Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Salah Tukang Kebun
Komandan Rendy Wibowo kaget. Malam-malam, Komandan Rakha Wisesa mendesak pengerahan polisi ke Pulau Panggang.
"Ada bukti kuat?" tanya Komandan Rendy, ragu.
"Info dari informan saya. Detailnya rahasia," jawab Rakha tegas. "Profesor Bayu Nugroho itu tokoh kunci. Tak boleh ada salah sedikit pun!"
Komandan Rendy terdiam.
Rakha melirik jam tangannya. "Jika info ini keliru, saya, Rakha Wisesa, yang akan tanggung semua akibatnya."
"Rakha, kalau jaminannya sebesar itu, aku tak mungkin menolak," Komandan Rendy mengalah. "Aku segera hubungi Pos Polisi Pulau Panggang. Kirim kontak informanmu, mereka harus percaya dia."
Komandan Rendy langsung menghubungi Kepala Pos Polisi, Hanif Razak, meminta mereka mengamankan Profesor Bayu dan informan bernama Salsa Liani.
Di sisi lain, Profesor Bayu menolak pengawalan. Baginya, pulang ke kampung halaman yang ia cintai takkan jadi masalah.
Di taksi, sopir bercerita bangga, "Pulau Panggang ini keren sekarang, Neng! Dulu miskin, sekarang makmur berkat Profesor Bayu."
Salsa Liani makin terdiam. Dia ingat penglihatannya: orang tua para bocah nakal itu justru pernah dibantu sang profesor.
"Kerjaanmu apa, Neng?" tanya sopir taksi, curiga karena Salsa terus bertelepon dengan suara misterius.
"Maaf, Pak. Saya lagi memastikan keamanan mobil depan. Tolong ikuti saja," jawab Salsa, sengaja berlagak penting.
"Siap! Saya paham!" Sopir taksi langsung semangat. "Kita sudah di jembatan!"
Ponsel Salsa Liani berdering.
"Rekan informan, saya Hanif Razak, Kepala Pos Polisi. Anda di mana?"
"Sudah di atas jembatan, Pak!" Salsa Liani cepat bertanya, "Sudah ketemu tiga bocah itu?"
Suara Hanif berat, "Pulau ini sedang dibangun, CCTV dan lampu jalan kurang. Kami... belum ketemu. Ponsel Profesor Bayu mati. Anda satu-satunya petunjuk kami."
Jantung Salsa Liani mencelos.
"Kami segera kirim personel. Anda harus cari cara untuk menahan Profesor Bayu!" pesan Hanif.
Salsa menutup telepon. Sopir taksi berkata, "Mobil depan melambat, mau berhenti. Kita bagaimana?"
"Hentikan mobil tepat di sampingnya," putus Salsa Liani.
Lima menit kemudian, taksi Profesor Bayu berhenti. Sopirnya bilang jalan di depan rusak parah.
"Tak masalah. Saya jalan kaki saja," kata Profesor Bayu.
Beliau baru akan membuka pintu, tapi sopir taksi memanggil, "Pak, ada taksi di belakang yang terus mengikuti kita. Jangan-jangan orang jahat?"
Profesor Bayu menoleh, melihat taksi Salsa Liani. Beliau memeluk tas kerjanya erat-erat.
Saat Salsa Liani turun, Profesor Bayu kaget. Kenapa gadis dari restoran itu ada di sini?
"Nona, jelaskan kenapa Anda mengikuti saya?" tanya Profesor Bayu serius, membetulkan kacamata yang memantulkan cahaya dingin.
Salsa Liani menelan ludah. "Profesor Bayu, saya mitra Pos Polisi. Kami dapat info ada geng remaja 13-14 tahun yang merampok pejalan kaki di area ini."
"Untuk keamanan Anda, mohon tunggu di sini sampai polisi datang mengawal."
Profesor Bayu mengerutkan dahi.
"Perampokan?" Suaranya meninggi, tak percaya. "Bagaimana anak-anak di Pulau Panggang bisa melakukan itu?"
Salsa diam. Dia paham. Di mata Profesor Bayu, pulau ini adalah rumah.
"Orang tua mereka semua saya kenal, orang baik!" gumam Profesor Bayu, membela kampung halamannya.
"Profesor," kata Salsa Liani pelan. "Manusia bisa berubah... terutama anak-anak."
"Orang tua mereka jujur! Tidak mungkin!" Profesor Bayu berwajah dingin, lalu berbalik dan melangkah cepat ke arah rumahnya.
"Profesor, tunggu polisi! Bahaya!" seru Salsa Liani, buru-buru menyusul sambil menghubungi Hanif.
"Bahaya?" Profesor Bayu mencibir. "Mereka itu anak-anak teman saya!" Beliau melangkah makin cepat menuju gang yang gelap.
Salsa Liani tahu, bujukan lisan takkan berhasil.
Dia merapatkan tasnya, menggigit bibir, dan mengejar Profesor Bayu. Dia membawa semprotan merica, senter ultra-terang, dan kembang api bom asap.
Salsa Liani menyalakan senter super-terang di tangannya.
"SRAAK!"
Cahaya putih tajam membelah kegelapan, membuat gang itu terang benderang.
Gila! Senter ini memang kuat! Besok wajib kasih review bagus.
Tentu saja, itu kalau malam ini mereka selamat.
Salsa Liani pasang wajah tak enak saat Profesor Bayu menegur soal senter. "Profesor, saya cuma takut Anda tersandung."
Salsa mulai berakting. "Kali ini, biarkan saya ikut! Saya baru magang, kalau gagal, saya tamat! Atasan saya galak, pasti dimarahi habis-habisan!"
Melihat wajah memelas Salsa Liani, Profesor Bayu luluh. "Baiklah, kali ini kamu ikut."
Salsa Liani senang. Di tempat secerah ini, mereka pasti tidak berani, kan?
Namun, baru seratus meter, tiga siluet muncul dalam jangkauan cahaya.
Jantung Salsa Liani mencelos.
Paling depan berambut pirang, tengah pendek kekar, dan yang terakhir bermasker hitam dengan bekas luka di alis. Saku celananya menggembung, seperti menyimpan pisau.
"Malam-malam begini pakai senter terang banget," kata si rambut pirang menyeringai.
Bocah pendek kekar mencibir, "Kalian rapi begini, pasti banyak duit, ya? Kami lagi butuh buat main internet. Pinjam sedikit, ya?"
Profesor Bayu membeku. Wajahnya pucat. Pandangan idealisnya hancur.
Ia menatap bekas luka di alis bocah bermasker itu. Aku kenal dia. Bocah ini adalah anak dari ibu tunggal yang dibantu yayasannya.
"K-kamu... Alex?" Suara Profesor Bayu bergetar. "Ibumu sakit parah. Yayasan sudah bantu banyak! Kenapa kamu merampok?"
"Diam!" Alex berteriak marah. "Jangan sebut wanita tua itu! Mereka sumbang banyak, tapi dia pelit, tak mau kasih seratus ribu pun padaku!"
Profesor Bayu terhuyung.
Salsa Liani cepat berbisik, "Pikir baik-baik! Kalau kalian sentuh dia, ini kasus besar!"
"Terus kenapa?" Alex mencibir. "Kami di bawah umur, paling-paling cuma dapat teguran!"
"Banyak omong!" potong si rambut pirang, mendekati Profesor Bayu. "Serahkan uangnya!"
Salsa Liani membentak, "Polisi sebentar lagi datang!"
Para remaja itu tertawa.
Salsa menyesal tidak bawa uang tunai. "Profesor, ada uang tunai? Berikan saja!"
Profesor Bayu meletakkan lima ratus ribu di tanah.
"Cuma segini? Tas dan ponsel kalian juga!" Si rambut pirang maju, mencoba merebut tas Profesor Bayu.
Salsa Liani memanfaatkan momen itu. Dia menyalakan kembang api bom asap, melemparnya ke arah tiga bocah itu, lalu menarik Profesor Bayu dan lari.
Salsa Liani lari sekencang mungkin.
Profesor Bayu yang sudah tua tak sekuat Salsa Liani. Terdengar bunyi plak. Tas kerja beliau terjatuh!
Dokumen di tas itu adalah nyawanya. Beliau terpaksa berhenti untuk mengambilnya.
Tepat saat ketiga bocah itu maju dengan pisau.
Sirine polisi yang memekakkan telinga membelah malam! Lampu merah-biru menyinari seluruh gang!
Ketiga bocah itu terpaku. Tujuh mobil polisi memblokir jalan, pasukan khusus mengepung. Wajah mereka pucat pasi.
"K-kami cuma pinjam uang..."
"Kami cuma bercanda, Pak Polisi! Kami masih anak-anak!"
Kepala Pos Polisi Hanif Razak memastikan Profesor Bayu aman. "Tidak bisa ditangkap? Kalian sudah belajar hukum, ya?" Hanif mencibir, lalu memutar rekaman ancaman mereka. "Menurut UU Pidana, usia empat belas tahun ke atas yang melakukan perampokan bersenjata, tetap dikenakan sanksi pidana."
Ketiga remaja itu langsung ambruk.
Profesor Bayu memeluk tas kerjanya, menatap mobil polisi.
Salsa Liani lega. Dia orang yang dingin, tapi sepertinya cukup bisa diandalkan, pikir Salsa Liani tentang Komandan Rakha.
Hanif menghampiri Salsa Liani dan memberi hormat. "Rekan informan, terima kasih banyak. Kalau Profesor Bayu celaka, kami semua takkan sanggup menanggungnya."
"Kalian juga cepat tanggap," jawab Salsa Liani malu-malu.
Hanif tersenyum kecut. "Kami tak berani terlambat. Komandan Rakha dari Markas Besar itu seperti mengirimkan 'surat kematian'. Info Anda sangat akurat. Pantas Komandan Rakha sebegitu memercayai Anda."
Salsa Liani kaget. "Dia? Memercayai saya?"
Hanif menjelaskan, "Meminta tanggap darurat tanpa bukti itu hampir mustahil. Komandan Rakha berjanji menanggung semua tanggung jawab jika informasinya keliru."
Mata Salsa Liani terbelalak. Hatinya campur aduk.
Profesor Bayu menghampirinya. "Maafkan saya," kata beliau tulus. "Saya terlalu keras kepala."
"Profesor," balas Salsa Liani, menggeleng. "Sulit percaya bencana akan menimpa kita, sebelum itu benar-benar terjadi."
"Tanpa kamu, saya mungkin celaka," kata Profesor Bayu, menatap ombak. "Mungkin... saya terlalu lama pergi."
Beliau menatap tiga remaja yang digiring. "Yang mereka takuti adalah sirine dan borgol, bukan nurani. Anak-anak teman saya ini... saya merasa asing."
Salsa Liani menepuk bahunya lembut. "Profesor, di tanah yang sama, ada dahan yang berbuah manis, ada yang menumbuhkan duri. Itu bukan salah si tukang kebun."
Profesor Bayu terkejut. Dia, yang hampir 60 tahun, dinasihati gadis muda.
Salsa Liani tersenyum. "Ayo pulang, Profesor. Istri Anda menunggu."
Profesor Bayu mengeluarkan kartu nama. "Nak, siapa nama kamu? Kamu bawa banyak sekali alat bela diri," kata beliau saat melihat tas Salsa Liani.
Salsa Liani menerima kartu nama. "Saya ini jagoan nol besar, Pak. Tapi sering ketemu bahaya. Saya takut mati. Makanya selalu sedia alat bela diri. Kalau bisa, saya malah mau bawa gergaji listrik."
"Takut mati itu bagus," Profesor Bayu tertawa. Beliau menceritakan tentang teman lamanya di luar negeri yang punya laboratorium keamanan top.
"Mereka punya gelang pintar 98 desibel, syal anti-sayat, bahkan pena laser yang bisa bikin pusing," kata Profesor Bayu. "Sarung tangan kejut listrik generasi keempat juga gila."
Salsa Liani mengangguk pusing, tapi alat-alat itu kedengarannya keren!
"Berikan alamatmu. Aku akan hubungi temanku, minta beberapa untukmu," kata Profesor Bayu.
Salsa Liani langsung memberikan alamatnya. Alat penyelamat nyawa, siapa yang menolak?
Melihat Profesor Bayu menjauh, Salsa Liani merasakan kepuasan luar biasa. Dia sudah mencegah sebuah bencana nasional.
Tak lama, dua mobil polisi datang lagi. Komandan Rakha dan Komandan Rendy Wibowo turun.
Salsa Liani jadi gugup. Pasti sebentar lagi diinterogasi.
Komandan Rakha berdiri tegak, seragamnya rapi, bintang perak di bahunya berkilau dingin.
Salsa Liani menguap. Begitu pandangan Rakha menyasar padanya, ia langsung segar. Ia meringkuk di balik selimut, berjalan perlahan ke arahnya.
"Ini pahlawan besar kita hari ini!" seru Hanif.
Komandan Rakha menanggapi dingin, "Ini berkat informan. Dia bisa diandalkan karena kemampuannya sendiri."
"Baiklah, Rakha, bawa orangmu pulang," kata Komandan Rendy.
Komandan Rakha mengangguk, menatap Salsa Liani. "Ayo, kuantar pulang."
"Ke mana?" tanya Salsa Liani kaget.
Komandan Rakha berjalan pergi. "Pulang istirahat."
Salsa Liani terkejut. "Anda tidak ada yang mau ditanyakan?"
"Aku takut, kalau aku interogasi, kamu malah ketiduran," balas Komandan Rakha, suaranya datar. "Nanti aku yang harus menyelimutimu."
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍