Episode*6

"Kia baik-baik aja, Pa. Maafkan Kia yang udah bikin papa cemas. Kia janji gak akan mengulangi hal bodoh ini lagi," ucap Kiara dengan nada menyesal.

"Sayang, tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Papa hanya mencemaskan kamu, bukan marah sama kamu," kata papanya tidak tega melihat Kiara yang terlihat sedih karena pertanyaannya barusan.

"Pa, Kia gak papa. Sekarang, biar mama yang mengatakan kabar bahagia yang mama punya. Papa tahu gak? .... "

"Ya mana papa tahu, Ma. Mama aja belum ngomong apa sama papa. Malah nanya lagi."

"Ya ampun, Pa. Mama gak nanya. Papa aja yang kebiasaan motong pembicaraan mama, padahal, mama belum menyelesaikan perkataan mama," ucap mama Kia kesal.

"Oh ya? Papa kira mama udah selesai bicara."

Perdebatan kecil itu mampu membuat Kiara tersenyum bahagia. Melupakan sedikit kepahitan hidup dalam kisah cintanya yang hancur berantakan.

"Pa, mama yakin papa pasti sangat senang dengan kabar yang mama punya."

"Ya Tuhan ... katakan saja apa kabarnya. Dari tadi mama ngomong aja terus tapi tidak juga mengatakannya."

"Iya, mama juga mau mengatakan sekarang."

"Ya udah katakan saja, mama. Kenapa harus ribet lagi sih," ucap papa Kia benar-benar kesal.

"Oke-oke. Jangan marah. Mama mau bilang, kalau Kia ... setuju menikah dengan Reiner."

"Oh, Kia setuju menikah dengan Reiner," kata papa Kia biasa saja. Namun, reaksi papa berubah beberapa detik kemudian.

"Apa! Mama ngomong apa barusan! Kiara setuju menikah dengan Reiner?" tanya papa dengan wajah kaget disertai nada tinggi yang terdengar begitu lantang.

Mama tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Raut bahagia itu muncul kembali. Melihat keseriusan istrinya, papa Kia berubah menatap Kia yang sedari tadi hanya terdiam saja.

"Kia, apa yang mama katakan itu benar? Apa kamu benar-benar setuju menikah dengan Reiner, Nak?" tanya papanya dengan nada harap-harap cemas.

"Iya, Pa. Kia setuju menikah dengan Reiner. Kia akan melunasi semua hutang-hutang papa yang ada pada Reiner. Papa tidak perlu merasa cemas dan takut lagi pada Reiner sekarang."

"Kia, bukan itu yang papa inginkan. Papa menerima lamaran Reiner bukan karena papa mau kamu melunasi semua hutang papa. Tapi, papa berharap, kamu hidup bahagia dengan menikah tuan muda keluar Rasyad. Keluarga terkaya di kota ini. Papa ingin masa depan kamu terjamin, Nak. Semua kebutuhan hidup kamu tercukupi." Papa Kia bicara dengan nada sedih sambil menatap sayu pada Kiara.

"Pa .... " Kiara merasa sangat bersalah telah mengatakan hal itu. Ia tidak menyangka jika kata-katanya, ternyata melukai hati sang papa.

"Kia, jika kamu tidak ingin menikahi tuan muda Rasyad. Maka jangan kamu paksakan. Papa tidak berharap kamu menikah dengannya, jika kamu menikah hanya untuk melunasi semua hutang-hutang papa pada tuan muda Rasyad itu."

"Kia, papa benar. Papa sama mama tidak mau menukar kamu dengan hutang-hutang papa. Jika kamu tidak bersedia menikah, kenapa harus kamu paksakan?" Mamanya ikut menyetujui apa yang papanya katakan.

"Pa, Ma. Kia menikah bukan hanya untuk melunasi semua hutang-hutang papa aja kok. Selama ini, Kia berharap bisa memiliki suami mapan. Setelah Kia pikir-pikir, Reiner itukan sudah mapan. Jadi, jika Kia menikah dengannya, selain bisa melunasi semua hutang-hutang papa, Kia juga bisa punya suami mapan. Papa sama mama tidak perlu merasa bersalah. Kia tidak menikah karena terpaksa. Melainkan, karena niat hati Kia sendiri," ucap Kiara berusaha mengukir senyum.

Ia berharap, dengan senyum yang ia perlihatkan di akhir kalimat itu, mampu meyakinkan papa dan mamanya, kalau apa yang ia katakan itu adalah benar. Padahal, sebenarnya, Kia berbohong. Ia tidak menginginkan Reiner menjadi suaminya. Kia berharap, ia bisa menikah dengan orang yang ia cintai. Bukan yang memaksakan dirinya, karena dia dicintai oleh laki-laki tersebut.

Tapi, demi kebebasan sang papa dan demi kebahagiaan kedua orang yang paling berjasa dalam hidupnya, Kia rela mengorbankan hatinya. Ia rela menerima tawaran Reiner, laki-laki yang ia benci karena telah memaksakan dia untuk dijadikan seorang istri.

Mendengarkan perkataan Kiara barusan, papanya bisa mengukir senyum manis. Ia segera memeluk putrinya, lalu mencium pucuk kepala Kiara dengan penuh kasih sayang.

"Terima kasih banyak, Kia sayang. Papa tidak tahu harus ngomong apa selain kata terima kasih padamu, Nak," kata papanya.

"Tidak perlu berterima kasih, Pa. Karena ini juga untuk kebaikan dan kepentingan Kia juga, iya kan?" Kiara berusaha menahan air mata agar tidak jatuh.

"Sayang, kamu telah menyelamatkan keluarga ini. Papa bangga sama kamu," kata papanya lagi.

Kia hanya tersenyum getir saja. Melihat papanya sangat bahagia, itu sudah membuat hatinya semakin yakin untuk menikah dengan Reiner. Meskipun ia akan mengorbankan perasaannya.

Sementara itu, pak Adi baru saja sampai ke rumah majikannya. Baru saja ia menginjakkan kaki ke halaman rumah, seorang pelayan sudah menunggu pak Adi di sana.

"Pak Adi, anda di tunggu tuan besar Willi di ruang kerjanya," kata pelayan itu saat baru saja melihat pak Adi turun dari mobil.

"Baiklah. Saya akan ke sana sekarang. Oh ya, bagaimana keadaan tuan muda? Apa dia baik-baik saja?"

"Tuan muda sepertinya tidak baik-baik saja. Seperti yang kita tahu, tuan muda tidak akan baik-baik saja jika ia terkena guyuran hujan," kata pelayan itu menjelaskan.

"Iya aku tahu. Terima kasih, aku harus segera pergi menemui tuan besar," kata pak Adi sambil beranjak.

Pak Adi sampai ke ruangan tuan besarnya. Dia langsung mengetuk pintu ruangan tersebut untuk memberitahukan kedatangannya pada Willi yang sedang menanti kedatangannya di dalam.

"Masuk." Terdengar suara kasar Willi dari dalam ruangan.

'Tuhan ... semoga saja aku tidak mendapat omelan dari tuan Willi," kata pak Adi sambil membuka pintu ruangan tersebut.

"Tuan besar ingin bertemu dengan saya? Ada apa?" tanya pak Adi pada Willi yang sedang membelakanginya.

"Ya, aku ingin bicara sama kamu, Adi. Tepatnya, aku ingin bertanya. Kenapa sampai Reiner bisa terkena guyuran hujan. Padahal kamu tahu, Reiner itu alergi dengan air hujan secara langsung. Bukankah tugas menjaga Reiner aku serahkan padamu? Kenapa kamu bisa membiarkan dia melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan?"

Willian terlihat kesal. Terdengar dari nada bicaranya yang kasar juga tinggi, saat ia menghujani pak Adi dengan banyak pertanyaan.

Willi memang terlihat cuek dan tidak bersahabat dengan Reiner saat berhadapan. Tapi di balik itu, ia adalah orang yang paling menyayangi anak satu-satunya itu. Dia memang tidak menampakkan rasa sayangnya, karena ia ingin, Reiner menjadi laki-laki tangguh yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan jadi anak manja yang hanya bisa bergantung pada orang tua.

Terpopuler

Comments

nartie

nartie

harusnya tetep.tunjukin kalaunsayang dong bapak.., kan kasian anaknya jd mikir yg gak2...

2023-02-02

0

Fitriyani Puji

Fitriyani Puji

wuis pada kemana ini apa cuma aku yang di kolom ini ya thor

2022-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!