30 menit setelah kembali ke rumah sakit dan menunggu di depan ruang operasi, Yuna menangis bahagia lantaran dokter mengatakan bahwa operasi Mama Rena berjalan lancar dan dalam keadaan yang cukup baik.
Tidak ada kata yang terucap di bibir Yuna selain ucapan syukur.
Setelah dinyatakan pulih paska operasi, dia bisa menjalani hidup dengan bahagia bersama Mama Rena tanpa harus merasa cemas dengan kondisi kesehatannya.
Yuna menatap Mama Rena yang akan di pindahkan ke ruang rawat inap. Kondisinya masih tidak sadarkan diri karna pengaruh obat bius.
Yuna berjalan cepat mengikuti perawat yang sedang mendorong bangsal Mama Rena.
Dia melupakan Barra yang sejak tadi duduk di sampingnya karna terlalu fokus melihat Mama Rena yang di bawa keluar dari ruang operasi.
Barra menghela sebelum akhirnya beranjak dan mengikuti Yuna.
"Maaf Kak, sebaiknya tunggu diluar dulu."
Salah satu perawat mencegah Yuna yang akan ikut masuk.
"Tapi saya mau menemani Mama saya Mba,," Yuna bersikeras untuk masuk kedalam agar bisa memantau perkembangan Mama Rena.
"Nanti kalau pasien sudah sadar, Kakak bisa menemuinya." Jelasnya. Dia masuk kedalam dan menutup pintu. Sama sekali tidak memberikan kesempatan pada Yuna untuk ikut masuk ke dalam.
Wajah Yuna seketika sendu. Dia hanya bisa menatap pintu yang tertutup rapat tanpa bisa melihat apapun dari luar.
"Rumah sakit punya aturan, kamu nggak bisa semaunya." Ucap Barra datar.
Yuna menoleh, dilihatnya Barra yang langsung duduk di kursi panjang.
"Duduk disini," Katanya sembari menepuk sisi kosong di sampingnya. Barra menyuruh Yuna untuk duduk.
"Ada yang mau aku bicarakan." Barra menatap Yuna yang terlihat enggan untuk duduk. Wajahnya masih saja sendu, masih berharap bisa masuk kedalam.
"Percuma saja berdiri disitu, perawat nggak akan ngijinin kamu masuk." Tegas Barra menyadarkan Yuna.
Perlahan Yuna berjalan ke arahnya, meski terlihat berat dan sesekali menatap ke arah pintu.
Yuna duduk disamping Barra. Dia sedikit membuat jarak hingga 1 orang bisa duduk di tengah-tengah mereka.
"Makasih Mas,," Entah sudah berapa kali Yuna mengucapkan terimakasih pada Barra. Seakan kebaikan Barra begitu berarti untuk hidupnya. Meski memang pada kenyataannya seperti itu.
Barra bak lentera dalam kegelapan. Memberikan cahaya disaat Yuna tidak tau lagi harus kemana dan berbuat apa disaat kegelapan dan keputus-asaan menyelimuti.
Segala permasalahan yang dihadapi, berakhir dengan penyelesaian berkat campur tangan Barra.
"Kamu nggak bosen bilang makasih terus.?" Barra menatap heran.
"Enggak. Semoga Mas Barra juga nggak bosen dengarnya, karna aku bakal sering bilang makasih kedepannya." Yuna menjawab lantang. Karna memang sudah sepantasnya Barra mendapatkan ucapan terimakasih berulang kali atas semua yang telah dia berikan.
"Terserah kamu saja." Balas Barra acuh.
Tiba-tiba dia menyodorkan ponsel pada Yuna.
"Ketik nomor ponsel kamu." Pintanya.
Yuna langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Barra tanpa mengatakan apapun.
"Sudah." Ucap Yuna sera menyodorkan kembali ponsel itu pada Barra.
Setelah berpindah tangan, Barra langsung menyimpan nomor Yuna dan mengirimkan pesan padanya.
"Pin atmnya sudah aku kirim."
"Simpan nomor ponselku, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku."
"Aku harus pergi sekarang. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan."
"Kabari aku kalau Mama kamu sudah di perbolehkan pulang,," Barra beranjak dari duduknya. Dia tidak menunggu Yuna mengatakan sesuatu meski telah bicara panjang lebar pada Yuna.
"Aku mengerti." Ucap Yuna singkat.
"Terimakasih."
Barra hanya diam saja, kemudian berlalu dari hadapan Yuna.
Kedua manik mata Yuna tak lepas dari sosok Barra yang semakin jauh dari pandangan.
Selalu saja mucul rasa penasaran dalam benak Yuna tentang Barra dibalik sikap baiknya.
...****...
Butuh waktu 2 jam lebih untuk menunggu Mama Rena sadar dan bisa di ajak komunikasi. Akhirnya Yuna diperbolehkan untuk masuk ke dalam.
Tangisnya pecah, Yuna langsung memeluk Mama Rena yang masih berbaring lemah.
"Syukurlah, Mama sudah sehat sekarang."
Ucap Yuna disela isak tangisnya. Mama Rena terlihat menahan tangis.
"Jangan menangis." Pinta Mama Rena. Suaranya masih terdengar lemah.
Yuna bangun, dia menggenggam erat tangan Mama Rena.
"Mama harus janji nggak akan sakit lagi. Yuna nggak punya siap-siap lagi selain Mama. Rasanya dunia gelap kalau Mama sakit."
"Setelah ini kita akan memulai lembaran baru. Mulai sekarang Mama nggak akan sakit hati lagi dan nggak disakiti lagi."
"Yuna janji nggak akan biarin Papa datang ke hidup kita lagi dan menghancurkan hidup kita." Ujar Yuna tegas.
Sudah cukup sang Papa memberikan luka yang membekas pada dirinya dan Mama Rena. Bahkan sampai membuat Mama Rena akhirnya jatuh sakit.
Yuna tidak akan membiarkan hal buruk itu terjadi lagi dalam hidupnya. Sekalipun harus menentang dan melawan Papa sendiri, Yuna akan melakukan demi kebahagiaan dia dan sang Mama.
Jika dulu Yuna berfikir lebih baik disakiti dari pada menyakiti, kini setelah tau bagaimana rasanya disakiti hingga dihancurkan hidupnya, Yuna merasa lebih baik mencegah itu semua sekalipun dia yang harus menyakiti.
"Mama tau kamu marah sama Papa. Kamu boleh membenci perbuatannya pada kita, tapi jangan lupa kalau dia Papa kamu. Tanpa dia, mungkin kamu nggak akan terlahir dari rahim Mama."
Walaupun masih sulit untuk bicara normal seperti sebelumnya, Mama Rena tidak berhenti untuk memberikan nasehat pada Yuna.
"Seburuk apapun perbuatannya, kamu harus ingat kebaikan Papa kamu."
"Bagaimana dulu dia sangat menyayangi dan menjaga kamu. Berjuang dan bekerja keras demi hidup kita."
"Mama memang kecewa dan sakit hati, tapi Papa kamu pernah memberikan yang terbaik untuk hidup kita."
Mama Rena terlihat ikhlas atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Meski pernikahannya hancur dan harus kehilangan apa yang dia miliki, tapi masih berusaha tegar dan kuat melanjutkan hidup.
"Tapi hati Yuna nggak seluas hati Mama."
"Yuna belum bisa memaafkan dan berhenti membenci Papa." Yuna menundukkan kepala.
Rasa sakit yang ditorehkan oleh sang Papa begitu menyayat dan membekas di hati.
Orang yang Yuna jadikan sandaran dan tempat berlindung, nyatanya malah menghancurkan hidup dan mentalnya.
"Mama nggak akan maksa, tapi Mama harap suatu saat kamu bisa memaafkan Papa kamu."
"Kunci kebahagiaan dan hidup tengan itu bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak menaruh kebencian pada siapapun."
Mama Rena mengulas senyum tipis, menatap Yuna dengan tatapan bangga.
Dia yakin putrinya memiliki hati yang lembut, tidak akan bertahan lama menaruh benci pada Papa kandungnya sendiri.
"Yuna nggak janji." Ucapnya lirih. Tidak mudah memaafkan kesalahan sang Papa.
Jika hanya menyakiti dirinya, mungkin Yuna bisa berfikir dua kali untuk memaafkan kesalahan Papa nya. Tapi kalau sudah menyakiti Mama Rena, Yuna akan berfikir ribuan kali untuk memaafkannya.
Mama Rena hanya memberikan anggukan kecil. Dia juga tidak bisa memaksakan kehendak pada Yuna untuk memaafkan Papanya.
Mama Rena paham, luka dan kekecewaan yang dirasakan setiap orang berbeda-beda.
Ada yang merasa biasa saja, ada yang merasa hancur meski merasakan luka yang sama.
Karna tidak ada yang tau dalamnya hati seseorang.
"Dimana suami kamu.?" Mama Rena baru ingat dengan Barra yang sampai detik ini tidak masuk ke kamarnya.
"Pergi, katanya ada pekerjaan." Jawab Yuna singkat.
Raut wajah Mama Rena seketika berubah, teelihat kaget sekaligus sedih.
"Mas Barra memang orang sibuk, tapi tadi sempet anterin Yuna pindahin barang-barang kita ke rumah baru."
"Kalau Mama sudah diperbolehkan pulang, kita bisa langsung tempati rumah itu." Yuna tersenyum lebar. Menunjukkan ekspresi bahagia didepan Mama Rena agar Mama Rena juga bisa merasakan hal yang sama.
"Syukurlah, Mama ikut senang mendengarnya." Mama Rena mengukir senyum. Tidak ada yang lebih berarti dari kebahagiaan Yuna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Sandisalbiah
nah.. ini yg bakal jd dulema slm hidup Yuna.. saat pakta tentang pernikahan nya dgn Barra terungkap dan dia harus menanggung rasa sakit itu sendiri krn tak mungkin membagi dukanya dgn mama nya krn kondisi mama Yuna yg gak boleh banyak fikiran kan.. Yuna hanya sendiri dgn semua rasa sakitnya.. hais.. belum berlaku akunya udah panik duluan..
2023-07-24
0
Marni 04
ga semudah itu
2023-05-13
0
Iqbal Zaki
mas bara makasih
2023-03-06
1