Sembilan

"Kenapa? Kenapa harus kota ini? Jakarta. Sebuah kota yang membuat ku pertama kali membenci, dan di benci. Takdir, apakah hidupku ini karena mu? Lelah. Aku sangat lelah." Batin seorang gadis, yang saat ini sedang duduk di hamparan rumput hijau, berhadapan dengan sebuah danau buatan. Dia, gadis yang terlihat datar, tidak tersentuh, dan memasang muka yang seolah tidak peduli pada apapun. Gadis yang berusaha kuat di depan semua orang, dia Eli.

Eli melempar batu-batu kecil ke danau, dengan pandangan datar.

"Gue akan buat lo mengatakan AMPUN!" Kata Eli dingin.

"GUE AKAN BUAT LO KATAKAN AMPUN! GUE AKAN KENALKAN LO DENGAN APA NAMANYA SIKSAAN! TUNGGU GUE!" Teriak Eli, dan seketika air mata yang di tahan, berhasil keluar begitu saja.

"Hiks, apa gue gak pantas untuk bahagia? Bunda, apa Elena gak pantas bahagia?" Tanya Eli entah pada siapa.

"Boleh Elen ikut bunda? Di sini gak ada yang sayang sama Elen bun, hiks hiks." Isakan Eli semakin menjadi, mengingat dua belas tahun yang lalu.

"Maaf, Elen tidak bisa memenuhi permintaan bunda. Elen tidak bisa bunda! Andai bunda tahu, mereka sebenci itu sama Elen! Andai bunda tahu, mereka selalu melukai batin Elen! Hiks, bunda, Elen mau ikut bunda hiks." Eli melepaskan semua kesedihan yang selama ini dia pendam. Seberusaha apapun dia bersikap tegar, pada akhir nya dia pasti lelah, dan akan kembali.

"Dia, yang menjadi penyemangat di saat bunda pergi, kini dia juga ikut pergi. Dia buat Elen yang tambah terpuruk bunda." Eli terus bercerita, sampai rintikan hujan membasahi bumi. Rintikan itu semakin deras, tetapi Eli tidak beranjak dari tempat nya, bahkan matahari sudah tenggelam dari setengah jam yang lalu. Entah berapa lama Eli duduk di depan danau itu.

...----------------...

"Eli di mana? Dia baru saja keluar dari rumah sakit, sekarang malah hilang." Khawatir mamah Fana.

"Biarin aja, kamu kenapa sih? Khawatiri anak seperti dia?" Tanya papah Abson.

"Ia mah, ngapain sih cemasin orang kayak Eli itu." Tambah bang Devin.

"Biar bagaimanapun, dia tetap keluarga kita." Kata mamah Fana yang tidak habis pikir dengan jalan otak suami dan anak nya itu.

"Fana, dia memang tidak perlu di pikirkan. Sudah cukup dengan semua drama ini. Biar kan saja dia itu, lagian jika tidak amnesia, kelakuan nya masih sama." Jelas paman Ardan.

"Kak, dia keponakanmu." Kata mamah Fana sedih.

"Oh, ayolah mah, Eli itu tetap sama aja." Kata bang Devan yang jengah terhadap mamanya.

"Devan, dia adik kamu!" Bentak mamah Fana tampa sadar.

"Lihatlah, bahkan mamah sudah bentak Devan yang kesekian kalinya karena Eli. Dan yah, Devan tidak punya adik, yang berprofesi seorang pembunuh." Kata bang Devan tajam, membuat mamah Fana diam.

"Sudah lah mah. Karena dia kita jadi bertengkar." Lerai bang Bendra.

"Dia memang anak tidak tahu diri." Kata papah Abson, yang membuat mamah Fana tidak percaya. Dia darah daging kamu sendiri. Mengapa kamu sebegitu benci pada nya? Pikir mamah Fana.

"Akhiri semua drama ini. Tidak perlu di lanjutkan." Tegas papah Abson.

"Ia pah. Ingat itu, kita tidak perlu lagi berbaik hati padanya. Kita berikan hati, dianya minta jantung." Kata bang Devin tegas.

"Gue menang lagi Eli." Batin seseorang.

"Apa kalian tidak kasihan pada Eli? Dia pasti sangat terluka batinnya." Kata bibi Siska prihatin.

"Apa kamu lupa, apa yang di lakukan nya pada kak Riska?" Tanya Ghea, membuat uncle Rizky jadi memasangkan muka datarnya.

"Apakah bukti segitu cukup? Belum tentukan?" Tanya bibi Siska.

"Tapi itu udah jadi bukti yang kuat, kau juga ada di sana kan? Melihat nya dengan mata kepala sendiri?" Tanya Ghea.

"Tidak kah kamu pikir, di belakang kita apa yang terjadi? Belum tentu dia yang lakukan." Bibi Siska terus membela Eli.

"Sudahlah Siska, benar kata Ghea. Sudah jelas jika dia yang lakukan." Lerai paman Ardan, saat melihat istrinya itu terus membela Eli.

Bibi Siska diam, dia tidak mau membantah suaminya. Sedangkan mamah Fana? Dia terus diam, pikirannya kini sedang melayang-layang, entah kemana.

"Ini hujan deras, gimana keadaan kak Eli yah?" Tanya Monika tiba-tiba.

"Entahlah. Tidak usah memikirkan orang sepertinya Monika. Belum tentu dia memikirkan mu kan?" Jelas bang Devin.

"Tapi Monik udah anggap kak Eli sebagi kakak. Jadi berhak seorang adik memikirkan keadaan kakaknya." Jelas Monika sambil tersenyum manis.

Anggun dan Ferni mati-matian untuk menahan gejolak di dalam diri. Pencitraan banget lo! Pikir mereka.

"Andai kamu anak kandung papah, Monik. Pasti papah adalah orang tua terbahagia, bukan kayak sekarang memiliki seorang putri yang tidak penting kehadirannya." Kata papah Abson membuat mamah Fana meneteskan air matanya, Apakah aku salah memberikan seorang putri di keluarga Prayaga? Pikir mamah Fana.

"Sudah, jangan nangis. Kamu adalah mamah terbaik." Kata Bibi Siska sambil mengelus lengan mamah Fana.

"Kak Eli." Panggil Monika, saat melihat Eli melewati ruang keluarga.

"Ya ampun sayang, kamu sampai basah kuyup begini. Dari mana aja kamu?" Khawatir mamah Fana.

Eli tidak menjawab, dia masih diam di tempat, sangat malas untuk nya membuka suara, apa lagi mendengar percakapan, batin, dan pikiran keluarga ini.

"Bibi." Panggil mamah Fana.

"Ia nyonya? Jawab bi Surti.

"Ambilkan handuk, dan buat kan teh hangat untuk Eli." Pinta mamah Fana.

"Baik." Jawab bibi, dan langsung berlalu.

"Ayo duduk sini nak." Ajak mamah Fana, dan Eli hanya mengikutinya saja.

Khawatirnya mamah Fana sangat di lihat jelas oleh Eli, dia jadi merindukan sosok ibu kandungnya.

"Kamu dari mana sayang?" Tanya bibi Siska.

Lagi, Eli tidak menjawab nya, dan memilih diam.

"Dek, kamu dari mana? Ayo jawab, jangan diam." Tanya dan pinta bang Uzi.

Lagi, Eli lihat ada kecemasan di mata bang Uzi, tapi tetap dia diam saja.

"Lihatlah! Dia seperti tidak ada mulut." Bentak papah Abson, membuat seluruhnya kaget, kecuali Eli, yang masih santai dengan wajah datarnya.

"Pah!" Ingat mamah Fana.

"Kita tidak perlu drama lagi." Kata papah Abson jengah pada istrinya itu.

"Nyonya, ini handuk dan tehnya." Kata bi Surti.

"Ia, terimakasih." Jawab mama Fana, dengan tangan yang mengambil handuk, sedangkan tehnya sudah di letakan pada atas meja oleh bi Surti.

"Sama-sama nyonya. Saya permisi." Ujar bi Surti, dan langsung berbalik untuk pergi.

Mamah Fana sudah sibuk mengeringkan rambut Eli. Eli hanya diam, sambil menikmati gosokan di kepalanya, dengan menutup mata.

"Sayang minum tehnya." Kata bibi Siska, sambil memegang secangkir teh.

"Tidak suka." Jawab Eli datar.

Semua Menatap Eli yang sedang menutut mata itu dengan bingung. Apa yang tidak suka? Jelas mereka bingung dengan perkataan Eli.

"Apa nya yang tidak suka?" Tanya bang Uzi, mewakili pertanyaan yang ada di benaknya keluarga Prayaga.

"Teh." Jawab Eli membuat mereka semua kaget. Bahkan mamah Fana sudah menurunkan tangannya dari kepala Eli.

"Hah?" Bingung mereka kompak.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!