Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 34 Ruangan Terlarang
Lorong itu semakin menyempit. Udara makin dingin, seperti menembus tulang. Cahaya dari senter Revan bergetar di dinding yang lembap dan dipenuhi bercak karat.
Setiap langkah mengeluarkan gema, panjang dan berat, seolah tempat itu menelan suara mereka.
Daren berjalan di depan, tapi langkahnya melambat. Tangannya sedikit gemetar saat menunjuk ke arah dinding besi besar di ujung lorong.
“Itu… itu pintunya,” katanya pelan.
“Di balik sana tempat mereka mengurung… sesuatu.”
“Kamu bilang tempat ayah Mauryn disembunyikan?” Revan menatap tajam.
Daren mengangguk cepat, tapi matanya menunduk.
“Ya. Tapi aku tidak tahu apakah dia masih hidup. Tak ada yang pernah keluar dari ruangan itu.”
Mauryn melangkah maju. Tatapannya terpaku pada pintu yang nyaris tertutup kabut dingin.
Ia bisa mendengar suara lagi.
Kali ini lebih jelas.
Lebih nyata.
“Mauryn…”
“Kamu datang akhirnya…”
Suaranya berat, serak, tapi lembut.
Ia menutup mata sejenak, menahan gemetar di tangannya.
“Dia memanggilku,” ucapnya lirih.
Revan menatapnya, raut wajahnya menegang.
“Kamu yakin?”
“Itu suara ayahku. Aku tahu.” Mauryn membuka mata.
Revan memandang pintu itu dengan hati-hati.
“Kalau dia benar di balik sana, berarti tempat ini dijaga ketat. Bisa jadi ada jebakan.”
“Tidak ada jalan lain.” Mauryn menatapnya teguh.
“Aku harus masuk.”
Daren menelan ludah keras.
“Pintunya tidak bisa dibuka dari sini. Kamu butuh panel di sisi kiri. Tapi…” ia berhenti
“…kalau kamu menyalakannya, sistem cadangan bisa aktif, dan mereka akan tahu kita ada di sini.”
“Hebat. Jadi kita harus pilih antara tertangkap atau buta arah.” Revan mengumpat pelan.
Mauryn melangkah mendekat, tangannya menyentuh dinding dingin di dekat pintu.
“Biar aku yang lakukan.”
Revan cepat menahan bahunya.
“Mauryn, jangan gegabah.”
“Aku tidak gegabah. Aku… merasa pintu ini bereaksi padaku.”
“Bereaksi? Maksudmu apa?” Daren menatapnya bingung.
Mauryn memejamkan mata, fokus. Dan benar ada getaran halus dari balik logam itu, seperti sesuatu yang menyambutnya.
“Kamu anakku… buka pintu itu…”
Ia menarik napas dalam, lalu meletakkan telapak tangannya ke permukaan pintu. Cahaya samar muncul dari bawah kulitnya sinar keperakan yang berdenyut perlahan, lalu mengalir ke dinding.
Daren mundur satu langkah.
“Apa yang kamu….”
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, pintu itu bergetar pelan lalu bergeser dengan bunyi berat, membuka celah cukup lebar untuk mereka masuk.
Revan menatapnya dengan campuran kagum dan waspada.
“Kamu baru saja membuka pintu logam berlapis dengan tangan kosong.”
Mauryn menatap tangannya yang masih bergetar.
“Aku… tidak tahu bagaimana. Aku hanya… merasa harus melakukannya.”
“Mereka benar. Kamu berbeda dari subjek lain…” Daren menatap dengan mata lebar.
“Cukup,” potong Revan tajam.
“Masuk atau tidak?”
Mauryn melangkah duluan, menembus celah pintu. Ruangan di baliknya luas, tapi remang. Dinding-dindingnya penuh kabel dan mesin tua. Beberapa monitor masih berkedip lemah, menampilkan simbol-simbol yang sudah tak terbaca.
Di tengah ruangan, ada kursi logam besar yang dikelilingi tali pengikat dan perangkat rusak. Dan di belakangnya di sebuah ruangan kaca yang separuh retak terdapat sosok yang terbaring.
Mauryn menahan napas. Langkahnya terasa berat.
“Ayah…”
Sosok itu tidak bergerak. Wajahnya pucat, penuh kabel halus yang menempel di kulit. Tapi ketika Mauryn mendekat, matanya perlahan terbuka.
Pandangan itu kosong beberapa detik sebelum akhirnya fokus padanya.
“Mau… ryn?” suara itu serak, nyaris tak terdengar.
Mauryn langsung berlari mendekat, air matanya pecah.
“Ayah! Tuhan… aku pikir kau sudah….”
Tapi sebelum ia sempat menyentuh kaca itu, alarm tiba-tiba menyala. Lampu merah berputar cepat, disertai suara sistem yang retak.
“Intrusi terdeteksi. Protokol pertahanan aktif.”
Revan langsung menoleh ke Daren.
“Apa yang kamu lakukan!?”
Daren terkejut setengah mati.
“Aku….aku tidak menyentuh apa pun!”
“Ayah! Bagaimana aku membukanya?” Mauryn berbalik panik.
Suara sang ayah serak, terputus-putus.
“Lari… kalian harus lari…”
“Tapi aku tidak akan meninggalkanmu lagi!” teriak Mauryn, menepuk kaca dengan telapak tangannya.
Kaca itu bergetar hebat, dan tiba-tiba cahaya listrik menjalar di sekitarnya. Revan menarik Mauryn mundur tepat waktu sebelum arus menyambar permukaan tempat ia berdiri.
Ledakan kecil terdengar dari atas ruangan. Debu beterbangan. Lampu-lampu padam satu per satu.
“Revan, apa yang terjadi!?”
“Pertahanan otomatis. Tempat ini menganggap kita musuh.”
Daren menatap sekeliling, panik.
“Kita harus keluar dari sini sebelum pintu menutup lagi!”
Namun pintu besar di belakang mereka sudah mulai bergerak, menutup perlahan dengan bunyi berat.
“Tidak!”
Revan menarik Mauryn dan Daren, berlari ke arah celah yang tersisa. Tapi sebelum mereka sempat keluar, sesuatu dari langit-langit jatuh lengan mekanik besar dengan lampu merah di ujungnya.
Suaranya berat, bergetar, seperti makhluk besi yang sadar.
Revan langsung menarik senjatanya, menembak ke arah lampu sensor itu.
“Pergi, Mauryn!”
“Tapi ayahku…!”
“Mauryn, SEKARANG!” teriak Revan.
Daren menarik lengannya, memaksa.
“Kita tak bisa menolongnya kalau kita mati di sini!”
Mauryn menatap ke belakang ayahnya masih terbaring, memandangnya lemah dari balik kaca.
“Pergilah…” suara itu bergema di kepalanya.
“Aku akan menunggumu…”
Air mata menetes di pipinya saat akhirnya ia berbalik, berlari melewati celah pintu bersama Daren. Revan menyusul di belakang, nyaris tersambar lengan besi yang menghantam dinding keras.
Begitu mereka keluar, pintu itu tertutup rapat dengan bunyi berat.
Hening.
Hanya napas ketiganya yang tersisa.
Mauryn jatuh berlutut, bahunya bergetar.
“Aku meninggalkannya lagi…” suaranya parau, penuh rasa bersalah.
Revan berjongkok di depannya, menatapnya dalam.
“Kita akan kembali. Tapi tidak sekarang. Kamu lihat sendiri, tempat itu sudah jadi perangkap.”
Mauryn menatapnya, air mata masih mengalir.
“Dia masih hidup, Revan… aku bisa merasakannya.”
“Aku tahu.” Revan mengangguk pelan.
Lalu ia berdiri, menatap lorong gelap di belakang mereka.
“Dan karena itu, mereka pasti akan datang lebih cepat.”
Daren masih terengah di sisi lain, wajahnya penuh debu dan ketakutan.
“Kamu gila kalau berpikir kita bisa masuk lagi setelah ini. Tempat itu… hidup. Ia melindungi dirinya sendiri.”
Revan menatap tajam.
“Kalau begitu kita cari cara untuk mematikannya.”
Mauryn menatap mereka berdua, lalu menatap ke arah pintu baja itu lagi.
Di balik sana, ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kehidupan ayahnya.
Ada kebenaran besar yang belum tersingkap.
Dan ia tahu, pertempuran sebenarnya baru saja dimulai.
Bersambung…
Jangan lupa Like, komen dan Vote yah semua..