Barra beranjak dari meja makan. Dia pamit pada Yuna akan duduk di teras.
Sementara itu, Yuna membereskan meja makan dan mencuci piring serta peralatan memasak yang tadi dia gunakan.
Selesai mencuci piring, Yuna masuk ke kamar Mama Rena untuk memastikan Mama Rena baik - baik saja.
"Mama sedang apa.?" Tanya Yuna setelah di ijinkan masuk oleh Mama Rena.
Mama Rena menoleh dengan seulas senyum. Merubah posisinya dengan bersender pada kepala ranjang.
"Sini,," Mama Rena menepuk sisi kosong di sampingnya, menyuruh Yuna untuk duduk disana.
"Kamu sama Barra sudah selesai makan.?" Tanyanya. Yuna menganggukkan kepala, lalu duduk di samping Mama Rena dengan menghadap ke arahnya.
"Mama kalau nanti butuh apa - apa, telfon Yuna aja."
"Jangan jalan sendiri, Yuna masih khawatir takut Mama jatuh." Tangan Yuna menyentuh kaki Mama Rena dan memberikan pijatan lembut. Selama ini Yuna begitu berbakti dan perhatian pada Mama Rena. Hampir setiap malam dia selalu datang ke kamar Mama Rena dan menanyakan keadaannya, tak jarang memijatnya seperti yang sedang dia lakukan sekarang.
"Jangan khawatir, Mama sudah bisa jalan sendiri."
"Tadi juga pergi ke kamar mandi sendiri. Kalau nggak dilatih jalan, nanti lama pulihnya." Tutur Mama Rena dengan senyum bahagia. Bahagia karna bersyukur memiliki putri yang sangat menyayanginya. Sekalipun tidak pernah membantah atau menyakiti hatinya.
Itu sebabnya Mama Rena selalu cemas setiap kali melihat hal yang mencurigakan antara Yuna dan Barra, takut pernikahan mereka akan memberikan luka pada Yuna. Sedangkan menurut Mama Rena, putrinya itu tidak pantas merasakannya luka seperti yang dia rasakan.
Mama Rena selalu berharap Barra akan memperlakukan Yuna dengan baik, menjaga dan mencintai Yuna sepenuh hati dan tidak menyakitinya.
"Ya sudah kalau begitu." Yuna terlihat lega. Senang karna kondisi sang Mama cepat membaik.
"Dimana Barra.?"
"Mas Barra sedang di teras, mungkin butuh udara segar."
"Tadi sore sempat tidur, sepertinya kelelahan." Jawab Yuna menjelaskan.
Mama Rena mengulum senyum.
"Suami kamu yang kelelahan, kenapa malah Mama yang kamu pijat." Katanya dengan senyum yang masih tertahan.
Yuna langsung tersenyum kikuk. Tidak merespon ucapan Mama Rena dan masih terus memijatnya.
Jangan untuk memijat Barra, menyentuh tangannya saja tidak berani.
Lagipula mana ada kegiatan memijat dalam pernikahan sementara ini. Kalau hubungan di atas ranjang memang sudah pasti, karna Barra sendiri yang menginginkannya.
"Sudah sana, lebih baik kamu pijat Barra saja."
"Sekarang prioritas kamu sudah pindah ke suami, bukan Mama lagi. Jadi sebaiknya dahulukan kepntingan dan kebutuhan suami lebih dulu."
Mama Rena mengusal tangan Yuna seraya menatap teduh dan tersenyum tipis.
Nasehat Mama Rena bisa diterima dan dimengerti olah Yuna, hanya saja Mama Rena tidak tau keadaan yang sebenarnya.
"Ya sudah, Yuna keluar dulu."
"Selamat istirahat Mah, jangan kemaleman tidurnya." Yuna beranjak, dia mencium kening Mama Rena lebih dulu sebelum keluar dari kamar.
Begitu sampai di luar, Yuna hanya berdiri mematung di depan pintu. Bingung harus melakukan apa setelah ini. Tidak mungkin dia keluar rumah dan menghampiri Barra, apa lagi datang hanya untuk menawarkan pijatan. Mau di taruh di mana wajah Yuna. Barra pasti akan berfikir macam-macam.
"Lebih baik aku ke kamar saja. Aku juga harus membuat surat pengunduran diri."
Yuna pergi ke kamarnya. Membuka tas miliknya yang berisi peralatan kerjanya lalu duduk disofa dengan membawa kertas serta bolpoin dan mulai menulis pernyataan untuk keluar dari pekerjaannya.
"Selesai,,," Yuna meregangkan kedua tangannya ke atas. Lama tidak berkutat dengan kertas dan bolpoin, membuat tangan dan bagian pundaknya terasa sakit setelah menulis.
Sekarang sofa yang sedang dia duduki malah terlihat menggoda. Yuna langsung berbaring dengan kaki yang ditekuk karna sofanya tidak begitu panjang.
Ternyata tubuhnya benar-benar butuh istirahat, hampir 2 minggu di rumah sakit, jam tidurnya jadi terganggu. Tidur di rumah sakit juga tidak senyaman saat tidur di rumah.
"Pindah ke ranjang saja kalau mau tidur."
Baru saja memejamkan mata, Yuna langsung bangun karna mendengar suara Barra.
Yuna reflek duduk dan membenarkan bajunya karna takut tersingkap ke atas.
"Hah.? E,,enggak cuma tiduran aja."
"Habis buat surat pengunduran diri, tiba-tiba pengen tiduran." Jelas Yuna tanpa menatap Barra lagi. Dia membereskan peralatan tadi dan beranjak untuk menyimpannya.
Barra tidak menanggapi lagi, dia duduk di sisi ranjang sembari memperhatikan gerak gerik Yuna yang sedang meletakkan tas di tempat semula.
Jika menunggu siap, sampai kapanpun dia tidak akan siap untuk menyentuh Yuna. Tapi memikirkan perjanjian yang telah dia buat sendiri, Barra berfikir ulang untuk segera melakukan tugasnya agar semuaa cepat selesai.
Semakin cepat menyentuh Yuna, kemungkinan Yuna hamil juga akan terjadi dalam waktu dekat.
Barra tidak ingin terlalu lama menjalani pernikahan keduanya. Meski Cindy sendiri yang meminta, namun Barra tidak sanggup untuk berbagi cinta dan berbagi ranjang dengan Yuna terlalu lama.
"Kita harus bicara." Ucap Barra semberi menatap Yuna yang pura-pura sibuk, padahal sudah selesai meletakkan tas. Yuna seolah terlihat menghindar.
"Iya,,, bicara saja." Jawabnya tanpa mau mendekat pada Barra.
Jantungnya sudah berdetak tidak karuan. Feeling terlalu kuat, merasa yakin kalau Barra akan menyentuhnya malam ini.
"Terlalu jauh, kamu nggak bisa kesini.?"
Barra meminta Yuna untuk mendekat. Sebenarnya bisa saja bicara jarak jauh, lagipula posisi Yuna hanya berjarak 4 meter dari ranjang.
Yuna mengangguk kecil. Tadinya ingin bertahan disana, tapi dia ingat dengan tanggungjawabnya.
Dalam kontrak pernikahan ini, Barra telah membantu dan melakukan banyak hal untuknya. Sedangkan dia belum menjalankan tanggungjawabnya sesuai yang tertulis pada poin ke 3.
Siap tidak siap, Barra akan menyentuhnya karna apa yang ada dalam dirinya saat ini sudah menjadi milik Barra seutuhnya.
Jika dipikir-pikir, Yuna merasa telah menjual diri. Hanya saja Barra membelinya melalui ikatan suci pernikahan.
Sebenernya ini jauh lebih baik dari pikiran gilannya yang saat itu ingin menjual diri tanpa adanya ikatan pernikahan.
Tapi bagaimanapun, tetap ada sedikit rasa bersalah karna sudah melakukan semua ini.
Yuna duduk disisi ranjang, sedikit membuat jarak dengan Barra. Wajahnya menunduk, tidak berani menatap laki-laki yang saat ini terus menatapnya.
"Ada apa.?" Tanya Yuna lirih.
Barra menari nafas dalam. Hatinya berat untuk meniduri wanita lain selain Cindy, sekalipun Yuna juga berstatus sebagai istrinya.
"Kamu masih ingat poin ke 3 kan.?"
Barra mulai membuka pembicaraan dengan mengingatkan Yuna tentang kesepakatan mereka.
Yuna mengangguk. Hal itu yang telah membuat dia tidak karuan saat ini. Takut untuk melewati malam bersama Barra. Sedangkan selama ini dia belum pernah memiliki hubungan dengan siapapun.
"Kamu sudah siap.?" Tanya Barra lirih. Dia tetap harus menanyakan kesiapan Yuna, karna tidak mau melakukannya dengan cara memaksa.
Tubuh Yuna seketika panas dingin. Pertanyaan Barra membuatnya semakin gelisah dan takut luar biasa.
"A,,aku,,, a,,ku,,,"
Yuna memainkan jari-jarinya sembari menundukkan kepala.
"Kamu belum siap.?" Tebak Barra. sekalipun Yuna tidak menjawab, dia tau kalau Yuna belum siap menjalankan tugasnya.
Yuna langsung mengangguk cepat.
"Ya sudah,," Barra hanya bisa pasrah. Lagipula, dia juga merasakan apa yang dirasakan oleh Yuna saat ini.
"Nggak masalah, sekarang saja." Ucap Yuna. Dia mulai berani mengangkat wajahnya.
"Kalau Mas Barra tanya aku sudah siap atau belum, sampai kapanpun aku nggak akan siap."
"Jadi lakukan saja sesuai perjanjian yang sudah aku tanda tangani."
Suasana seketika hening. Sikap pasrah Yuna justru membuat Barra bingung. Tidak tau harus menyentuh Yuna malam ini atau nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Eti Alifa
bacanya nyesek, serasa di posisi yuna, maju salah mundurpun salah mungkin peribahasanya gitu😔
2024-07-26
1
Sandisalbiah
kok aku yg gak rela ya thor.. Yuna berhak bahagia...
2023-07-24
3
Siti Nurhamidah
kasihan Yuna semoga ada kebahagiaan di ahir
2023-04-23
0