"Sudah Mas, nggak usah." Yuna menolak bantuan Barra yang akan mengantarnya ke kamar mandi. Tadi setelah keluar dari walk in closet, Yuna memang tidak mengatakan apapun, jadi Barra hanya menggendongnya sampai ranjang. Sedangkan saat ini Yuna ingin membuang air kecil dan membersihkan diri.
"Yakin bisa jalan sendiri.?" Barra menatap tak percaya. Kalaupun dipaksakan, pasti harus menahan sakit dan perih yang luar biasa.
"Bisa." Yuna mengangguk yakin. Dia mulai melangkahkan kaki pelan-pelan. Rasa sakit dan perih itu masih sangat terasa. Yuna tidak pernah berfikir akan sesakit ini, atau mungkin karna,,,
Ah sudahlah, Yuna bahkan malu ketika mengingat hal itu. Entah apa jadinya kalau Barra tidak mematikan lampu, pasti penyatuan itu harus membutuhkan waktu lama lantaran akan terjadi penolakan.
Barra hanya menggelengkan kepala melihat langkah Yuna yang tertatih. Mau bagaimana lagi, Yuna sendiri yang menolak untuk di gendong ke kamar mandi. Mungkin malu karna lampu kamar sudah di nyalakan.
Barra merebahkan tubuhnya di ranjang. Berbaring santai dengan kedua mata yang langsung di pejamkan. Besok dia harus bangun pagi-pagi sekali. Ada hal penting yang tidak bisa dia lewatkan.
Yuna keluar kamar mandi. Suara pintu yang terbuka sempat membuat Barra melirik sekilas, tapi kemudian kembali memejamkan mata.
Yuna berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah bingung. Bingung karna tidak tau harus tidur dimana. Harus satu ranjang dengan Barra atau memilih untuk tidur di kamar sebelah.
Mama Rena tidak akan bangun dan mengecek ke lantai atas karna kondisinya masih belum stabil, jadi tidak akan tau kalau pisah kamar dengan Barra.
Berjalan hati-hati menuju pintu, sesekali Yuna melirik Barra. Meski tidur satu ranjang tidak ditulis dalam surat perjanjian, tapi entah kenapa Yuna merasa sedang berbuat dosa dengan diam-diam memilih untuk pisah ranjang.
Seakan tidak patuh dan baik sebagai seorang istri.
"Mau kemana.?"
"Bukannya masih sakit.?"
"Bilang saja kalau mau ambil sesuatu, biar aku ambilkan." Teguran yang beruntun dari Barra langsung menghentikan langkah Yuna yang hampir membuka pintu.
Yuna menoleh dan tersenyum kaku.
"A,,aku mau di tidur di kamar sebelah." Ucap Yuna. Dia pikir lebih baik jujur dan meminta ijin pada Barra dari pada merasa bersalah karna diam-diam pindah kamar.
"Boleh kan.?" Tanyanya ragu.
Barra tampak mengerutkan kening, diam sejenak hingga Yuna merasa Barra tidak akan mengijinkannya.
"Yasudah kalau nggak boleh,," Yuna mengurungkan niatnya.
"Terserah kamu saja, tapi kalau nanti Mama kamu liat, jangan nyuruh aku buat jelasin." Barra tidak mau terlibat kalau nantinya Mama Rena menginterogasi Yuna gara-gara tidak tidur satu kamar.
"Iya, nggak jadi kok." Ucap Yuna. Setelah dipikir-pikir, dia tidak mau mengambil resiko kalau tiba-tiba Mama Rena tau tentang hal ini.
Setelah berjalan penuh perjuangan, Yuna berhasil sampai di ranjang.
Dia ragu-ragu untuk naik, rasanya canggung akan tidur satu ranjang dengan laki-laki. Terlepas dari apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
"Sebaiknya cepat tidur. Bukannya besok kamu ke kantor." Ucap Barra sembari memejamkan mata dan membelakangi Yuna.
"Hu'um,," Ucap Yuna singkat. Dia baru berani naik ke ranjang setelah Barra membelakanginya. Merebahkan tubuh dengan perlahan, lalu ikut membelakangi Barra.
Posisi tidur mereka yang saling berjauhan dan membelakangi satu sama lain, tidak menggambarkan pasangan pengantin baru. Keduanya memang terlihat seperti orang asing yang dipertemukan di atas ranjang.
Status dan ikatan suci pernikahan mereka seolah tidak ada artinya.
Keduanya hanya menjalani tugas masing-masing.
...*****...
"Ya ampun.!!" Mata Yuna membelakak sempurna. Panik bukan main ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 6, sedangkan dia baru membuka mata.
Yuna menyikap selimut begitu saja, turun dari ranjang dengan cepat hingga terlihat seperti melompat.
"Apa yang kamu lakukan.?" Tegur Barra. Dia tidak habis pikir melihat aksi Yuna saat turun dari ranjang. Sampai terdengar hentakan kaki yang cukup kencang.
Yuna melongo, wajahnya merona menahan malu. Bisa-bisanya tidak sadar kalau di kamar itu ada orang lain.
Barra menggelengkan kepala, dia melanjutkan mengancing kemeja lengan panjangnya.
Yuna memperhatikan Barra dari ujung kaki sampai kepala. Dia sudah memakai celana panjang dan kemeja.
"Mas Barra udah rapi. Mau berangkat jam berapa?" Tanya Yuna. Semalam tidak ada obrolan apapun. Dia juga lupa menyakan hal itu.
"Sekarang." Jawab Barra. Dia meraih jas yang diletakkan di sandaran sofa.
"Apa.?!" Yuna langsung kaget mendengarnya.
"Ta,,tapi aku belum bikin sarapan." Yuna gugup sendiri. Padahal Barra terlihat santai saja.
"Nggak usah, aku bisa sarapan di luar."
"Aku berangkat dulu, mungkin nggak pulang hari ini. Banyak pekerjaan." Ucapnya tanpa menatap Yuna, lalu beranjak dari sana.
"Yasudah."
"Hati-hati di jalan."
"Hemm,,"
Yuna menatap Barra hingga menghilang di balik pintu. Sampai detik ini Barra selalu bersikap baik padanya. Setiap kali bicara bahkan tidak pernah menggunakan nada tinggi apa lagi menyinggung perasaannya.
Barra juga terlihat biasa saja menjalani pernikahan kontrak ini, seolah tidak ada beban. Mengalir begitu saja. Tapi kenapa harus dengan menikah kontrak.? Kenapa tidak benar-benar saja menjalani pernikahan ini dengan semestinya.?
Yuna menggelengkan kepala, tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang beberapa kali muncul di benaknya.
Padahal kalau Barra benar-benar memintanya sebagai seorang istri tanpa ada perjanjian di atas kertas, Yuna siap menjadi istri Barra untuk seterusnya.
Mengingat bantuan dan kebaikan Barra padanya.
Jika boleh jujur, Barra bahkan masuk dalam kriterianya. Beberapa tahun yang lalu sebelum Papanya berselingkuh, Yuna tentu saja punya impian untuk menikah. Menikah dengan sosok laki-laki yang lembut, baik dan bertanggungjawab. Dan semua kriteria itu ada dalam diri Barra.
Yuna menghela nafas. Dia baru sadar kalau angan-angannya terlalu tinggi untuk bisa menjalani pernikahannya tanpa kontrak dengan Barra.
Yuna tidak mau jadi orang yang tak tau diri dengan berharap lebih atas pernikahan kontrak mereka.
Masuk ke kamar mandi, Yuna mencuci muka, setelah itu turun kebawah untuk memasak.
Dia harus membuatkan sarapan sebelum pergi ke kantur untuk mengajukan pengunduran diri.
Sampai di ruang tamu, Yuna masih mendengar suara mobil Barra di garasi. Rupanya Barra masih memanaskan mobilnya.
Yuna melangkahkan kaki, tiba-tiba saja merasa penasaran ingin melihat Barra.
Berdiri didepan jendela, Yuna bisa melihat Barra dari celah tirai. Ternyata Barra duduk di teras sembari memanaskan mesin mobilnya.
"Aku akan sampai 30 menit lagi. Bersiaplah,,,"
Yuna mendengar Barra bicara dengan seseorang lewat telfon. Namun hanya itu yang dia dengar karna Barra sudah mematikan sambungan telfonnya dan beranjak dari kursi untuk masuk kedalam mobil.
"Apa dia sesibuk itu.? Sebenarnya apa pekerjaan." Yuna terlihat penasaran.
"Ada apa Yun.?" Suara Mama Rena mengagetkan Yuna. Dia berbalik badan, gugup harus bicara apa.
"Mama sudah bangun." Yuna mwngulas senyum lebar sembari berjalan mendekat.
"Itu, habis nganterin Mas Barra ke depan teras." Ucap Yuna bohong.
"Pagi-pagi begini Barra sudah berangkat.?" Tanyanya heran.
"Iya, Mas Barra harus keluar kota jadi harus berangkat pagi."
"Yuna mau buat sarapan dulu, hari ini mau ke kantor. Yuna udah putusin resign dari kantor atas permintaan Mas Barra."
"Mama selalu dukung keputusan kamu, lagipula memang sudah sepatutnya seorang istri menurut pada suami."
Mama Rena justru terlihat senang dengan keputusan yang di ambil oleh Yuna. Mungkin dengan lebih banyak berada di rumah, Mama Rena berfikir kehidupan rumah tangga mereka akan berjalan dengan baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
awend
tp mmng ada....
2023-06-10
1
Iqbal Zaki
cerita nya datar ga gereget,,
2023-03-06
1
Koming Selly
aku yakin ending nya cindy yg akan meninggal kerena penyakit nya
2023-01-28
0