NovelToon NovelToon
Kumpulan Cerita HOROR

Kumpulan Cerita HOROR

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Dunia Lain / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror / Tumbal
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ayam Kampoeng

Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca

•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI

Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34 SEKTE SESAT Part 9

Sariwati dan Kompol Budi melaju dengan motor patroli menembus jalan berbatu menuju kota terdekat. Makassar. Udara pagi yang sejuk bercampur debu jalan membuat Sariwati merasa sedikit lebih aman, meski bayangan gua Bawakaraeng masih menghantui pikirannya. Kompol Budi diam sepanjang perjalanan, tangannya mencengkeram setang dengan kuat, seolah-olah dia juga merasakan beban kasus ini.

"Kita akan ke kantor polisi utama," kata Kompol Budi singkat saat berhenti di persimpangan. "Tim forensik sudah dalan perjalanan. Dan MUI... Mereka akan kirim perwakilan. Ini bukan lagi urusan desa kecil."

Sariwati mengangguk, tapi hatinya tetap tak tenang. Dia memegang erat buku catatan dan foto-foto yang dia sembunyikan di balik jaketnya. Bukti itu terasa berat, seperti kutukan yang hidup.

Saat motor melaju lagi, Sariwati melirik ke belakang. Kabut masih menyelimuti lereng Gunung Bawakaraeng, tapi di puncaknya, dia seolah melihat siluet hitam bergoyang pelan. Ratu Bayang. Bisikan samar terdengar di telinganya, meski angin bertiup kencang: "Kau pikir bisa lari... rumahmu menunggu..."

Mereka tiba di Makassar siang hari, di sebuah kantor polisi sederhana di pinggiran kota. Kompol Budi langsung melapor ke atasannya, menyerahkan pisau ritual dan menjelaskan kasus dengan serius. Sariwati duduk di ruang tunggu, diberi secangkir teh hangat oleh seorang petugas wanita. "Tunggu di sini, Nona. Kami akan selidiki," kata Kompol Budi sebelum menghilang ke ruang rapat.

Waktu berlalu sangat lambat. Sariwati mencoba tidur di kursi keras itu, tapi mimpi buruk datang kembali. Andi yang kesurupan, Jaka yang terkubur, dan Pak Rahman tertawa dengan mata merah.

Sariwati tersentak dan berkeringat. Jam dinding menunjukkan pukul 3 sore. Kompol Budi kembali menemuinya denagn wajah lelah.

"Tim sudah berangkat ke desa Bawakaraeng. Mereka akan razia malam ini. Kamu aman di sini, pulanglah ke rumah dinas besok pagi untuk ambil barang-barangmu. Kami butuh saksi mata di lokasi." ucap Kompol Budi.

Sariwati ragu. "Rumah dinas? Tapi desa itu... berbahaya."

"Kami akan ada di sana. Dan ini perintah," jawab Kompol Budi.

Kompol Budi menawarkan tumpangan ke penginapan murah yang ada di kota.

Malam itu, Sariwati menyewa kamar sederhana, tapi tidur tak tenang. Bisikan Ratu Bayang semakin kuat terdengar, menghantui gelisahnya dalam tidur.

Keesokan paginya, Sariwati kembali ke desa dengan bus pagi, didampingi dua petugas polisi muda. Desa Bawakaraeng tampak normal di siang hari. Tak ada tanda sekte sesat mengancam, tak ada nyanyian pemujaan, tak ada altar. Saat tiba di rumah dinas, pintunya terbuka lebar, seolah-olah seseorang baru saja pergi.

"Halo?" panggil salah satu petugas yang masuk duluan dengan pistol di tangannya. Rumah itu sepi, tapi aroma kemenyan samar masih tercium. Sariwati melangkah ke kamarnya, mencari surat yang dia tinggalkan untuk Andi. Tak ada. Ranjang kosong, tapi di atasnya, ada noda basah, seperti air mata atau darah encer.

Tiba-tiba, cermin di dinding kamar mandi retak pelan. Sariwati mendekat, jantungnya berdegup. Di pantulan cermin, wajahnya tampak normal, tapi di belakangnya, ada sosok. Wanita berbaju hijau, rambut hitam menjuntai, wajah cantik tapi mata hitam pekat. Ratu Bayang! Sosok itu tersenyum, bibirnya melengkung lebar dengan gigi tajam berkilau.

"Apa... apa ini?" gumam Sariwati, mundur ketakutan.

Bisikan mulai terdengar, "Sariwati... Kau pulang... Bagus. Sekarang, lihat dirimu." Pantulan Sariwati di cermin berubah. Wajahnya memucat, matanya merah, dan tangannya, di cermin tampak meraih lehernya sendiri, mencekik pelan. "Bunuh... mereka yang datang... polisi... hancurkan bukti..." bisikan itu terdengar.

Sariwati menjerit, memukul cermin hingga pecah. Kaca beterbangan, memotong lengannya. Darah menetes, dan petugas berlari masuk. "Nona! Apa yang terjadi?"

"Cermin... ada sesuatu di cermin!" kata Sariwati, nafasnya tersengal. Tapi saat para polisi itu melihat, tak ada sosok Ratu Bayang. Hanya pecahan kaca dan darah Sariwati.

Petugas itu saling pandang, mengira Sariwati berhalusinasi karena trauma.

"Kita periksa rumah ini," kata yang satunya.

Mereka menemukan jejak kaki di lantai. Jejak itu kecil, seperti milik Jaka. Sariwati terduduk di lantai, memeluk lututnya. Bisikan tak berhenti, "Perintahku... bunuh... atau Andi mati..."

Malam datang dengan cepat. Tim polisi utama tiba, dipimpin Kompol Budi. Mereka merazia rumah Pak Rahman. Kosong, altarnya tak ada. Warga bungkam, tak ada yang berani bicara. Tapi saat itu angin gunung menderu. Sariwati sendiri di rumah dinas dijaga dua petugas, tapi dia tetap tak bisa tidur. Di kegelapan, bayangan di dinding bergerak lagi, merayap dari celah pintu, membentuk tangan hitam yang meraih.

"Gabung... atau mati..." Bisikan itu kini seperti jeritan di kepalanya.

Sariwati bangun, meraih senter. Dia keluar kamar, menuju ruang tamu. Di sana, para polisi tertidur. Tapi di sudut ruangan, altar kecil yang tak ada sebelumnya, tiba-tiba ada di sana. Patung kayu Ratu Bayang, dikelilingi lilin hitam yang menyala sendiri.

Saat senter menyinari patung itu, mata kayunya berubah menjadi merah, seperti darah. Dan dari balik patung, suara pun terdengar, "Bunuh penjaga... polisi... tiketmu aman..."

Sariwati mundur, tapi kakinya terpaku. Sebuah visi datang, menyerang pikirannya. Andi sedang berada di gua, dia dirasuki dengan pisau mengarah ke lehernya sendiri.

Karena panik, Sariwati lari keluar rumah menuju gua. Dua polisi yang menjaganya pun terbangun dan mengejar. Tapi di jalan yang gelap, bayangan hitam Ratu Bayang merubah wajahnya menjadi wajah Andi yang tersenyum. "Perintah... bunuh..."

Jeritan Sariwati memecah keheningan malam di desa Bawakaraeng, tapi tak ada yang datang menolong. Polisi yang menjaganya terlambat mengejar. Mereka hanya melihat bayangan hitam yang lenyap ke dalam kabut seperti asap.

"Nona! Tunggu!" seru salah satu polisi, tapi Sariwati sudah hilang entah ke mana, kakinya membawa dia menuju arah gua tanpa sadar.

Bisikan Ratu Bayang bergema di kepalanya, "Bunuh... polisi... atau Andi hilang selamanya..."

Tim polisi utama, dipimpin Kompol Budi, sudah berkumpul di balai desa Bawakaraeng saat itu. Mereka baru saja menyelesaikan razia awal. Di rumah Pak Rahman yang kosong, tapi mereka tahu bahwa gua Bawakaraeng adalah pusat ritual.

"Ini bukan sekedar penipuan," gumam Kompol Budi ke anggotanya, memegang pisau ritual yang sudah dikonfirmasi forensik bahwa ada noda darah manusia. "Ada yang lebih gelap di sini."

Para polisi itu terkejut saat mendengar jeritan Sariwati dari kejauhan, dan spontan bergerak mengejar ke arah datangnya suara.

Sementara itu, Sariwati tiba di gua, nafasnya tersengal. Obor-obor yangmenyala di dalam gua menerangi lingkaran warga yang sudah berkumpul lagi, seolah-olah razia polisi tak lebih dari sekedar gangguan kecil. Pak Rahman berdiri di atas altar batu, jubah hitamnya berkibar. Bu Aisyah siaga di sampingnya dengan mata merah menyala. Dan di tengah altar, Andi diikat, matanya putih kosong, mulutnya menggumamkan mantra kuno.

"Andi!" teriak Sariwati, berlari masuk ke dalam gua.

Warga menoleh ke arah Sariwati, tapi tak ada yang menghalanginya seolah-olah dia diundang. Pak Rahman tersenyum dingin. "Selamat datang, Mbak Sariwati. Ratu sudah menunggumu. Ritual darah malam ini... untukmu."

Sariwati berhenti di depan altar, tubuhnya gemetar. Bau darah segar memenuhi hidungnya. Di altar ada hewan liar yang baru disembelih. Seekor babi hutan, lehernya menganga, darahnya mengalir ke saluran batu yang mengarah ke patung Ratu Bayang. Tapi itu tak cukup. Pak Rahman mengangkat pisau kuningannya, "Persembahan hewan hanyalah permulaan. Ratu haus akan darah manusia. Darah yang murni, seperti milikmu dan Andi."

Andi tiba-tiba tersentak, tubuhnya kejang. Suara dari mulutnya bukan lagi miliknya, "Kak... bantu... aku... Gabung... atau aku mati sekarang."

Warga mulai bernyanyi, suara mereka bergema seperti jeritan massal, tangan mereka bergandengan membentuk lingkaran yang semakin mengecil, menjebak Sariwati.

Tanpa mereka sadari, Kompol Budi dan timnya tiba tepat waktu, "Hentikan! Semua bubar! Ini razia polisi!" teriak Kompol Budi, suaranya menggema di dalam gua.

Beberapa warga berlarian panik keluar gua, tapi para pengikut setia tetap diam, tak bergeming.

Pak Rahman tertawa. "Terlambat, Pak Polisi... Ritual sudah dimulai. Ratu akan melindungi kami."

Bu Aisyah maju, tangannya memegang semangkuk darah babi. Dia tuangkan darah itu ke altar, dan tiba-tiba, darah itu mendidih, mengeluarkan asap hitam yang membentuk bayangan Ratu Bayang di dinding gua. Sosok itu lebih jelas sekarang. Wanita hijau dengan wajah yang berubah-ubah, kadang cantik, kadang mengerikan dengan kulit retak seperti tanah kering. Matanya merah menyala, menatap lurus ke arah Sariwati. "Darah... lebih banyak... manusia..."

Andi, masih dirasuki, dia mencoba melepas ikatannya. "Kak... lari!" jeritnya sebentar, sebelum suara Ratu Bayang mengambil alih, "Bunuh polisi... mulai dari dia!"

Tangan Andi yang terbebas dari ikatan, meraih pisau kecil yang jatuh dari altar. Dia berdiri, mata putihnya tertuju pada Kompol Budi yang mendekat.

"Turunkan pisaumu!" perintah Kompol Budi dengan pistol mengarah pada Andi, tapi Andi tak mendengar. Dia maju dengan pisau terangkat. Sariwati bergerak cepat, mendorong adiknya hingga jatuh. "Andi, ini aku! Bangun!"

Tapi saat dia memegang tangan Andi, visi atau penglihatan itu datang lagi. Darahnya sendiri mengalir, dicampur darah hewan. Dia menjadi "tumbal manusia" untuk ritual.

Kekacauan pun terjadi. Beberapa pengikut sekte sesat menyerang polisi dengan batu dan tongkat. Tapi tim Kompol Budi lebih siap, tembakan peringatan pun menggema, membuat mereka mundur ketakutan. Pak Rahman beringsut ke belakang altar, tapi Bu Aisyah tak gentar. Dia memotong telapak tangannya sendiri, darahnya menetes ke dalam mangkuk, bercampur dengan darah babi. "Ratu! Ambil jiwa mereka!" serunya.

Asap hitam pun meledak dari altar, menyelimuti area gua. Para polisi terbatuk-batuk, senter mereka menyala redup. Dari kegelapan, bayangan Ratu Bayang merayap, menarik salah satu polisi ke dinding.

KREEEEK!

Suara tulang patah terdengar.

"Ini... ini gila!" jerit Kompol Budi, menembak ke arah bayangan, tapi pelurunya meleset dan menghantam batu.

Sariwati gegas menarik Andi, mencoba mengajak kabur. Sedangkan Pak Rahman muncul dari asap, dengan pisau di tangannya dia menusuk bahu seorang petugas yang jatuh. Darah segar menyembur, bercampur ke altar.

"Satu saja sudah cukup untuk memulai ritual!" teriak Pak Rahman.

Andi yang masih kesurupan, ikut maju dan memotong lengannya sendiri. Darahnya menetes, dan tubuhnya berguncang liar. Kulitnya pucat, matanya hitam sepenuhnya, dan dia menyerang Sariwati dengan pisau.

"Kak... maaf..." gumam Andi sebentar, sebelum desisan Ratu Bayang terdengar, "Tumbal... saudara..."

Sariwati menghindar, tapi pisau itu tetap menggores lengannya. Darahnya menetes ke tanah gua, dan altar pun bergetar. Ratu Bayang tertawa, suaranya menggema, "Lebih... banyak..."

Kompol Budi menembak ke udara dan memecah kabut hitam di dalam gua. "Semuanya mundur!"

Timnya yang terluka ditarik keluar gua, termasuk Sariwati yang pingsan karena darahnya mengalir deras. Andi menghilang di balik kegelapan gua, bergabung dengan Pak Rahman dan Bu Aisyah yang kabur lebih dulu.

Saat Sariwati dibawa keluar, gua bergemuruh seperti suara tanah longsor. Ritual darahnya hanya berhasil separuh, tapi Ratu Bayang semakin kuat.

Desa Bawakaraeng sekarang ditetapkan sebagai desa zona merah. Dan saat Sariwati dibawa ke rumah sakit Makassar, Sariwati mengigau. Setelah mendapatkan penanganan dokter dengan sebuah luka jahitan, dia tetap mendengar bisikan Ratu Bayang tanpa henti, "Kau sudah beri darah... sekarang, selesaikan..."

*

1
Ayam Kampoeng
terima kasih buat yg sudah kasi koin ya 🙏😊
Ayam Kampoeng
siap kak🙏
WONG NDESO
lanjutkan
Ayam Kampoeng: siap kak 🙏
total 1 replies
WONG NDESO
mantab
WONG NDESO
lanjut
WONG NDESO
baguss
WONG NDESO
bagus
Ayam Kampoeng: makasi kak... 😊
total 1 replies
Aoi Farasha
ceritanya okay bgt. ngeri2 merinding bacanya. anti typo juga. aku suka banget, Thor... lanjuuuuut

buat othor ganteng ni kukasi kue dah xixixi 🥧🍰🧁🍮🍧🥮🥠
Aoi Farasha
yaaah udh tamat. kakak orang Bali ya? kok ceritanya detail banget kak? hehehe
Ayam Kampoeng: bukan... 🙏 saya orang Indonesia yg nomaden dan suka menulis pengalaman menjadi sebuah karya 😊
total 1 replies
Mini_jelly
Rasain lu ndra!!!
Ayam Kampoeng: Ndra...
ato Ndro? 🤣🤣
total 1 replies
Mini_jelly
seruuu, 🥰🤗
Mini_jelly: sama2 kak 🥰
total 2 replies
Mini_jelly
Bully itu emg bukan cuma fisik. Ejekan kecil yang diulang-ulang, pandangan sinis, atau diasingkan perlahan-lahan juga membunuh rasa percaya diri. Sadar, yuk."
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰
Ayam Kampoeng: 😊😊😊........
total 3 replies
Mini_jelly
😥😭😭
Ayam Kampoeng: nangis .. 🥲
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: hadeh ..
total 1 replies
Mini_jelly
me too 🥰❤️
Ayam Kampoeng: ekhem 🙄🤭
total 1 replies
Mini_jelly
udh lama gk mampir, ngopi dlu 🥰
Ayam Kampoeng: kopi isi vanila. kesukaan kamu 🤤🤸🤸
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: malah ketawa... 😚😚😚💋
total 1 replies
Mini_jelly
semangat nulisnya pasti seru nih 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!