich.
"Jangan seperti itu, kamu baru 1 hari tinggal disana. Lagipula aku sedang haid, sebaiknya kamu disana untuk beberapa hari kedepan."
"Kamu nggak mau dia cepat hamil.? Kalau kamu jarang tinggal disana, bagaimana dia akan hamil."
Cindy selalu memikirkan hubungan Barra dan madunya. Dia ingin hubungan mereka juga baik dan segera memiliki anak.
Cindy akan merasa bersalah jika Barra tidak bisa berlaku adil pada madunya. Jadi sebisa mungkin dia selalu menyuruh Barra agar berbuat adil dan membagi cintanya.
Bagaimana pun juga, wanita itu yang akan menyempurnakan kebahagiaan Barra setelah memiliki anak.
"Aku nggak bisa Cindy, rasanya tersiksa tidur tanpa memeluk kamu." Barra menghela nafas kasar.
1 malam tanpa Cindy sudah cukup menyiksa, rasanya tidak sanggup kalau berhari-hari harus tidur bersama Yuna.
"Bukan nggak bisa, kamu hanya belum terbiasa."
"Jangan membuatku merasa bersalah karna kamu nggak bisa adil sama dia. Kalau dia terluka, lebih baik aku mundur." Cindy sedikit mengancam Barra.
"Aku harap kamu tidak akan pernah menyesali keputusanmu." Ucap Barra dengan sorot mata dalam.
"Tidak demi kebahagiaanmu." Jawab Cindy yakin.
...*****...
"Apa.?! Kamu mau resign.?" Rekan 1divisinya dibuat kaget dengan keputusan Yuna yang akan mengundurkan diri dari.
"Iya Mas, sekarang aku cuma tinggal berdua sama Mama, jadi harus fokus jagain Mama."
"Setelah ini mungkin akan membuka usaha saja di rumah."
"Waktunya lebih fleksibel, bisa 24 jam berada di rumah sambil memantau kesehatan Mama."
Yuna menjelaskan panjang lebar, berharap resign mendadaknya ini bisa diterima oleh rekan kerjanya.
"Tapi Yun,,, nggak harus dadakan begini dong."
"Kamu lupa kita ada proyek.? 2 minggu tanpa kamu saja sudah membuat kita putar otak pagi siang malam."
"Nitha di pecat, sekarang kamu resign, makin sepi aja divisi kita."
"Kenapa nggak tunggu sampai proyek selesai.? Nggak lama kok, 2 sampai 3 minggu lagi."
Erka sedikit memohon. Dia berharap Yuna tidak akan meninggalkan pekerjaannya dalam kondisi seperti ini.
"Maafin aku Mas Erka, tapi aku bener-bener harus berhenti sekarang. Ini aja aku nggak tenang ninggalin Mama sendirian di rumah. Apa lagi baru pulang dari rumah sakit kemarin."
"Kenapa nggak minta orang baru aja buat gabung ke divisi Mas Erka."
Setelah berusaha meyakinkan Erka, akhirnya Yuna bisa menyerahkan surat pengunduran diri.
Dia juga pamit pada teman-temannya, setelah itu meninggalkan kantor yang beberapa tahun terakhir menjadi rumah keduanya.
Meski bekerja disana adalah impiannya, namun pada akhirnya Yuna harus melepas semua itu demi menuruti kemauan Barra yang telah memberikan segalanya.
Mungkin tidak ada salahnya saat ini mengabdikan hidupnya pada Barra selama 1 tahun ke depan. Karna apa yang telah diberikan oleh Barra, tidak akan bisa dia kembalikan.
"Dirumah selama 1 tahun.? Aku harus apa.?" Yuna berfikir sepanjang jalan menuju rumah.
Dia tidak mau hanya mengandalkan uang dari Barra meski lebih dari cukup. Setidaknya setelah pernikahan berakhir, dia masih bisa bertahan hidup.
"Aku nggak punya keahlian lain selain bekerja di kantor dan mendesign baju."
"Ya ampun, kenapa nggak kepikiran sampai situ."
"Aku bisa memproduksi baju, ada banyak konveksi besar disini."
Yuna berbicara sendiri sampai membuat supir taksi mengerutkan dahi.
"Pak, bisa ganti tujuan.? Saya mau ke rumah teman dulu." Pinta Yuna.
Dia ingin pergi ke rumah Nitha untuk mengajak Nitha bekerja dengannya. Nitha akan banyak membantu untuk promosi dan memasarkan produk miliknya lewat media sosial.
Rasanya tidak mungkin jika harus mengerjakan semuanya sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Sandisalbiah
kamubemangvharus mempersiapkan diri utk masadepan kamu Yuna.. kemu harus siap di segala kemungkinan, jgn bergantung pd lelaki gak jelas seperti Bara...
2023-07-24
2
Sri Agustin
gak suka ah sama sikap bara
2023-05-19
0
Anthy Ay Bara
hiu
2023-05-16
0