Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Terpuruk.
Sampai beberapa hari ini, Papa Rinto masih berada di wilayah kerja tersebut. Beliau pun sengaja mendadak mengambil cuti demi memantau sendiri keadaan putra keduanya.
Setelah tau kejadian kemarin, Papa Rinto menyita seluruh 'barang' milik Bang Shano. Tangan Bang Shano mulai gemetar karena beberapa hari ini dirinya sama sekali tidak menyentuh barang itu lagi.
Sebenarnya Jena sudah tidak tahan lagi melihat Bang Shano terus mengerang kesakitan. Ingin rasanya mengambilkan benda itu lagi tapi seberapa pun banyaknya ia memohon, Papa Rinto tetap tidak mengabulkannya.
"Jangan ndhuk..!! Ini semua demi kebaikanmu, demi kebaikan anakmu..!!" Kata Papa Rinto.
"Tolong percayalah, Pa. Abang bukanlah laki-laki yang jahat, Abang tidak pernah kasar sama Jena. Biarkan Abang sehat untuk bicara dulu, Paaa..!!" Pinta Jena penuh permohonan.
Bang Shano terus memukul pintu dari dalam kamar kosong di belakang mess nya, seharian ini dirinya terus saja brutal, mungkin pandangan sebagian banyak orang jika bukan karena Bang Shano adalah anak seorang petinggi, sudah bisa di pastikan dirinya akan masuk jeruji besi.
Jena menangis, entah apa yang membuatnya terus merindukan pria tersebut, mungkin waktu juga mengajarkan bahwa cinta membutuhkan perjuangan.
"Jangan di buka ya, ndhuk." Pesan Papa Rinto.
-_-_-_-_-_-
Jena begitu sedih. Ia mengusap pintu, tak tahan dengan erangan Bang Shano. Suasana begitu sepi karena Jena meminta seorang anggota di sana untuk membeli makan malam sedangkan Jena meminta Prada Ruanda untuk meninggalkan mereka.
"Bukaa..!! Sakiiiiittt.. B*****t..!!!!!" Teriak Bang Shano sambil terus memukul pintu kamar. "Sakiit, Jenaaa. Abang nggak kuat..!!"
"Sakit ya, Bang. Jena buka ya pintunya." Kata Jena dari luar.
Tanpa pikir panjang, Jena membuka pintu dan melihat Bang Shano meringkuk. Seisi kamar begitu berantakan.
"Kenapa kamu lama sekali???? Kamu mau buat saya mati????" Bentak Bang Shano kesal kemudian mengambil pisau yang tergeletak di lantai lalu bersiap menghujam pada Jena.
Dengan cekatan Jena menghindar, tidak begitu sulit melumpuhkan seorang Shano dalam titik rendahnya namun keadaannya yang sedang hamil tentu membatasi ruang geraknya.
ssrrkkk..
"Arrrggghhh.." Jena memegang sisi perutnya, pisau kecil itu menggores perutnya.
"Mana obatnyaaaaa??" Jemari Bang Shano mencekik leher Jena.
"Ada.. Tapi Abang harus tenang dulu, tidak boleh marah dan menguasai diri. Tahan sedikit ya, Bang. Kita lalui semua bersama..!!" Bujuk Jena dengan sabar.
Jena memeluk Bang Shano, di tenangkannya suaminya yang tengah berjuang melawan kesakitannya. Ia tidak peduli darah yang mengucur dari perutnya.
Cukup sulit Jena membujuk Bang Shano hingga akhirnya suaminya itu mau menurut padanya. "Sini, Bang. Sama Jena..!!"
Bang Shano seakan pasrah dan hingga kembali merosot di lantai. Ia menangis sejadi-jadinya meluapkan perasaan yang sudah ia tahan sejak lama.
"Sebenarnya aku ini anak kandung atau anak haram??? Kenapa selalu ada beda antara aku dan saudaraku???? Sakit sekali tidak pernah di percaya. Aku melindungi saudaraku, orang tuaku. Kuhancurkan hidup demi seluruh pengabdianku."
"Jena percaya, Jena tau Abang mampu. Tidak masalah tidak ada yang percaya Abang tapi Jena selalu percaya." Jawab Jena.
Bang Shano kembali mengerang dan menggelinjang, entah sesakit apa sekujur tubuh nya saat ini.
"Istighfar, Bang. Ayo lawan..!!" Ujar Jena pun semakin lirih.
Antara sadar dan tidak, Bang Shano mulai mengingat saat pertama kali menyentuh Jena.
POV Flashback Bang Shano on..
Sekilas teringat saat aku memaksanya untuk memuaskan hasrat bejatku tanpa belas kasihan. Aku menyadari namun hatiku sungguh seperti terkunci, menolak pun tak mampu.
Kudengar Jena menjerit dan menangis namun ku abaikan dan setelah itu kutau ternyata akulah pria pertama yang menyentuhnya. Tuduhan ku padanya adalah salah besar.
"Kalau tenagamu tidak cukup kenapa kamu tidak hajar saya? Kamu bisa lukai saya dengan apapun yang ada di sekitarmu. Tusuk saya, kamu sedang terancam." Kataku penuh sesal.
"Bolehkah Jena jatuh cinta pada bodyguard Jena sendiri?" Tanya Jena.
Hatiku sempat terpukul mendengarnya. Aku dengan pribadi yang seburuk ini tidak boleh berurusan dengan yang namanya cinta. Akan sangat berbahaya untuk Jena nantinya.
"Saya hanya bermain main saja dengan kamu." Itulah jawaban awal ku saat itu padanya, kuharap Jena tidak pernah tau bahwa sesungguhnya aku mencintai nya sejak awal jumpa dengannya.
.
.
.
.
okelll lanjutt MBK naraa